Iman dan Toleransi Beragama

Share to :

alhikmah.ac.id – Suatu hari jenazah orang Yahudi melintas di depan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dan para Sahabat. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam pun berhenti dan berdiri. Para Sahabat terkejut, kemudian bertanya: “Kenapa engkau berhenti Ya Rasulullah?, sedangkan itu adalah jenazah orang Yahudi”. Nabi pun menjawab :”Bukankah dia juga manusia?” (HR. Bukhari).

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tegas mengatakan, siapa saja orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mengakui kenabiannya, adalah kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda: “Tidak seorangpun di kalangan umat ini yang mendengar tentangku dari kalangan Yahudi maupun Nasrani kemudian ia meninggal dan tidak beriman dengan risalah yang aku bawa kecuali ia tergolong penghuni neraka” (HR. Muslim).

Inilah toleransi, menghormati tanpa mengakui keimanan non-Muslim. Iman tidak perlu digerus untuk menjadi toleran. Iman Nabi SAW dan Sahabat sempurna, tapi juga mereka bisa toleran.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tiba-tiba berdiri, tentu saja para Sahabat kaget. Namun, para Sahabat akhirnya paham ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak mengikuti ritual pemakaman orang Yahudi tersebut. Beliau cuma berdiri, tidak sampai ikut menghantarkan ke liang lahat dengan berbagai ritualnya.

Jadi, toleransi Islam antar umat beragama itu hanya menyentuh ranah sosial. Coba perhatikan, beliau berkata alasannya menghormati; “Bukankah dia manusia”.

Sehingga, toleransi yang melampaui wilayah sosial ini tidak tepat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak mengatakan; “Bukankah dia Yahudi”. Sebab toleransi bukan dengan membenarkan ke-yahudian-nya.

Membenarkan keyakinan agama lain bukanlah disebut toleransi, tapi pluralisasi. Sedangkan term pluralisme tidak ada dalam kamus Islam.
Setiap Muslim yang beriman, harus komitmen dengan keyakinannya. Para ulama mendefinisikan iman dengan tiga pilar; pembenaran dalam hati (al-tashdiq bi al-qalb), pernyataan dengan lidah (al-iqrar bi al-lisan) dan perbuatan anggota tubuh (al-‘amal bi al-arkan).

Orang yang telah percaya (tashdiq) dianggap benar kepercayaannya jika kepercayaan itu diikuti dengan qabul (penerimaan), muwalah (kesetiaan), dan idh’an (ketundukan). Karena itu, seseorang yang mengaku beriman tetapi tidak setia dengan ajaran Nabi bahwa Yahudi dan Nasrani kafir, maka pengakuannya otomatis batal. Berarti ia tidak tunduk dan setia dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam .

Terkait dengan ini, Pendiri NU, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pernah berfatwa, barangsiapa mengakui ketuhanan Allah akan tetapi ia juga meyakini Dia memiliki anak dan sekutu, maka ia keluar dari agama, berdasarkan kesepakatan ulama’ (Hasyim Asyari,Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 13). Artinya, pengakuannya batal karena tidak setia kepada Allah.

Selain ‘toleransi’ yang melampaui batas, toleransi juga kadang dimaknai dengan kebebasan ala liberal. Kaum liberal, menjustifikasi ‘toleransi’ versinya dengan menyodorkan al-Qur’an surat al-Baqarah: 256 yang berbunyi: “Laa Ikraha fi al-Dien” (tidak ada paksaan dalam beragama). Atas dasar ayat ini, maka tidak ada hukum memvonis non-Islam. Bahwa, dalam versi liberal, Islam memberikan kebebasan yang mutlak untuk beragama, atau pun tidak beragama. Bebas untuk beragama Islam, atau beragama non-Islam.

Untuk memahami ayat, tidak semestinya kita memakai metode “mutilasi ayat” (memotong-motong ayat tanpa dikaitkan dengan ayat berikutnya). “Mutilasi ayat” sama saja akan ‘membunuh’ kesucian ayat itu.

Ayat di atas harus dibaca utuh. Bunyi ayat lengkapnya adalah;

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدمِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki ) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut. Bahwasannya seseorang dilarang untuk dipaksa masuk agama Islam. Sebab kebenaran Islam itu sangat jelas, terang dan bukti-buktinya gamblang. Menurut Ibn Katsir, sebagaimana cukup jelas dalam ayat di atas bahwa percaya kepada Islam merupakan kebenaran. Sedangkan ingkar terhadap Islam adalah kesesatan. Orang yang masuk Islam adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan orang non-Islam adalah orang-orang yang buta hatinya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim).

Jadi, ayat di atas bukanlah justifikasi kebebasan tanpa batas. Sama sekali ayat itu bukan menjelaskan konsep kebebasan. Justru inti ayat di atas ada di kalimat akhir, yaitu, perbedaan orang yang mendapatkan petunjuk dan orang yang tertutup kesesatan (kafir).

Ketika Islam menegaskan kebenaran risalah Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam ia tidak bermakna bahwa umat Islam harus memusuhi dan membunuhi umat agama lain.

Sejarah mencatat, bahwa Islam agama yang cukup toleran dan hormat kepada agama lain. Justru, liberalisme lahir di Barat pada masa orang Barat gagal mendamaikan agama. Karena tidak memiliki konsep toleransi, maka mereka kebingungan mendefinisikan toleransi.

Sedangka Islam, menguatkan konsep toleransi tersebut dengan mengikatnya dengan konsep al-Tauhid. Dengan kata lain, ketika umat Islam bertoleransi, hendaknya membuat dia lebih meyakini bahwa Allah SWT sajalah Tuhan Yang Maha Benar bukan Tuhan yang lain.

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter