Introspeksi Diri, Mengapa Bencana Alam Bertubi Tubi?

Share to :

alhikmah.ac.id – Indonesia berduka, Sinabung yang belum usai, pasca banjir, kini, Kelud yang erupsi, negeri ini sedang ditegur oleh Sang Maha Pencipta, hanya dengan hati dan pikiran yang jernih bernama iman, kita bisa menerimanya sebagai wujud kasih sayang Allah yang akan membaikkan negeri ini. Ini saatnya intropeksi diri, mari kita flash back sejenak, agar kedepannya, kehidupan lebih baik dan harmonis.

Ajaran Islam adalah ajaran yang baik dan benar serta bisa diterima oleh akal dan hati, namun hidayah hak mutlak Allah, walau kita harus tetap berusaha mencarinya. Seperti berusaha menyuapkan nasi ke dalam mulut, agar rasa lapar itu hilang. Penduduk Indonesia yang mayoritas Islam adalah penduduk yang gampang tersulut emosi, terbuai dan terlena sehingga muncul tiga kesalahan besar.
Kesalahan pertama adalah masih suka menduakan Allah. Islam hanya tertera dalam KTP, tapi aplikasinya masih jauh. Hal ini bisa terlihat dari,  maaf, hampir di semua daerah, masih ada benda-benda pusaka yang dimandikan di hari tertentu, musim panen yang dirayakan dengan memberi sesajen kepada roh-roh, pohon besar, bahkan gunung, sehingga Allah perintahkan gunung untuk mengeluarkan debu dan awan panas. Penolak bala dari benda-benda tertentu, larangan mandi bagi calon pengantin, hal ini bertujuan untuk menghambat hujan agar tamu banyak yang datang, tidak cukup itu, didatangkan pawang hujan, agar di hari H langit cerah, tamu pun berdatangan, al-hasil hujan tumpah ruah menyebabkan banjir yang berkepanjangan. Padahal hujan itu rahmat, membawa rezeki bagi makhluk hidup. Masih suka mendatangi peramal, guru spiritual dan orang ‘pintar’ untuk melihat masa depan, mengadukan kegalauan, mencari jimat pelaris dan sebagainya. Lebih banyak memuja-muja manusia ketimbang berdzikir kepada Allah. Mulai dari anak ingusan, remaja bahkan orang dewasa, yang terbuai oleh ketampanan, kecantikan para idola mereka. Lebih suka menonton idola via infotainment, joget bersama daripada Shalat dan mengaji. Lebih suka mendengar lagu yang secara tidak sadar menggiring cinta dunia ketimbang mendengarkan lantunan ayat Qur’an.
Kesalahan kedua, pikiran dan pergaulan bebas yang sebebas-bebasnya, kebebasan yang berkedok hak asasi manusia. Ingat, Allah hanya menciptakan dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan. Maka pasangan laki-laki adalah perempuan, yang disatukan dengan ikatan yang halal dan suci yaitu pernikahan. Kenyataan hari ini yang menyesakkan dada, tingkah laku bahkan gaya yang terbalik, adanya perempuan dan lelaki jadi-jadian, dengan alasan takdir, padahal itu adalah pilihan mereka, sehingga membuat skenario menyedihkan, seolah-olah, seakan-akan mereka makhluk yang terzalimi, atas nama hak asasi manusia, mereka berusaha untuk melegalkan hubungan sesama jenis. Ada juga yang berlebihan, sesama dan beda jenis, ia jalani. Naudzubillah, sejarah sudah mencatatnya dalam Al-Qur’an, surat Al-A’Araf ayat 80 sampai 84, kisah umat Nabi Luth yang telah diazab Allah dengan hujan batu. Di lain sisi, masih banyak hubungan di luar nikah, dengan alasan suka sama suka. Dilegalkannya gubuk, rumah, motel, hotel yang menerima pasangan bukan suami istri.
Kesalahan ketiga, masih adanya pemimpin, petinggi, dan aparat negara yang tidak adil, membodohi rakyat, bermalas-malasan, suka bermewah-mewahan, mengaku nasionalisme tinggi, namun bertindak setengah hati untuk negeri. Ini sudah berlangsung cukup lama, kalau dulu kita dijajah bangsa lain, kini kita dijajah orang sendiri. Tidak salah, jika banyak yang apatis, karena secara tidak langsung ‘mereka’ yang menciptakan hal tersebut. Seharusnya Indonesia menjadi sahabat oleh bangsa lain, bukan menakuti atau ditakuti bangsa lain. Tegak dan berdiri dengan kakinya sendiri, bukan ‘perintah’ dari bangsa lain. Dalam UUD 1945 dan Pancasila telah jelas dan sejelas-jelasnya, tugas dan fungsi negara dan bangsa Indonesia. Secara garis besar, tugas bangsa Indonesia adalah mensejahterakan seluruh rakyat dan fungsinya adalah ikut serta dalam perdamaian dunia. Namun yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Indonesia rindu dengan kepemimpian yang tegas, arif dan bijaksana, yang mengantarkan negeri ini kepada kemakmuran bersama, bukan diri, anggota keluarga dan para koleganya. Makmur itu bukan harus seluruh rakyat punya rumah dan mobil mewah, tetapi tercukupinya papan, sandang, pangan, kesehatan dan pendidikan seluruh rakyat Indonesia. Serta tunduknya rakyat kepada Sang Maha Pencipta, sehingga tercipta nuansa religius dan saling rukun hidup berdampingan di antara pemeluk agama yang ada di Indonesia.
Mari berbenah diri, dari rakyat kecil hingga para pemimpin. Tak perlu pesimis, karena rasa pahit akan hilang berganti manis. Bersatulah warna-warni Indonesia dari segala penjuru negeri, seperti halnya pelangi. Mari mendoakan negeri agar bencana sudi berakhir.
admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter