alhikmah.ac.id – Karunia Allah yang begitu besar bagi orang tua, adalah manakala diberikan anak-anak keturunan yang shalih dan shalihah. Jika orang-orang yang tidak beriman menjadikan anak sebagai aset kekayaan di masa depan, maka sungguh…. bagi orang-orang beriman, anak adalah asset akhirat yang tak ternilai harganya. Meski kita telah berkubang tanah dan menjadi tulang belulang dan bahkan mungkin sudah hancur, kebaikan dan pahala akan terus mengalir, manakala kita berhasil mendidik anak-anak kita menjadi anak yang baik, seperti diharapkan oleh sang Penciptanya, Allahu Rabbul izzati. Ibarat Royalti sebuah maha karya yang tak pernah putus. Pahala itu akan terus mengalir, akan terus menemani hari-hari di alam barzakh. Inilah yang dijanjikan oleh Allah swt, lewat lisan Rasul yang mulia, Nabi Muhammad saw. Ketika dalam salah satu haditsnya, beliau bersabda:
“Ketika anak Adam meninggal dunia, maka akan putuslah semua amalnya, kecuali tiga hal, ilmu yang bermanfaat, shadaqah yang mengalir, dan anak yang shalih yang selalu mendoakan orang tuanya.” (HR Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
Maka sungguh sangat rugi, manakala seseorang sudah diberikan rezeki anak, tapi dia tidak bersungguh-sungguh dalam mendidiknya menjadi anak yang shalih. Potensi dan peluang besar di depan mata, terbuang tanpa ada kebaikan yang di dapat. Berdasar pada pemahaman inilah, maka semestinya kita sebagai orang tua sangat antusias, bersemangat, dan bersungguh-sungguh dalam upaya mendidik anak – kita dengan sebaik-baiknya. Pendidikan terbaik yang kita berikan kepada anak- anak kita, sesungguhnya hasilnya akan kembali pada kita sendiri. Bagaimana kita memperlakukan anak kita, seperti itu pula anak akan memperlakukan kita sebagai orang tua.
Inilah yang dalam konsep pendidikan anak dalam Islam, disebutkan bahwa metode pendidikan terbaik adalah melalui contoh/teladan. Kalau orang psikolog mengatakan melalui metode modelling. Dan ini juga rahasianya, maka Rasul saw di posisikan oleh Allah swt untuk menjadi uswah/teladan (QS Al Ahzab 21) Secara fitrah manusia akan gampang mengikuti sebuah nilai/konsep, manakala di sana ada contoh. Jika kita ingin anak kita rajin membaca, mana, jadilah kita orang tua yang rajin membaca, jika kita ingin anak kita suka tersenyum, maka jadilah kita sebagai orang tua yang suka tersenyum. Jika kita ingin anak kita menjadi anak yang pemurah, maka jadilah kita orang tua yang pemurah. Kita menjadi cermin bagi anak-anak kita.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memberikan contoh kebaikan pada anak, terutama pada anak- anak balita yang masih berpikir kongkret:
1. Berilah contoh, sambil memberikan penjelasan.
Kisah nyata yang sering terjadi misalnya begini. Seorang istri, memanggil suaminya dengan panggilan “Mas Fulan” atau “Aa Fulan”. Nah jika kita tidak memberikan penjelasan pada anak kita, maka pasti anak kita juga akan memanggil ke ayahnya dengan sebutan “Mas Fulan” atau “Aa Fulan”. Maka sebaiknya saat itu berilah penjelasan pada anak kita, bahwa kalau ibu, panggil ayah dengan sebutan “Mas”, tapi kalau kamu, sebagai anak, panggillah dengan sebutan “ayah”
2. Contoh diberikan secara berulang dan konsisten.
Sesuatu yang diulang secara konsisten, akan dengan mudah diserap dan ditiru oleh anak. Logikanya, jika hanya sesekali kita melakukan sesuatu, maka memori penyerapan pada anak belum bisa menangkap secara sempurna. Misalnya, ketika kita ingin memberikan contoh anak untuk membuang sampah pada tempatnya, ini tidak cukup hanya sekali saja kita memberikan contoh, terus besok buang sampah sembarangan, maka sudah bisa dipastikan, anak juga akan membuang sampah secara sembarangan. Ini juga rahasianya, ketika Rasul saw bersabda bahwa sebaik-baik amal adalah amal yang dilakukan secara dawwam /kontinyu, terus menerus (khairul adwaamuha).
3. Minta maaflah jika sesekali kita pernah kelupaan memberi contoh yang tidak baik/kurang tepat.
Pernahkah Anda diprotes oleh anak-anak kita ketika suatu kali kita lupa, misalnya makan/minum sambil berdiri? Atau lupa tidak komitmen dengan jadwal keberangkatan yang sudah disepakati bersama? Ketika hal ini terjadi, janganlah kita membela diri dengan menyampaikan argumentasi yang dicari-cari, tetapi seharusnya secara sportif kita meminta maaf kepada anak kita, atas kelalaian/kesalahan yang kita lakukan. Anak juga akan dengan senang hati memaafkan kita, dan dia tahu, bahwa apa yang dilakukan orang tuanya jangan diikuti, itu adalah sebuah kesalahan, sekaligus di sini anak juga belajar dan mencontoh untuk menjadi orang yang suka memaafkan, dan belajar untuk tidak segan meminta maaf manakala terlanjur berbuat kesalahan pada orang lain.
Menjadi model buat anak-anak kita, sekaligus juga adalah model buat masyarakat kita, karena kita dan anak kita juga bergaul dengan masyarakat. Anak berlaku baik, karena kebaikan contoh yang kita berikan, maka saat itulah “nilai royalti” dari Allah akan diberikan kepada kita. Ayo… jadikan aktivitas mendidik anak adalah sebagai prioritas dari sekian prioritas yang kita miliki. Wa aslihlie fie dzurriyyatie… wallahu a’lam bishawab.