“Wahai anak-anakku, telah tiba saatnya kalian kembali kepada Allah swt., meninggalkan berbagai sorak kehidupan dan menyingkirkannya ke tepi jalan. Telah tiba saatnya kalian bangun dan melakukan salat subuh berjamaah, saatnya kalian menghiasi diri dengan akhlak mulia, mengamalkan kandungan al Qur’an, serta meneladani Muhammad saw.
Aku mengajak kalian wahai anak-anakku untuk shalat tepat waktu. Lebih dari itu, aku mengajak kalian, wahai anak-anakku, untuk mendekat kepada Nabi kalian yang agung.
Wahai para pemuda, aku ingin kalian mengenal dan menyadari makna tanggung jawab, tegar menghadapi kesulitan hidup, meninggalkan keluh kesah, menghadap kepada Allah swt., banyak meminta ampunan kepada-Nya agar Dia memberi rezeki kepada kalian, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Aku ingin kalian tidak terlena oleh saluran-saluran lagu audio visual, melupakan kata-kata yag mengobral cinta, serta menggantinya dengan kata amal, kerja, dan zikir kepada Allah. Wahai anak-anakku, kuharap kalian tidak sibuk dengan musik dan terjerumus ke dalam arus syahwat.
Wahai putriku, aku ingin kalian berjanji kepada Allah mempergunakan hijab secara benar. Aku meminta kalian berjanji kepada Allah peduli dengan agama dan Nabi kalian yang mulia. Jadikanlah ibunda kalian, Khadijah dan Aisyah, sebagai teladan. Jadikan mereka sebagai pelita hidup kalian. Haram hukumnya bagi kalian membuat usaha para pemuda untuk menjaga mata mereka menjadi kendur dan surut.
Kepada semuanya, aku ingin kalian bersiap-siap menghadapi segala sesuatu yang akan datang. Bersiaplah dengan agama dan ilmu pengetahuan. Bersiaplah untuk belajar dan mencari hikmah. Belajarlah bagaimana hidup dalam kegelapan yang pekat. Latihlah diri kalian agar dalam beberapa saat hidup tanpa listrik dan perangkat elektronik. Latihlah diri kalian agar dalam sementara waktu merasakan kehidupan yang keras. Biasakan diri kalian agar dapat melindungi diri dan membuat perencanaan untuk masa depan. Berpeganglah kepada agama kalian. Carilah sebab-sebabnya dan tawakallah kepada Allah.”
(Petikan salah satu pidato beliau)
Kemuliaan Hati Mengalahkan Hambatan Fisik
Dia adalah seorang mukmin yang merdeka meski seluruh hidupnya dibelenggu dengan terali besi. Itulah gambaran indah yang mencerminkan kehidupan Syaikhul Mujahidin, Guru para Mujahid dan perlawanan ini. Meskipun sebenarnya gambaran tersebut kalah indah dengan kalbunya yang menghembuskan kehidupan serta tekadnya yang tidak pernah lumpuh dan tidak terbelenggu oleh ikatan penjara. Beliau adalah cakrawala yang luas serta pikiran yang hidup yang tidak mengenal batas. Demikianlah kehidupannya di penjara dan begitulah kisahnya saat berada di medan dakwah dan perlawanan, seperti yang dituturkan oleh orang-orang yang mendampinginya, mengenai sosok yang tidak mampu bergerak, namun bisa menggerakkan dunia.
Dia bukanlah seorang presiden ataupun seorang raja. Dia hanyalah seorang lelaki lumpuh yang membangun ide perlawanan hingga menjadi sosok yang tidak disebut kecuali dengannya. Sampai hari ini, setiap orang baik lawan maupun kawan tetap menaruh hormat kepadanya. Namanya senantiasa disebut di seluruh dunia. Dialah Amir Mujahidin Palestina, mujahid Ahmad Yasin, gugur perlawanan yang gugur oleh tangan-tangan biadab Zionis Israel dalam serangan rudal dari pesawat heli tempur Apache buatan Amerika, selepas shalat subuh di masjid kota Gaza, Senin 22 maret 2004 lalu.
Seperti diungkapkan Prof. Dr. Taufiq Yusuf al Wa’i, dalam karyanya “Qaadat al-Jihaad al-Filistiini fii al-Ashr al-Hadiits: Kifaah, Tadhiyyah, Butuulaat, Syahaadaat”, semua gambaran di atas terdapat pada sosok lumpuh yang tak mampu berdiri ini; sosok yang kedua tangannya pun lumpuh tidak mampu membawa sesuatu; sosok yang kurus dan lemah; tubuh yang terserang oleh berbagai penyakit; penglihatan yang telah kabur kecuali hanya seberkas sinar dari satu mata; serta penderitaan dan sakit yang tak kunjung reda. Bukankah ini sesuatu yang menakjubkan? Bukankah ia merupakan tanda kebesaran Tuhan dan wujud anugerah-Nya? Sosok tersebut hidup untuk misi dan untuk umatnya. Ia menghabiskan usianya dalam dakwah. Ia adalah jihad yang terus berjalan, teladan yang terus bergerak, panutan yang memancarkan cahaya dan keimanan, serta pemahaman dan pengetahuan di tengah jarangnya orang yang tulus, di tengah sedikitnya keikhlasan, serta di tengah lenyapnya suara kebenaran dan ketegasan. Syaikh Yasin datang sebagai pemimpin bagi para mujAhed, tokoh bagi para dai, guru yang bijak dan teladan yang agung bagi para pendidik. Tubuhnya yang kurus, kelumpuhannya, dan penyakit yang kronis membuatnya tidak mampu berjuang dengan senjata. Karena itu, beliau berjuang dengan senjata hikmah, dengan pedang pembinaan dan penataan, dengan meriam keimanan, serta dengan bom kesabaran, keteguhan, dan ketegaran.
Namun demikian Ahmad Yasin membekali dirinya dengan pendidikan tinggi secara autodidak. Sungguh menakjubkan, Ahmad Yasin terbukti menguasai segala bidang keilmuan mulai dari agama, bahasa, sastra, politik, sosial sampai masalah ekonomi. Dengan wawasan yang luas inilah kemudian Ahmad Yasin menjadi sumber rujukan di Jalur Gaza dan semua orang, dari berbagai lapisan, terkesan oleh ceramah-ceramah yang disampaikan. Semua orang mendengar apa yang dikatakan dan menaruh hormat. Sejatinya, semua itu bukan hanya karena wawasan dan keilmuan yang dimilikinya saja. Sebenarnya banyak kaum intelek Palestina kala itu, namun – allahu a’lam – mungkin itu semua karena sikap wara’, ikhlas, tawadhu’, energik – meski fisiknya cacat -, kecerdasan, visi yang benar, kelapangan dada dan semangat memperjuangkan agama dan tanah air, serta totalitas kerjanya diperuntuhkan hanya pada Allah.
Masa Muda Syaikh Ahmad Yassin
Kedua kakinya yang lumpuh tak menghalanginya untuk memandu perjuangan dari atas kursi roda. Namanya menjelma menjadi simbol jihad bagi rakyat Palestina dalam melawan penjajahan Zionis. Berkali-kali militer tentara Israel mencoba membunuhnya, berkali-kali juga gagal.
Ahmad Yasin kecil biasa dipanggil dengan (kuniyah) Abu Sa’dah, dinisbatkan kepada ibundanya Sa’dah Abdullah al Hubail, untuk membedakan sebutan karena banyaknya nama Ahmad dalam keluarga Yasin. Sa’dah adalah sosok hajjah yang mulia, sabar, dan penuh keyakinan, termasuk wanita terhormat di desa tersebut. Ayah Ahmad Yasin bernama Ismail Yasin, orang terkemuka di desanya. Keluarganya termasuk keluarga yang berkecukupan. Ismail meninggal dunia ketika Ahmad masih sangat kecil, belum lewat usia 3 tahun, meninggalkan keluarga yang terdiri atas sebelas orang. Ahmad Yasin adalah anak ketiga di antara 4 anak laki-laki keluarga Ismail.
Ketika tentara Arab menderita kekalahan pada 1948, Yassin baru berusia 12 tahun. Peristiwa ini meninggalkan pelajaran dalam kehidupan maupun pemikiran politiknya kemudian. Menurutnya, mempersenjatai diri sendiri adalah jalan yang lebih ampuh daripada menggantungkan harapan pada orang lain, baik dunia Arab maupun internasional. “Tentara Arab yang datang untuk memerangi Israel justru merampas senjata dari tangan kami. Mereka beralasan, tidak pantas ada pasukan lain. Nasib kami pun terikat dengannya. Jika pasukan Arab kalah, kami pun kalah. Lalu Zionis menebar pembantaian dan penyembelihan. Seandainya senjata berada di tangan kami, tentu situasi akan berubah.”
Ahmad Yassin bersekolah SD di Jaurah hingga kelas lima. Situasi kacau pada tahun 1948 memaksanya hijrah menemani keluarganya ke Gaza. Di sana, situasi berubah pahit. Keluarganya, seperti umumnya pengungsi, merasakan kefakiran, kelaparan dan intimidasi. Masa itu, ia biasa pergi ke perkemahan tentara Mesir bersama teman-temannya untuk mengambil sisa-sisa makanan tentara untuk ia berikan pada keluarganya. Sekolahnya sempat terhenti pada tahun 1949-1950 demi menolong ekonomi keluarganya yang berjumlah dari tujuh orang, Ia terpaksa bekerja di salah satu restoran kacang di Gaza.
Kecelakaan Itu
Malang tak dapat ditolak. Pada tahun 1952, saat berusia 16 tahun, rangka leher Yassin patah ketika bermain bersama kawan-kawannya.
Di dekat kamp pengungsi al Shati’, pantai adalah tempat bermain yang sangat penting dan strategis. Di sana banyak dilakukan aktivitas mulai dari keilmuan yang disusul dengan kegiatan olah raga. Di antara olah raga yang dilakukan adalah melompat dari ketinggian ke pasir laut (yang indah), atau seorang naik di atas pundak yang lain saling berpegangan tangan kemudian melompat ke laut, atau bermain bola dan berbagai permainan berat lainnya. Dalam salah satu permainan di pantai pada musim panas tahun 1952 Ahmad Yasin jatuh terjungkal kepalanya, seperti diceritakan Ahmad Yasin kepada keluarganya kala itu. Namun seperti diceritakan Dr. Abdul Aziz Rantisi, “Beliau mengalami musibah patah tulang leher saat bermain gulat dengan salah satu teman beliau, asy Syahid Abdullah Shiyam (Komandan Perang “Khalda” Beirut tahun 1982 yang gugur dalam perang tersebut). Namun beliau menyembunyikan sebab-sebab terjadinya kecelakaan tersebut kepada keluarga beliau agar tidak timbul masalah antara keluarga beliau dan keluarga Shiyam. Ketika itu, beliau hanya berkata bahwa kecelakaan itu terjadi karena ia melompat di udara dan kemudian terjatuh dengan kepala terlebih dahulu. Baru pada tahun 1990 beliau bercerita yang sebenarnya kepadaku saat bersama dalam satu pernjara.
”Setelah empat puluh hari lehernya digips, ternyata ia harus menjalani sisa hidupnya dalam keadaan lumpuh. Selain lumpuh penuh, mata bagian kanannya buta setelah ia dipukul dalam penjara Israel oleh dinas intelijen Israel. Mata kirinya juga tidak dapat melihat banyak. Selain itu, masih ada beberapa penyakit fisik lainnya yang menimpa beliau. Namun semua ini tidak menghalanginya untuk berjuang.
Masa Perjuangan
Usai menamatkan sekolah menengahnya pada 1958, Yassin diberi kesempatan mengajar meski sebelumnya ditolak karena faktor kesehatan. Sebagian besar gajinya dari mengajar diserahkan untuk keluarganya. Ketika berusia duapuluh tahun, Yassin ikut berdemonstrasi di Gaza dalam rangka menolak serangan Israel ke Mesir pada tahun 1956. Saat itulah, tampak kepiawaian berorasi dan berorganisasi tampak. Bersama teman-temannya, ia menyerukan untuk menolak campur tangan dunia internasional dan menegaskan kemestian kembalinya pasukan Mesir ke wilayah ini.
Lidah Yassin yang tajam membuat bintangnya meroket di kalangan aktivis dakwah di Gaza. Hal ini membuat intelijen Mesir menangkapnya pada tahun 1965 yang merupakan kelanjutan dari penangkapan besar-besaran yang ditujukan kepada aktivis Ikhwanul Muslimin. Ia dikurung selama sebulan, lalu dilepaskan setelah terbukti tidak bersalah. Tentang pengalamannya di penjara, pemimpin spritual HAMAS ini menuturkan, “Penjara makin menegaskan jiwaku dalam membenci kezaliman.”
Setelah kekalahan pasukan gabungan negara-negara Arab pada perang 1967, yang membuat Israel mencamplok seluruh tanah Palestina termasuk Jalur Gaza, Yassin terus memompakan semangat jihad kaum Muslimin dari atas mimbar Masjid Al-Abbasi. Ia juga ikut bergiat dalam kegiatan pengumpulan dana bagi para keluarga syuhada maupun yang ditangkap. Tak lama kemudian, Yassin terpilih menjadi Ketua Lembaga Islam di Gaza. Yassin banyak berinteraksi dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Ustadz Hasan Al-Banna pada tahun 1928 di Mesir.
Aktivitas dakwah Syaikh Yasin mengusik zionis. Akibatnya, pemerintah memerintahkan untuk menangkapnya pada tahun 1982 dengan tuduhan membentuk lembaga militer dan terlibat dalam pengumpulan senjata. Ia divonis penjara selama 13 tahun, namun baru tiga tahun kemudian ia dilepaskan dalam proses imbal lepas tawanan antara Israel dan Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina.
Pada tahun 1987, bersama sejumlah aktivis dakwah Ikhwanul Muslimin di Jalur Gaza, Yassin mendirikan Harakah Al-Muqawamah AL-Islamiyyah yang sering disingkat dengan HAMAS. Gerakan ini berperan penting bagi meletusnya Intifadhah I atau juga dikenal dengan istilah “Intifhadah Masjid”.
Sejak meletusnya Intifadhah, penjajah Zionis berpikir keras untuk menghentikan aktivitas Syaikh Yasin. Maka pada 1988, rumahnya diserbu, digeledah dan dirinya terancam diusir ke Libanon. Banyaknya tentara Israel yang tewas membuat Israel kembali menangkapnya pada 18 Mei 1989 bersama ratusan aktivis HAMAS lainnya. Pada 16 Oktober 1991, pengadilan militer Israel memvonisnya dengan penjara seumur hidup. Yasin dituduh mendorong penangkapan dan pembunuhan terhadap tentara Israel di samping mendirikan organisasi HAMAS.
Sejumlah operasi digelar oleh Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer HAMAS demi membebaskan Syaikh Yassin namun gagal. Yassin akhirnya kembali menghirup udara kebebasan, setelah proses tukar-menukar pada 1 Oktober 1997 antara kerajaan Yordania dan Israel. Dua agen Mossad diserahkan kepada Israel sebagai imbalan pembebasan Syaikh Ahmad Yasin. Sejak saat itu, singa tua ini kembali ke medan jihad Palestina, memimpin kelompok perjuangan HAMAS, hingga syahid menjemputnya.
Syaikh Yassin dan Anak-anak
Syaikh Ahmad Yassin terkenal karena rasa humorisnya dan kebaikannya kepada anak-anak di Gaza. Dia mencintai dan bersimpati dengan anak-anak tersebut. Anak-anak Gaza bahkan menganggap Syaikh Yassin seperti ayah mereka sendiri yang lembut dalam mendidik mereka.
Syaikh Yassin sering merawat dan mengajar anak-anak Palestina tentang pelajaran-pelajaran agama dan tentang kehidupan mereka sehari-hari. Dan anak-anak muda tersebut sekarang tumbuh dalam bimbingan serta pendidikan iman dan keislaman lewat tangan Syaikh Yassin yang lumpuh, pendiri Gerakan Perlawanan Islam di Palestina Hamas.
Musbah Shaghnuby (15 tahun), sangat ingat kenangan ketika ia waktu masih berusia 8 tahun, Syaikh Yassin sering memanjakan dia dan anak-anak di lingkungannya. Mereka menganggap Syaikh Yassin sebagai ayah yang penuh kasih sayang terhadap mereka, Musbah mengatakan: “Semoga Allah memberkati dia, dia adalah ayah dari semua orang Palestina dan seorang kakek bagi anak-anak mereka”. Dia menambahkan: “kami sering mengiringi Syaikh Yassin baik di masjid ataupun di rumahnya yang sederhana, dan ia sangat menghargai kami ketika kami shalat Subuh di masjid dan mau menghafal Al-Qur’an”.
Musbah melanjutkan: “Terus terang, saya tidak terlalu suka mendengarkan khotbah kecuali khutbah atau ceramah dari Syaikh Yassin, bukan semata-mata karena dia Syaikh Yassin, tetapi karena kata-kata yang ia sampaikan memang berasal dari hati dan penuh dengan kata-kata yang membangkitkan semangat dan menyenangkan. Syaikh Yasin sering menyerukan kepada orang-orang untuk rajin belajar dengan ketekunan, serta terus menambah ilmu pengetahuan “.
Kesyahidannya
Abil Qadir Abdil Aal, seorang pemuda 19 tahun yang tinggal di dekat rumah Syaikh Yassin, mengatakan : “Saya bersama Syaikh Yassin beberapa saat sebelum ia syahid ketika kami shalat subuh bersama di kompleks Masjid Islam yang dekat dengan rumah kami. Beberapa menit setelah shalat subuh berakhir, Syaikh Yassin meminta semua anak muda di dalam masjid untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing, sehingga merekapun meninggalkan masjid. Begitu mereka tiba di rumah mereka, mereka terkejut dengan suara bom yang ternyata menargetkan tubuh lumpuh Syaikh Yassin”.
Abdiel Aal menyebutkan beberapa kegiatan yang sering Syaikh Yassin lakukan di komplek Masjid Islam di dekat rumahnya: “Syaikh Yassin sering mendorong kami sebagai anak-anak muda untuk rajin berlatih olahraga, ia sangat menghargai kami.”
Selain itu, ia juga sering mengatur kegiatan-kegiatan yang memotivasi para pemuda dan anak-anak untuk datang ke masjid serta mendorong para anak muda untuk lebih bertanggung jawab. Ia sangat bermurah hati dan tidak pernah menolak setiap pengemis yang mendekatinya. Ia juga mencintai Jihad dan perlawanan untuk membebaskan Palestina dari pendudukan zionis Israel.”
Di saat-saat sebelum Syaikh Yassin terbunuh, sambil menangis Abdil Aal mengatakan: “Saya sedang duduk bersama sepupu saya, asy syahid Amir Abid Aal, dan asy syahid Mu’min Al Yazuri yang ikut syahid bersama dengan Syaikh Yassin. Syaikh Yassin bertanya kepada mereka: “Bagaimana cuaca di luar?” Lalu salah seorang dari mereka menjawab: “cuaca terlalu dingin. Jadi, jangan keluar dulu nanti malah menjadi ‘sakit’. Ini merupakan upaya para anak muda untuk mencegah Syaikh keluar dari masjid, agar pesawat Israel tidak bisa menyerangnya. “Saya berkata kepada Syaikh: “Langit penuh dengan pesawat Israel dan situasi sangat berbahaya. Syaikh Yassin dengan tenang menjawab: “Anakku ..Tak ada yang bisa lolos dari takdir-Nya “. Anak Palestina itu mengatakan bahwa Syaikh meminta semua anak muda yang berada di masjid untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing demi keselamatan mereka.
Syaikh kemudian menunggu sampai semua dari mereka pulang ke rumah mereka masing-masing, kecuali Mu’min Al Yazouri, Amir Abid Aal dan pengawal yang tinggal bersamanya. Lalu, kemudian ketika mereka keluar dari masjid, tidak lama kemudian pesawat-pesawat Zionis menyerang mereka. Syaikh Yassin syahid (insyaAllah) bersama dengan teman-temannya, Mu’min dan Amir.
“Kami semua sangat sedih oleh kematian Syaikh Yassin. Saya mencintainya lebih dari keluarga saya sendiri. Saya menganggap dirinya sebagai seorang kakek, pemimpin dan panutan. Saya tidak melihat dan sepertinya tidak akan pernah melihat orang yang lebih baik daripada dia saat ini.” Musbah Shaghnuby (15 tahun) seorang pemuda palestina.
Syaikh Yassin adalah ikon keIslaman, nasional dan sosial yang akan tetap terukir dalam memori semua orang Palestina dan umat Muslim di seluruh dunia, khususnya mereka yang dekat dengannya saat mereka mengingat dirinya yang telah mempengaruhi diri mereka dalam semua aspek kehidupan. Semoga Allah memberkati Syaikh Yassin dan para pemimpin rakyat Palestina dan umat Muslim di dunia untuk mengikuti jalan-Nya.