alhikmah.ac.id – Dunia semula mengira bahwa perang dingin antara kekuatan-kekuatan besar telah berakhir dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, setelah berlangsung sekitar 45 tahun sejak berakhirnya Perang Dunia II. Kenyataannya sebenarnya perang dingin itu tidak sepenuhnya berakhir, polarisasi kekuatan dunia dalam menyikapi krisis di Suriah, Laut China Selatan, Semenanjung Korea dlsb. antara lain adalah buktinya. Perang dingin itu juga terus berlangsung di sektor ekonomi, dan pesertanya bukan hanya blok barat dan blok timur.
Perang dingin di sektor ekonomi ini bisa terwujud dalam bentuk saling menyerang pasar, saling membanting nilai mata uang (currency war), saling intip teknologi, (tuduhan) dumping, tariff dlsb.
Dua kekuatan besar dunia yang muncul duluan di abad terakhir yaitu blok barat dengan kapitalisme-nya dan blok timur dengan komunisme atau sosialisme-nya, ternyata mereka juga memiliki faham yang sangat berbeda dalam menyikapi uang dan emas.
Ekonomi blok barat yang kapitalis imperialisme-nya di danai dengan uang kertas yang bisa dicetak dari awang-awang berapa saja dan kapan saja, untuk sementara mereka memang unggul. Ini seperti lomba lari marathon, kapitalisme itu menggunakan strategi lari sprint. Mereka unggul di awal , tetapi tidak akan tahan lama – mereka akan segera kehabisan tenaga dan diungguli oleh yang memiliki strategi marathon.
Kemajuan ekonomi mereka di danai dengan uang kertas yang sejatinya hutang, sementara hutang tentu ada batas waktunya – suatu saat harus dibayar, dan batas waktu itu bisa saja sangat dekat. Mengingat kreditor terbesar kapitalism itu juga musuh terbesar mereka di perang dingin, maka bila perang dingin ini memanas oleh salah satu krisis di Suriah, Laut China Selatan, Semenanjung Korea – bisa saja saat itu juga menjadi akhir dari kapitalism itu.
Hal ini nampaknya juga diantisipasi oleh dua kekuatan besar perang dingin dari blok timur yaitu China dan Rusia, mereka bertolak belakang dengan blok barat yang diwakili oleh Amerika bahkan dalam menyikapi uang dan emas.
Bila kapitalisme barat mendorong dunia untuk menjauh dari emas dan memperbesar uang fiat yang sejatinya hutang, China dan Russia justru membangun langkah sebaliknya dalam dasawarsa terakhir.
Grafik-grafik disamping menunjukkan betapa dalam dasawarsa terakhir China dan Russia mengakumulasi emas baik untuk cadangan resmi pemerintahnya maupun akumulasi oleh rakyatnya.
Setelah dunia kapitalism barat kehabisan tenaga dari lari sprint-nya, lantas apakah komunism China dan Russia yang akan berjaya? Mungkin juga tidak! Mengapa?
Dalam ajaran komunism maupun socialism mereka juga tidak belajar bagaimana mengelola emas (uang, harta) yang seharusnya. Menimbun emas yang mereka lakukan bukanlah cara yang efektif untuk membangun kekuatan ekonomi.
Emas hanya efektif untuk mempertahankan daya beli jerih payah kerja mereka, dari kehancuran daya beli uang kertas. Untuk menghasilkan kemakmuran, emas-pun harus terus berputar. Yang pandai memutar emas (harta)-lah yang akan unggul kedepan.
Jadi kembali kepada ibarat lomba lari marathon di atas, kapitalisme akan kehabisan tenaga segera sementara komunisme tidak bisa berlari cepat dari start sampai menjelang finish. Lantas siapa pemenangnya?
Pemenangnya adalah peserta lari nomor tiga yang tidak diunggulkan di awal start ketika kapitalisme dan komunisme mulai berlari bahkan hingga saat ini. Tetapi peserta ke tiga ini memiliki self-drive yang sangat powerful yaitu berupa ideologinya bahwa emas (juga uang atau harta) haruslah terus berputar.
Dari waktu ke watu emas mereka terus berputar dengan cepat dan semakin cepat, maka menjelang dan sampai finish dialah yang paling unggul! Tetapi siapa peserta nomor tiga ini? Itulah Islam dengan seluruh sistem kehidupannya termasuk dalam hal memutar ekonomi ini.
Kok kita bisa yakin bahwa menjelang dan sampai finish kitalah yang akan menjadi pemenangnya? Ini adalah bagian dari keimanan kita untuk mempercayai kabar yang datang langsung dari utusanNya – utusan dari Dia Sang Maha Tahu.
Kabar itu antara lain datang melalui hadits: “Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya tetapi dia tidak mendapatkan seorangpun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur makmur kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai.” (HR: Muslim).
Kabar kemakmuran menjelang akhir jaman itu itu dikaitkan langsung dengan kesadaran akan zakat – sampai membuat seorang laki-laki harus pergi ke mana-mana untuk menyalurkan zakatnya. Siapakah yang sadar zakat ini? Itulah umat Islam saat itu, umat yang tidak berada di blok barat ataupun di blok timur, umat yang dirancang untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam!
Maka marilah kita mulai berlari mengejar ketinggalan kita itu, berlari dengan PD (Percaya Diri) karena kita yakin kitalah yang akan menjadi juara itu…InsyaAllah!