Tawassul

Share to :
alhikmah.ac.id – Secara etimologi tawassul berasal dari kata وَسَلَ – يَسِلُ – وَسِيْلَةً yang artinya menggunakan sesuatu sebagai sarana atau wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, agar permohonannya dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il. Sedangkan menurut istilah syari’at, al wasilah yang diperintahkan dalam al-Qur’an adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah swt, yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan.Adapun menurut terminologi syariat, tawassul adalah: “Mendekatkan diri kepada Allah swt dengan segala bentuk ketaatan dan peribadatan, dengan cara mengikuti sunnah Rasulullah saw dan segala bentuk amalan yang dicintai Allah swt dan diridhai-Nya.” Sebagaimana firman Allah swt,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan carilah wasilah kepada-Nya (yakni jalan yang boleh menyampaikan kepada-Nya), serta berjihadlah pada jalan-Nya supaya kamu beroleh kejayaan”. (QS. Al-Maidah [5]: 35)

Adapun wasilah atau sarana yang disyariatkan dalam tawassul adalah sebagai berikut:

Pertama, Bertawassul dengan nama-nama Allah swt dan sifat-sifat-Nya, hal ini sebagaimana firman Allah swt,

وَلِلَّهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا ) الأنفال: 18 (

Hanya milik Allah asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu … (QS. al-Anfaal [8]: 18)

Di antara tawassul dengan nama-nama Allah swt adalah ucapan Rasulullah saw :

أَللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ ابْنُ عَبْدِكَ بْنُ أَمَّتِكَ نَصِيَتِيْ بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ اللهُمَّ بِكُلّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَنْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا وَنُوْرَ صَدْرِيْ وَجَلاَءَ حُزْنِيْ وَذَهَابَ هَمَّيْ وَغَمِّيْ) رواه أحمد وصححه الألباني  (

Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, anak hamba-Mu yang laki-laki dan anak hamba-Mu yang perempuan. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu. Hukum-Mu telah berlaku atasku. Ketentuan-Mu telah adil bagiku. Aku memohon kepada-Mu, ya Allah, dengan semua nama yang Engkau miliki yang Engkau namakan diri-Mu dengannya. Atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu. Atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu. Atau yang Engkau khususkan dalam ilmu ghaib di sisi-Mu. Jadikanlah al-Qur’an al-Adhim sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, penghilang kesedihan dan kegelisahanku. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani)

Di antara tawassul dengan menyebutkan sifat-Nya adalah doa beliau :

أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ (رواه مسلم)

Aku berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah swt dari kejelekan yang aku jumpai dan aku takuti. (HR. Muslim)

Kedua, Bertawassul dengan keimanan kepada Allah swt dan rasul-Nya, sebagaimana firman Allah swt,

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ ءَامِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأَبْرَار (ال عمران: 193)

Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Rabb-mu”, maka kamipun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. (QS. Ali Imran [3]: 193)

Dari ayat di atas disebutkan bahwa dengan sebab keimanan kami kepada rasul-Mu maka ampunilah dosa kami. Maka jadilah iman kepada Allah swt dan rasul-Nya menjadi wasilah atau sebab diampuni dosa-dosa.

Ketiga, Bertawassul dengan keadaan orang yang berdoa.

yaitu seorang yang berdoa bertawassul dengan keadaannya, seperti pernyataan seseorang ketika berdo’a:

أَللَّهُمَّ إِنِّي أَنَا الْفَقِيْرُ إِلَيْكَ، أَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَنَا اْلأَسِيْرُ بَيْنَ يَدَيْكَ

Ya Allah, sesungguhnya aku ini faqir sangat membutuhkanmu. Ya Allah sesungguhnya aku ini tawanan (budak) milikmu….

Hal itu sebagaimana firman Allah swt:

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ ( القصص:24 )

“Ya Rabb-ku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. (QS. al-Qashash [28]: 24)

Keempat, Bertawassul dengan doanya orang yang mungkin dikabulkan doanya.

Adapun dalilnya adalah ketika seseorang yang meminta Rasulullah saw untuk berdoa kepada Allah swt agar diturunkan hujan, orang itu berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa harta benda kami dan terputus jalan-jalan, maka mohonkanlah kepada Allah swt agar menurunkan hujan”. Maka Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa: “Ya Allah turunkanlah hujan, ya Allah turunkanlah hujan”. (HR. Muslim).

Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa syarat orang yang diminta untuk berdoa adalah:

Pertama, Hadir atau dapat mendengar permintaan orang tersebut.

Kedua, Masih hidup dan dapat melakukan do’a tersebut.

Ketiga, Hati harus tetap yakin bahwa Allahlah yang akan menentukan segala sesuatunya. Tidak ada kecenderungan hati kepada selain-Nya.

Adapun meminta di doakan atau meminta disampaikan keinginannya kepada orang yang telah mati atau kepada kuburan-kuburan, atau kepada orang yang tidak hadir dan tidak mendengar walaupun masih hidup, maka yang demikian merupakan kesyirikan yang nyata.

Kelima, Bertawassul dengan amal shalih

Yakni menyebutkan dalam doanya amal shalih yang pernah dikerjakannya. Hal itu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar,

حدّثنا أبُو اليماَنِ أخْبرَنا شُعيْبٌ عنِ الزُّهري حدَّثَني ساَلمُ بنُ عبدِ اللهِ أنَّ عبدَ اللهِ بنَ عُمرَ قال: سَمِعتُ رسولَ اللهِ ص يقول: انطَلَقَ ثَلاَثةُ رَهْطٍ مِمَّنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ حَتّى أوَوُا الْمَبِيْتَ إِلى غاَرٍ فَدَخَلُوْهُ، فانْحَدَرَتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمُ الغاَرَ، فَقاَلُوا: إنَّهُ لاَيُنْجِيْكُمْ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاّ أنْ تَدْعُوا اللَّهَ بِصاَلِحِ أعْماَلِكُمْ. فَقاَلَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: اللّهمَّ كاَنَ لي أبَوَانِ شَيْخاَنِ كَبِيْراَنِ، وَكُنْتُ لاَ أغْبِقُ قَبلَهُماَ أهْلاً ولاَ ماَلاً، فَناَءَ بِي فِي طَلَبِ شَيْءٍ يَوْماً فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِماَ حَتّىَ ناَماَ، فَحَلِبْتُ لَهُماَ غَبُوقَهُماَ فَوَجَدْتُهُماَ ناَئِمَيْنِ، فَكَرِهْتُ أنْ أغْبِقَ قَبْلَهُماَ أهْلاً أو ماَلاً، فَلَبِثْتُ وَالقَدَحُ عَلى يَدَيَّ أنْتَظِرُ اسْتِيقاَظَهُماَ حَتَّى بَرَقَ الفَجْرُ، فاَسْتَيْقَظاَ، فَشَرِباَ غَبُوقَهُماَ: اللّهُمَّ إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغاَءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنّا ماَ نَحْنُ فِيْهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ، فاَنْفَرَجَتْ شَيْئاً لاَيَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوجَ

قاَلَ النَّبِيُّ ص: وَقاَلَ الآخَرَ اَللّهُمَّ كاَنَتْ لِي بِنْتُ عَمٍّ كاَنَتْ أحَبَّ الناَّسِ إِليَّ، فَأرَدْتُهاَ عَنْ نَفْسِهاَ فاَمْتَنَعَتْ مِنِّي، حَتَّى ألَّمَتْ بِهاَ سِنَةٌ مِنَ السِّنيْنَ فَجاَءتْنِي فَأعْطَيْتُهاَ عِشْرِيْنَ وَمِائَةَ دِيْناَرِ عَلىَ أنْ تُخَلِّي بَيْنِي وَبَيْنَ نَفْسِهاَ، فَفَعَلَتْ، حَتّىَ إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهاَ قاَلَتْ: لاَأُحِلُّ لَكَ أنَ تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاّ بِحَقِّهِ، فَتَحَرَّجْتُ مِنَ الوُقُوْعِ عَلَيْهاَ، فاَنْصَرَفتُ عَنْهاَ وَهِيَ أحَبُّ الناَّس إِليَّ، وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أعْطِيْتُهاَ. اللّهُمَّ إنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابَتِغاَءَ وَجْهِكَ فاَفْرُجْ عَنّا ماَ نَحْنُ فِيْهِ، فاَنْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ، غَيْرَ انَّهُمْ لاَيَسْتَطِيْعُوْنَ الْخُرُوْجَ مِنْهاَ  قاَلَ النَّبِيُّ ص: وَقاَلَ الثاَّلِثُ  اللّهُمَّ إنِّي اسْتَأجَرْتُ أُجْرَاءَ فَأعْطَيْتُهُمْ أجْرَهُمْ، غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأمْوَالُ، فَجاَءنِي بَعْدَ حِيْنٍ فَقاَلَ: ياَ عَبْدَ اللهِ أدِّ إِليَّ أجْرِي، فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ ماَ تَرَى مِنْ أجْرِكَ مِنَ الإِبلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيْقِ. فَقاَلَ ياَ عَبْدَ اللهِ لاَتَسْتَهْزِىءْ بِي. فَقُلْتُ إنِّي لاَ أسْتَهْزِىءُ بِكَ، فَأخَذَهُ كُلَّهُ فاَسْتاَقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئاً. اللّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغاَءَ وَجْهِكَ افْرُجْ عَنَّا ماَ نَحْنُ فِيْهِ فاَنْفَرَجَتِ الصَّخْرَةُ، فَخَرَجُوْا يَمْشُوْنَ

Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman (kata Abu al-Yaman) telah mengabar kan kepada kami Syu’aib dari Al-Zuhri (kata al-Zuhri) telah menceritakan kepada saya Salim bin ‘Abdullah bahwa ‘Ab dullah bin ‘Umar berkata; aku mendengar Rosululloh saw. bersabda: “Ada tiga orang dari generasi sebelum kalian yang sedang bepergian. Ketika mereka singgah dalam gua dan mereka masuk gua tersebut, sebuah batu jatuh dari gunung hingga metutup gua itu.

Mereka berkata; Tidak akan ada yang dapat menyelamat kan kalian dari batu ini kecuali bila kalian berdoa meminta kepada Allah swt dengan perantaraan kebaikan amal kalian. Maka seorang diantara mereka berkata; “Ya Allah, aku memiliki dua orangtua yang sudah renta. Dan aku tidaklah pernah memberi minum susu keluargaku pada akhir siang sebelum keduanya. Suatu hari aku keluar untuk mencari sesuatu dan aku tidak beristirahat untuk mengurus keduanya hingga keduanya tertidur, aku pulang namun aku dapati keduanya tertidur dan aku tidak mau mendahului keduanya meminum susu untuk keluargaku. Maka kemudian aku terlena sejenak dengan bejana susu berada di dua tanganku sambil aku menunggu keduanya bangun. Sampai fajar terbit, keduanya terbangun dan meminum susu jatah akhir siangnya. Ya Allah seandainya aku kerjakan itu semata mencari ridho-Mu, maka bukakanlah celah batu ini. Maka batu itu sedikit bergeser namun mereka belum dapat keluar.

Nabi saw. menyambung : Kemudian yang lain mengatakan: “Ya Allah, bersamaku ada putri pamanku yang menjadi orang yang paling aku cintai. Suatu hari aku menginginkannya namun dia menolak aku. Kemudian berlalu masa beberapa tahun hingga kemudian dia datang kepadaku lalu aku berikan dia seratus dua puluh dinar agar aku dan dia bersenang-senang lalu dia setuju hingga ketika aku sudah menguasainya dia berkata; tidak dihalalkan bagimu melepas cincin (merusak keperawanan) kecuali dengan cara yang benar. Maka aku menjadi sulit melaksanakan kemauanku itu. Lalu aku pergi meninggalkannya padahal dia wanita yang paling aku cintai dan aku tinggalkan pula emas perhiasan yang aku berikan kepadanya. Ya Allah seandainya apa yang aku kerjakan itu semata mencari ridho-Mu, maka bukakanlah celah pintu gua ini di mana kami terjebak di dalamnya. Maka terbukalah sedikit batu itu namun mereka tetap belum bisa keluar.

Nabi saw. melanjutkan: Kemudian orang yang ketiga ber kata: Ya Allah aku pernah memperkerjakan orang lalu aku memberi upah mereka, kecuali satu orang dari mereka yang meninggalkan haknya lalu dia pergi. Kemudian upah orang tersebut aku kembangkan hingga beberapa waktu kemudian ketika sudah banyak harta dari hasil yang aku kembangkan tersebut orang itu datang kepadaku lalu berkata, hai ‘Abdullah, berikanlah hak upah saya! Lalu aku katakan kepadanya, itulah semua apa yang kamu lihat adalah upahmu berupa unta, sapi, kambing dan pengembalanya”. Dia berkata, hai ‘Abdullah, kamu jangan mengolok-olok aku! Aku katakan: Aku tidak mengolok-olok!

Maka orang itu mengambil seluruhnya dan tidak ada yang disisakan sedikitpun. Ya Alloh seandainya apa yang aku kerjakan itu semata mencari ridho-Mu, maka bukakanlah celah batu gua yang kami terjebak didalamnya.

Maka batu itu terbuka akhirnya mereka dapat keluar dan pergi. (Sohih Al-Bukhori, Kitab al-Ijaroh : 2238).

Keenam, Bertawassul dengan ketauhidannya kepada Allah swt, sebagaimana firman Allah swt,

وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِباً فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ

Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersemptnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap,’bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disebah) selain Engkau, maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah memperkenankan do’anya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami selamatkan orang-orang yang beriman.”(QS. Al-Anbiya [21]: 87-88)

Demikianlah tawassul yang disyariatkan oleh agama kita Islam dan telah disepakati oleh para ulama dan tidak ada ulama yang berselisih tentangnya.

Referensi:

1.    An-Nihayah fil Gharibil Hadiit wal Atsar :v/185 Ibnul Atsir.

2.    Tafsir ath-Thabari IV/567 dan Tafsir Ibnu Katsir III/103.

3.    Mukhtar Ash-Shihah

4.    At-Tawassul Ila Haqiqati Tawassul.

5.    at-Tawwasul wa al-Wasilah, al-Imam Ibnu Taimiyyah.

6.    Fathul-Bari, juz. 3, hlm. 148 dan al-Isabah, juz. 3, hlm. 4.

admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter