Ketika individu mengabdi pada otoritas pemimpin kharismatik ajaran tertentu, agama dapat dengan mudah menjadi kerangka kekerasan dan kerusakan
alhikmah.ac.id – Teori tersebut ditulis oleh Charles Kimball, Guru Besar Studi Agama Universitas Oklahoma, dalam bukunya When Religion Become Evil (Edisi Indonesia Kala Agama Jadi Bencana, 2013: Mizan).
Charles Kimball termasuk salah satu ilmuan penganut teori bahwa agama adalah bencana bagi manusia dan pemimpin agama adalah penjahat. Tulisan-tulisannya sangat sarkastik menilai kasus perkasus keagamaann, mulai Islam, Kristen, Yahudi, Syiah, dan aliran kepercayaan lokal lainnya.
Kesimpulannya, tulisannya adalah kampanye mengajak orang untuk tidak taat pada pemimpin agama; ulama, pendeta dan lain-lain.
Teori Kimball tersebut sebetulnya tesis budaya postmodern. Seperti kata Alfred North Wittehead bahwa tren pemikiran baru pada abad ke dua puluh (postmodern, pen) adalah away of faith (jauh dari keimanan). Kesimpulannya, menurut Akbar S. Ahmed, yaitu tren postmo itu adalah kecenderungan pemikiran menolak agama yang telah mapan (Hamid Fahmi Zarkasyi, dalam Pluralisme Agama Tela’ah Cendekiawan Muslim, Adnin Armas dkk, hal. 116).
Tren postmo ini disuarakan secara mengglobal dengan kendaraan media massa. Karena ciri khas tren budaya postmo adalah kekuatan media massa yang secara massif menjadi alat kampanye. Tren postmo adalah kekuatan baru yang menggiring masyarakat dunia secara ramai-ramai meninggalkan ulama, pendeta, masjid, gereja, sinagog, wihara, dan lain-lain.
Karena itu, kampanye-kampanye budaya postmo sering menyakitkan hati kaum taat beragama. Ulama dan pendeta divisualisasikan sebagai penjahat. Masjid, gereja, sinagog dianalogikan dengan ‘rumah hantu’. Pengikutnya disebut kaum fanatik. Istilah fanatik pun oleh media massa diberitakan sebagai sifat buruk, jahat, bahaya dan anti modern.
Meskipun begitu, agama tidak pernah lenyap dari manusia. Tetapi diramalkan Barat agama hanya tersisa kulit dan tulang. Atas dasar itu, Peter Beyer mencatat bahwa masyarakat global ditandai dengan privatisasi agama. Bahwa agama hanya tertinggal di rumah-rumah ibadah. Di luar itu, tidak ditemukan agama.
Beyer menulis: “Many sociologists have put forward the notion that religion, at least in the contemporary Western world, has became increasingly privatized. Most prominently, Talcott Parsons (1960;1966:134), Peter Berger (1967: 133f), Thomas Luckmann (1967:103), and Robert Bellah (1970a:43) interpreted secularization in the modern world to mean that traditional religion was now primarily the concern of the individual and had therefore lost much of its ‘public’ relevance.” (Peter Beyer, Religion and Globalization, hal. 70).
Tulisan tersebut tentu saja didasari oleh teori Kimball bahwa figur otoritas agama sebagai faktor pemicu bencana peperangan dunia. Kimball sampai berpendapat para pemimpin kharismatik agama itu bisa memperbudak orang yang taklid padanya. Sehingga akal individu menjadi hilang.
Kimball rupanya melupakan bahwa bencana besar di abad modern itu adalah perang dunia pertama dan kedua. Perang yang menelan jutaan manusia tewas tersebut tidak melibatkan agama. Serta tidak atas nama agama.
Sebelum abad modern terjadi peperangan besar atas nama agama, yaitu Perang Salib. Ternyata itu yang memulai kerajaan Kristen, yang mencaplok negeri-negeri Islam. Kerajaan Katolik yang menyerang itu berperang murni atas nama agamanya. Karena itu masyhur disebut perang Salib. Maka, bisa jadi teori budaya postmo yang anti otoritas agama itu berangkat dari pengalaman sejarah Kristen yang dikenal kelam itu.
Tetapi persoalannya, tren postmo itu bukan lagi konsumsi negara-negara Kristen Barat, tetapi dengan globalisasi dan media massa trend tersebut sudah hadir di negara-negara Muslim. Melalui media massa diciptakanlakn citra-citra buruk tentang agama dan pemimpin agama.
Di Indonesia tren postmo tersebut sudah bisa dibaca dan dirasakan gerakannya. Media massa mulai tidak segan lagi mengungkapkan berita-berita fiktif tentang ulama. Di saat yang sama gerakan kekerasan agama diangkat tinggi-tinggi seolah-olah gerakan radikal mewakili semua pemuluk Muslim yang taat.
Pendekatan media massa biasanya genaralisasi. Satu kasus tertentu yang menimpa individu Muslim atau salah tokoh agama disimpulkan secara gegabah sebagai sebagai citra umum para pemeluk agama Islam.
Teori Charles Kimball inilah yang saat ini sedang dimainkan media massa (yang mohon maaf sebagian besar mayoritas sahamnya milik taipan).
Maka, jangan heran jika saat ini ada fenomena semangatnya media massa mengangkat atribut dan simbol-simbol Islam bukan untuk kebaikaan, justru sebaliknya, ingin dicitrakan sedemikian rupa sebagai evil (kejahatan).
Tokoh politikus partai Islam yang dikenal taat agama diseret ke meja hijau dengan kasus yang bombastis; selingkuh dan korupsi. Targetnya ingin memberi kesan, bahwa Islam yang dianut hanya dijadikan alat untuk mengeruk uang dan meraih kekuasaan belaka. Sehingga masyarakat menjadi benci dengan simbol agama, muak dengan dalil dan tidak percaya lagi dengan ulama.
Isu-isu yang tidak masuk akalpun bila dibedah di media massa mainstream akan menjadi seolah-oleh benar. Minimal, bila seseorang tidak percaya pada Islam, agar orang menjadi tidak yakin lagi dengan pemimpin agama.
Maka, tidak heran, bila dulu orang sangat segan dengan ulama, kiai dan ustadz, kini merosot kepercayaannya. Bahkan berani melawannya. Kelembagaan ulama pun (Majelis Ulama Indonesia) juga berupaya dilemahkan otoritasnya. Semua akibat “sihir” media massa yang mengusung budaya postmo.
Dari sisi teologis, budaya postmo mendidik manusia global untuk berfikiran atheistic. Corak berfikir atheistic dalam konteks dunia modern ini bukan bermakna tidak percaya sama sekali dengan Tuhan. Tetap mengakui adanya Tuhan sebagai pencipta alam akan tetapi tidak meyakini Tuhan berperan dalam mengatur kehidupan manusia.
Seorang bergama Kristen tetap percaya wujud Yesus, tetapi Bible dan Gereja tidak boleh mengatur urusan manusia. Bila seorang itu Muslim, dia tetap percaya wujud Allah yang Esa. Tetapi menolak diatur oleh Al-Qur’an. Mereka adalah kaum beragama, tetapi sebatas kulit dan tulangnya. Akal, hati dan jantung mereka sudah atheis – dalam arti menolak diatur oleh Tuhan.
Dengan mencermati budaya postmo tersebut, maka dalam konteks keindonesiaan, jelas sekali bertentangan dengan Pancasila dan UUD ’45. Khususunya sila pertama dan pasal 29 UUD 1945. Pendiri negara ini mengingingkan agama mengatur kehidupan bernegara. Karena itulah maka dulu telah dibentuk hingga sekarang Kementrian Agama, pengadilan Agama, UU tentang perkawinan, zakat dan lain-lain. Demikian ini sebagai wadah untuk mengamalkan agama dalam konteks kenegaraan. Wallahu ‘alam bisshowab.*
Penulis Anggota Majelis Intelektual Ulama Muda (MIUM) Jawa Timur, pengajar di INI Dalwa-Bangil