alhikmah.ac.id – Bulan Suci Ramadhan adalah bulan kebahagiaan, tidak terkecuali bagi mereka yang masih berstatus sebagai anak-anak. Sayangnya, sebagian besar anak-anak belum mendapat pemahaman yang benar tentang bagaimana semestinya mengisi waktu selama Bulan suci Ramadhan.
Kebanyakan anak-anak hari ini bangun di waktu sahur sekedar untuk berkumpul bersama dengan teman sebayanya, membakar kembang api atau sekedar jalan kesana-kemari menanti Shubuh tiba. Sebagian yang lain, malah ada yang menghabiskan waktu sekedar hanya untuk bermain. Pagi harinya, rata-rata mengisi puasanya dengan tidur pulas sampai terang mentari terasa menyengat.
Bahkan, sebagian lagi, khususnya yang sudah remaja, menjelang buka puasa, tepatnya usai sholat Ashar, kebanyakan menghabiskan waktunya untuk nongkrong di pinggir jalan, mutar-mutar kompleks, atau sekedar ngabuburit. Bahkan yang lebih parah, sebagian remaja kita memanfaatkan hal yang justru bersama jauh dari alaman Ramadhan, nongkrong bersama lawan jenis atau balap motor.
Semua aktivitas anak-anak tersebut mungkin dianggap wajar, toh masih anak-anak. “Yang penting sudah mau puasa, ya Alhamdulillah,” mungkin begitu argumen sebagian orangtua melihat fenomena tersebut.
Tetapi, kalau kita perhatikan secara seksama, sebenarnya di Bulan suci Ramadhan inilah kesempatan besar terbentang luas dalam kehidupan keluarga kita untuk menanamkan kebiasaan positif pada mereka.
Bagaimana tidak, anak-anak bisa bangun malam untuk sahur, kemudian mau ikut sholat Shubuh dan tentunya ikut tarawih juga di masjid.
Semestinya, orangtua tidak membiarkan momentum Ramadhan ini berlalu begitu saja, khususnya dalam kontek pendidikan anak. Ajak mereka untuk memahami apa hakikat puasa ini, sehingga mereka bisa berpikir bahwa di bulan ini mereka mesti bersemangat menempa diri menjadi insan takwa. Jadikan Ramadhan ini justru sebagai madrasah bagi mereka dengan cara langsung menyerap energi “langit” untuk menempa banyak pelajaran langsung dari Allah Subhanahu Wata’ala
Inti puasa, seperti ditegaskan di dalam al-Qur’an adalah menjadi pribadi muttaqin (QS. 2: 183). Dengan demikian sudah kewajiban para orangtua untuk mengajak anak-anaknya memahami hakikat puasa itu sendiri.
Ketakwaan itu sendiri hanya bisa diraih dengan cara menahan hawa nafsu. Hawa nafsu bagi anak-anak adalah keinginan menghabiskan waktu dengan banyak bermain, bersantai ria dan bersenang-senang. Di sini orangtua perlu mengajak anak-anak untuk dialog tentang apa sebenarnya yang mereka pahami tentang puasa ini.
Metodenya?
Ada banyak metode untuk mengajak anak-anak memahami hakikat puasa. Pertama, bisa melalui dialog. Seperti Nabi Ibrahim berdialog dengan Nabi Ismail untuk mengetahui pendapat Ismail terhadap suatu perintah sekaligus mengetahui kematangan berpikir dan kualitas keimanannya, kepatuhannya dan ketaatannya kepada orangtua.
Dialog ini perlu sering dilakukan, utamanya di Bulan Ramadhan untuk memastikan apakah anak-anak kita sudah mengerti, atau belum mengerti tentang hakikat puasa. Sebab, tujuan puasa agar setiap Muslim menjadi pribadi takwa juga perlu dicapai oleh anak-anak kita semua.
Tanpa dialog, maka puasa mungkin hanya akan memberikan kesan mendalam kepada orangtua tetapi tidak pada anak-anak. Sebab, anak-anak dibiarkan dengan dunianya yang kita anggap sebagai wajar.
Wajar tidak wajarnya perilaku anak bukan terletak pada apa yang umum terjadi pada masa anak-anak saat ini. Tetapi apa yang terjadi pada masa anak-anak di zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi’in. Mungkin berat, tetapi masak iya, kita tidak mau sama sekali berupaya. Siapa tahu Allah berikan kemudahan di bulan penuh berkah ini untuk membantu anak-anak kita mengerti hakikat puasa.
Dengan dialog yang intens, seputar puasa, maka insya Allah, anak akan merasa dihargai dan karena itu mereka akan berpikir. “Iya, ya, puasa itu kan menahan hawa nafsu untuk jadi orang bertakwa. Tapi saya kok banyakan mainnya daripada ngajinya.”
Jika itu terjadi, maka orangtua tidak perlu menghabiskan tenaga dan waktu untuk melarang anak melakukan ini dan itu selama Ramadhan.
Kedua, bisa dengan memberikan anak-anak bahan bacaan (buku, majalah, atau pun situs di internet) yang menjelaskan tentang keutamaan Ramadhan di zaman Nabi. Tentu tidak cukup hanya memberikan, temani mereka dalam membaca atau bila perlu dibaca bersama-sama. Setelah itu, minta anak-anak berpendapat dan bagaimana rencana mereka setelah membaca informasi penting tersebut.
Ketiga, ajak anak untuk mengikuti aktivitas ibadah yang kita lakukan. Misalnya, orangtua sudah memiliki kebiasaan qiyamul lail, maka mengajak anak-anak, meski baru usia SD tidak mengapa. Hal itu hanya untuk melatih saja, sekaligus memberi pemahaman kepada anak bahwa ada yang namanya sholat tahajjud.
Demikian juga dengan aktivitas ibadah lainnya, seperti sholat tarawih, mendengarkan taushiyah Shubuh di masjid, termasuk membaca al-Qur’an di rumah.
Keempat, beri anak-anak target yang sama dengan orangtua khusus selama Ramadhan. Misalnya, hatam al-Qur’an bersama terjemahannya.. Yang dalam pencapaian target itu, orangtua dan anak melakukannya secara bersamaan. Dengan demikian, maka anak-anak tidak akan merasa diperintah, tetapi merasa dihargai dan diajak, Insya Allah dengan pertolongan Allah, upaya ini akan diberikan kemudahan.
Ketekunan dan Keteladanan
Nasib Islam ini sungguh tidak dapat dipungkiri lagi ada di pundak anak-anak kita sekarang. Jika mereka sejak dini telah memahami hakikat puasa, insya Allah puasa yang akan datang mereka akan menata diri dengan lebih baik. Dan, itu sungguh akan sangat menentramkan hati kita sebagai orangtua.
Mengapa, anak-anak di zaman Nabi, sahabat dan tabi’in begitu bersemangat dalam ilmu dan ibadah? Jawaban yang paling tepat adalah karena para orangtua kala itu memiliki ketekunan dan keteladanan dalam amal ibadah dan tidak pernah jemu mengajak anak-anaknya untuk memahami apa hakikat dari segala sesuatu yang mereka amalkan.
Alkisah satu siang, hari Asyura, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pengumuman kepada penduduk Anshar. “Barangsiapa yang hari ini berpuasa, hendaknya lanjutkan (sempurnakan) puasanya. Barangsiapa yang tidak berpuasa, hendaknya berpuasa (dengan) sisa hari yang ada. Setelah (mendengar itu) kami berpuasa dan menyuruh anak-anak kecil kami berpuasa pula. Kami pergi ke masjid. Di sana kami membuat mainan dari kain wol bagi mereka (anak-anak). Apabila ada di antara mereka menangis lantaran merasa lapar, kami berikan mainan itu padanya. Ini berlangsung hingga berbuka puasa tiba. (Hadits Al-Bukhari dan Muslim).
Begitulah para orangtua zaman Nabi memperkenalkan anak-anak mereka menyambut Ramadhan. Oleh karena itu, sungguh langkah bijak dan tepat jika kita sebagai orangtua, sejak dini berusaha mengajak anak-anaknya untuk memahami hakikat puasa dengan berbagai amalan sholeh yang sudah semestinya dilakukan selama Ramadhan dan dipertahankan selama sebelas bulan berikutnya.