alhikmah.ac.id – Seorang penyeru pada kebaikan harus memiliki akhlak yang mulia. Sebelum membenahi umat ia harus dapat membenahi dirinya sendiri. Di antara sifat-sifat yang harus dimiliki adalah:
1. Ikhlas dalam setiap pekerjaan
Ikhlas adalah memurnikan amal perbuatan kita dari perhatian orang lain. Ikhlas adalah pokok dari sebab diterimanya setiap amal. Allah tidak akan menerima amalan seorang hamba sebesar apapun tanpa didasari keikhlasan padaNya. Ikhlas adalah produsen semua perbuatan, jika diletakkan amal apapun maka akan dirubahnya menjadi ibadah. Amalan yang ikhlas adalah yang semat-mata mengharap keridhoan dan balasan Allah semata. (Qudomah, 1997; As-Syarif,2002).
Allah SWT berfirman:
” Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan ( mukhlis) kepadaNya dalam menjalankan gama.” (QS. Al Bayyinah : 5).”
”Barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada-Nya” ( QS Al Kahfi : 110 )
Amalan yang tidak iklas ibarat kain putih yang ternoda. Amalan tersebut sama sekali tidak ada nilai dan pahalanya disisi Allah SWT. Namun, dalam masalah nilai dan pahala ini, perlu ada pengkategorian sesuai dengan kadar motivasi atau kekuatan pendorong dalam melakukan amalan tersebut. Jika pendorong untuk agamanya sebanding dengan pendorong nafsu, maka amalan itu tidak mendatangkan dosa dan pahala. Jika pendorong riya’ lebih kuat dan dominan, maka amalan itu mendatangkan dosa. Jika pendorong agamanya lebih kuat dari yang lain maka amal itu mendatangkan pahala. Hal ini diperkuat oleh kesepakatan ulama dimana jika seseorang pergi haji dengan mambawa barang dagangan maka hajinya tetap sah dan juga mandapat pahala, sekalipun ada bagian nafsu dari amalan ini. Demikian juga dengan orang yang berperang dengan tujuan untuk berperang sekaligus mendapat harta rampasan perang. Jika tujuan untuk mendapatkan harta harta itu mengekor di belakang tujuan berperang membela agama Allah maka ia tetap mendapat pahala.(Qudamah, 1997).
Jadi, sebuah kewajaran kalau kita mengharap penghargaan dari hasil jerih payah kita. Namun, janganlah penghargaan, uang dan gaji menjadi pendorong utama dalam bekerja. Bekerjalah karena Allah karena kecintaan kita kepada-Nya. Ingatlah, tidaklah sebanding Surga dan Ridha Allah dengan hanya sekedar harta dunia. Ingatlah, bahwa sebaik upah dan penghargaan adalah dari Allah. Sungguh beruntung, orang-orang yang bisa menjaga keikhlasan dalam berpikir, bercakap, dan bertindak. Oleh karenanya, wahai saudaraku tercinta, ketika akan melakukan kebaikan apapun bentuk dan namanya, hendaklah kita selalu bertanya dalam diri: “apakah yang hendak saya lakukan ini semata-mata hanya karena mengharap pujian, sanjungan, cinta, sayang, dan ridho Allah?” Jika, ternyata pujian dan sanjungan manusia yang diharapkan hendaknya kita segera meluruskan niat, agar kebaikan yang kita lakukan tidak sia-sia dihadapan-Nya. Ingatalah, pesan Rosulullah “Sesungguhnya setiap perbuatan bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya”. (H.R. Bukhori dan Muslim)
2. Jujur dalam setiap permasalahan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kejujuran. Sebaliknya, Islam sangat membenci kemunafikan dan kepalsuan. Hal ini menunjukkan dengan dibebankan-nya siksaan yang berat bagi orang yang hatinya telah terpatri sifat munafik.
Allah berfirman:
” Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam. Mereka kekal didalamnya. Cukuplah neraka bagi mereka. Dan Allah melaknati mereka dan bagi mereka azab (siksa) yang kekal.”
(Q.S. At Taubah : 68)
Kejujuran adalah amalan yang mulia dan mendatangkan kemuliaan baik di hadapan Allah maupun manusia. Rasulullah mendapat predikat Al Amin ( yang dapat dipercaya ) dari penduduk Makkah adalah karena kejujurannya. Kejujuran dapat menuntun seseorang menuju surga yang dijanjikan Allah.
Rasulullah bersabda:
” Hendaklah kalian jujur, karena jujur itu menuntun kepada kebajikan, dan kebjikan menuntun kepada surga. Seseorang senantiasa jujur dan mencari kejujuran, hingga dia ditetapkan di sisi Allah sebagai orang yang jujur.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Jujur dapat berlaku untuk beberapakeadaan.
3. Jujur dalam perkataan
Setiap orang harus menjaga perkataannya. Tidak berkata kecuali yang benar dan secara jujur. Dia juga harus menghindari perkataan yang dibuat-buat karena hal ini termasuk kedustaan.
4. Jujur dalam niat dan kehendak
Masalah ini ternasuk dalam pembahasan masalah ikhlas.
5. Jujur dalam hasrat.
Jika seseorang berjanji atau berkomitmen dam dirinya, maka dia harus memenuhinya (Qudamah, 1997).
Allah berfirman :
” Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rosulnya, maka ia telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. Al Ahzab : 70-71)
Luar biasa balasan yang Allah berikan kepada orang-orang yang jujur. Tidak tertarikkah kita? Maka, jadilah kita orang-orang yang jujur ibarat mutiara yang akan selalu dicari orang.
6. Sabar
Sabar merupakan akhlak Islami yanga paling penting dan menjadi keharusan seorang hamba (Asy-Syarif,2002). Allah telah menyebutkan kata-kata sabar di 90 (sembilan puluh) tempat dalam Al-Quran (Qudamah, 1997). Salah satunya adalah firman Allah :
” Dan sesungguhnya kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl : 96)
Secara bahasa, sabar berarti memenjara atau menahan. Secara istilah, sabar adalah menahan diri dari keluh kesah, menahan lisan dari keluhan, dan menahan anggota tubuh dari hal yang merusak (As- Syarif,2002), Sabar dapat berkaitan dengan fisik dan psikis. Contoh kesabaran yang berkaitan dengan fisik adalah ketabahan menanggung beban dengan fisik. Sedangkan kesabaran yang berkaitan dengan psikis seperti kesabaran dalam menahan amarah yang disebut hilm (kemurahan hati) dan sabar dalam menghadapi masalah yang pelik dan berat (sa’atus shadri) (Qudamah,1997).
Jika dilihat dari pengertian di atas, dalam manajemen modern, salah satu model dari sabar adalah Adversity Quotient (AQ) yaitu ukuran ketahanan seseorang dalam menghadapi permasalahan, tantangan dan hambatan yang menghadangnya. AQ (Adversity Quotient) dapat disamakan sa’atus shadrin yang merupakan manivestasi psikis dari sabar. Dalam konteks perilaku organisasi, tentu masalah ini menjadi teramat penting karena ketahanan sebuah organisasi menghadapi permasalah tetentu sangat tergantung pada ketahana individu di dalamnya dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi. Sabar dalam menghadapi masalah yang diluar kehendak dan pilihan seseorang adalah kedudukan yang paling tinggi (Qudamah,1997). Bahkan, musibah yang ditimpakan kepada seseorang hamba dalam Islam merupakan salah satu tanda kebaikan seseorang.
Rosulullah bersabda:
” Barang siapa yang Allah menghendaki kebaikan pada dirinya, maka Dia menimpakan masalah (bencana) kepadanya” (HR. Bukhari)
Termasuk dalam kategori ini adalah kesabarab dalam menghadapi gangguan orang lain, seperti orang yang menyakiti dengan perkataan, perbuatan, atau suatu tindak kejahatan lainnya. Sabar dalam hal ini adalah tanpa harus membalasnya. Sabar menghadapi sikap orang yang menyakitkan termasuk tingkat sabar yang paling tinggi (Qudamah,1997). Sabar jaga tampak pada perilaku untuk manghadapi tekanandan tugas-tugasnya sebagai kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri sehingga dirinya kuat menghadapi beban tugas (tolerance to stress) karena mereka yakin allah tidak akan memberibeban diluar kemampuan hambanya (Tasmara,2001). Mari kita bercermin pada kesabaran Rosulullah dalam mengemban amanah dakwah. Sungguh berat ujian yang harus beliau terima. Hinaan, cacian, cemoohan, fitnah, bahkan sampaipercobaan pembunuhan. Tetapi, sangat menukjubkan kesabaran yang dimiliki Rasul. Beliau memiliki kesabaran yang melimpah laksana mata air yang tak pernah kering.
Maka, Maha Benar Allah yang telah berfirman:
” Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiaga (diperbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.”
(QS. Ali Imran : 200)
7. Kerja Ikhsan (optimal)
Allah SWT berfirman :
” Maka apabiala sholatmu telah usai, menyebarlah kamu di muka bumi dan carilah kemurahan (karunia) Allah, serta banyaklah mengingat Allah supaya kamu berjaya.”
(QS. Al Jumu’ah : 10)
Ayat diatas secara jelas menyuruh kepada setiap muslim untuk bekerja keras mencari rezeki yang dijanjikan Allah SWT (Majdid, 1999). Dalam Islam, antara bekerja mencari mata pencaharian dengan ibadah yang khusus seperti sholat, puasa, dan haji berada pada garis lurus (Qutb, 2000). Islam tidak menghendaki kita membuat kaki kita kepayahan dalam beribadah tetapi orang lain menjadi payah karena melayani kita. Islam juga tidak menyukai kelemahan dan kemiskinan. Luqman Al Hakim pernah menasehati putranya dengan perkataan ” Wahai anakku perhatikanlah mata pencaharian yang halal. Jika seseorangmiskin, ia bisa terkena satu dari tiga masalah yaitu kelemahan agama, kelemahan akal, dan kelemahan kepribadian. Yang lebih besar dari tiga perkara ini adalah adanya orang lain yang menganggap remeh dirinya.”( Qudamah,1997).
Etos kerja dalam islam juga terwakili dengan kata ihsan yang tergambar dalam sebuah hadist Rasulullah:
”Sesungguhnya Allah menghendaki ihsan ( berbuat baik ) atas segala sesuatu. Karena itu , jika kamu membunuh berihsanlah dalam membunuh. Jika kamu menyembelih berihsanlah dalam menyembelih…” ( HR. Muslim)
Kesimpilan yang dapat diambil dari hadist ini, ihsan adalah optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin ( kosasih, 1999 ). Allah berfirman :
”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” ( QS. Al Mulk : 2 )
Sudah saatnya kita selalu berfikir dan berbuat yang terbaik dalam segala hal. Ingat, tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” ( QS. Ar Rahman : 60 )
8. Itqan (Profesional)
Selain kata ihsan, Allah juga memakai kata itqan yang bermakna membuat atau mengerjakan sesuatu secara sungguh-sungguh dan teliti sehingga rapi, indah, tertib serta bersesuaian antara satu dengan yang lain ( kosasih, 1999). Sehubungan dengan ini , Allah berfirman : ”…perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan ( Qs. An Naml : 88).
Dengan bekerja Itqan, Niscaya kita akan memperoleh banyak kemudahan; saat mencari arsip, saat pekerjaan kita dialihkan pada orang alain karena cuti atau adanya mutasi, dan yang pasti Allah akan makin cinta kepada kita. Allah telah berfirman :
”Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang kokoh”
(QS.Ash Shaff :4)
9. Tawadhu’
Tawadhu” adalah kerendahan hati ( Al Jauziyah, 1998). Ini adalah akhlaq orang-orang yang beriman. Tidaklah sesorang berakhlak dengan-Nya kecuali Allah pasti akan menambahkan kemualiaan kepada-nya. Namanya akan harum ditengah-tengah manusia. Sebaliknya, tidaklah seseorang berpisah denganyya kecuali pasti akan ditimpa kehinaan, dimusuhi, dibenci dan dijauhi orang lain ( As Syarif,2002).
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mewahyukan kepada daku, “ Hendaklah kalian bersikap rendah hati sehingga tidak ada seseorang yang membangga-banggakan dirinya atas orang lain dan tidak ada seorangpun yang berbuat zalim kepada orang lain.” ( HR. Muslim).
Bentuk tawadu’ yang nyata dalam perilaku organisasi adalah tidak meremehkan orang lain. Orang yang tawadhu” akan menganggap orang lain lebih baik dari dirinya sebagaimana sebuah hadist dari Rasulullah yang diriwayatkan imam tirmidzi. Budaya tawadhu’ juga nampak dari tidak adanya penghormatan yang berlebih-lebihan kepada atasan atau yayasan. Hendaknya siapa saja dalam organisasi harus menyadari hal ini walaupun ia seorang peminpin organisasi atau yayasan sekalipun.
Tawadu’ bukanlah berarti tidak boleh memakai pakaian yang bagus, rapi dan menarik karena hal itu adalah wajar sebagai manusaia. Jadi bukanlah sebuah kesombongan jika karyawan memakai baju yang bagus untuk menyenangkan pelanggan atau menghias ruangan kerja dan pelayanannya sedemikian rupa dengan keindahan. (As- Syarif,2002).
Oleh karena itu, jadilah kita prang yang tawadu’ (rendah hati) tapi tidak rendah diri, niscaya orang lain akan mencintai kita.
10. Disiplin memanfaatkan waktu
Waktu adalah aset Illahianh yang paling berharga. Waktu bahkan merupakan kehidupan yang tidak dapat disia-siakan. Sungguh benar apa yang difirmankan Allah agar kita memperhatikan waktu (Tasmara,2001). Rasulullah bersabda:
“ Jangan mencerca waktu karena Allah-lah pemilik waktu.”( HR. Ahamd )
Dalam konteks perilaku berorganisasi, cara menghargai waktu diantaranya:
– Dengan adanya perencanaan waktu (time sceduling) yang tepat dan sungguh- sungguh. Time scheduling itu kemudian ditepatidengan penuh disiplin dan rasa tanggung jawab. Termasauk di dalam masalah ini adanya perencanaan jangka panjang (long term planning) dan penerjemahannya berupa perencanaan jangka pendek (short term planning).
– Menjadikan seluruh kegiatan didalam organisasi tepat waktu. Bagi organisasi Islam yang menghargai waktu, tidak boleh ada lagi istilah jam karet atau waktu yang molor. Harus ada mekanisme untuk dapat elakukan setiap kegiatan tepat waktu.
– Tidak menunda-nunda pekerjaan (pending job). Dengan menunda pekerjaan artinya kita menembah pekerjaan dan membuang-buang waktu (Tasmara, 2001). Termasuk menghargai waktu adalah menggunakan waktu untuk hal yang bermanfaat danmeninggalkan hal yang tidak bermanfaat.
Rasulullah bersabda:
” Salah satu dari tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal-yang tidak berguna baginya.” (HR. Ibnu Majah)
Ingatlah, sesungguhnya waktu itu laksana pedang. Jika tidak pandai memanfaatkannya niscaya kitalah yang akan tepotong menjadi korbannya.
11. Menuntut Ilmu
Ilmu adalah pelita. Dengan ilmu manusia dapat menerangi jalannya dari kegelapan sehingga ia tidak terkena duri atau terperosok kedalam jurang yang dalam. Ilmu dapatmengatarkan manusia untuk mengetahui kebenaran dan mengenal Tuhannya. Dengan ilmu pula manusia dapat membuat peradapan yang maju sehingga dapat berfungsi sebagai wakil Allah dimuka bumi ( khalifah Allah fil art ) .
Ibnu Abbas, ulamanya kalangan sahabat Rasul pernah berkata : Orang-orang yang berilmu mempunyai derajat sebanyak tujuh ratus kali derajat diatas orang-orang mukmin. Jarak diantara dua derajat ini terbentang sejauh perjalanan selama lima ratus tahun ( Qudamah,1997 ). Hal ini didasarkan kepada firman Allah :
” Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantarakalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujahadah : 11 )
Dalam konteks organisasi, tiap individu didalamnya haruslah mempunyai gairah dalam menuntut ilmu baik itu ilmu tentang agamanya maupun tentang dunia pekerjaannya. Setiap individu harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi ( coriousty) (Tasmara,2001). Inilah dasar bagi terbentuknya ” Learning Organization” (Organisasi Pembelajar). Budaya menuntut ilmu ini harus sifasilitasi dengan baik oleh oihak manajemen misalnya dengan menyelenggarakan ceramah-ceramah, kuliah-kuliah, pelatihan-pelatihan, maupun memberikan bea siswa bagi pegawainya. Organisasi juga diharapkan dapat memiliki perpustakaan yang lengkap dan mutakhir sebagai sarana up grading ilmu pengetahuan yang selalu berkembang. Perpustakaan diharapkan dapat diperdayakan untuk menumbuhkan budaya baca dan diskusi dikalangan karyawan. Sharing of knowledge dari senior kepada yunior juga merupakan usaha yang strategis ntuk mendorong skill dan pemahaman kasus di lapangan. Sungguh luar biasa hasilnya jika dorongan Islam yang kuat untuk menuntut ilmu dapat diresapi tiap anggota organisasi dan difahami sebagai amal ibadah yang sangat agung di sisi Allah. Rasulullah secara tegas bersabda bahwa kelebihan orang yang berilmu dengan seorang ahli ibadah adalah seperti kelebihanku terhadap orang yang paling hina diantara kalian. Kita bekali diri dengan ilmu agar kita mendapat banyak kemudahan dalam melakukan kebaikan, menjaga konsistensi dalam beramal kebajikan.
”Seandaianya ilmu tanpa ketaqwaan merupakan suatu kemuliaan, niscaya makluk Allah yang paling mulia adalah iblis”, demikian perkataan Imam Ghazali dalam Ihya Ulmuluddin.
12. Budaya menasihati (Amar ma’ruf nahi munkar)
Islam adalah agama nsehat sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahkan Allah mengatakan dalam firman-Nya bahwa salah satu indikator kaum yang merugi adalah meninggalkan nasehat diantara mereka.
Allah berfirman :
” Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam keadaan merugi kecuali orang-orang yang beriaman, beramal sholeh dan saling menasehati untukmenetapi kebenaran dan kesabaran.”( QS. Al Ashr : 1-3 )
Ayat diatas secara jelas mengetengahkan janji Allah yang bahwa jika sebuah organisasi ingin beruntung di duia dan akhirat, maka harus tercipta sebuah budaya untuk saling menasehati Setiap anggota organisasi, apapun jabatannya, merasa senantiasa rindu terhadap nasehat. Nasehatapapun bentuknya, apakah itu berupa kritik maupun teguran harus sianggap sebagai cermin sosial untuk memperbaiki kualitan diri. Kunci bagiterciptanya iklim menasehati tentunya adalah adanya keterbukaan. Simbol-simbol ketidaksamaan antar manusia harus dikikis habis karena memang hanya ketaqwaanlah yang dapat membedakan kedudukan seseorang di mat Allah.
Nasehat dalam Islam harus dilakukan dengan cara yang terbaik, tidak menyakiti, dan tidak proporsional. Dan yang paling penting, harus dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah, bukan untuk saling menjatuhkan dan mencari popularitas. Tidak pula dibenarkan menuduh seseorang berbuat salah tanpa data dan saksi yang jelas karena hal itu dapat berbuah fitnah yangmrngancam keharmonisan organisasi.
13. Menjauhi budaya menggunjing (ghibah)
Islam telah menyebutkan larangan menggunjing dan menyerupakanpelakunya dengan pemakan bangkai. Rasulullah bersabda:
” Wahai sekalian orang yang beriman dengan lidahnya namun belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari aib orang lain maka Allah akan mencari-cari aib dirinya.” (HR. Abu Dawud, At Tirmizi dll)
Ghibah (menggunjing) dalam Islam adalah menyebut-nyebut orng lain yang tidak ada di sisi kita dengan perkataan yang membuatnya tidak suka jika mendengarnya, baik menyagkut kekurangan fisik, perangai, keturunan, pakaian, dll.(Qudamah,1997)
Dalam konteks organisasi, budaya ghibah akan merusak sendi-sendi kerjasama dan harmoni. Ghibah sebenarnya merupakan manifestasi dari adanyasumbatan yang besar dalam jalur komunikasi organisasi tersebut. Karyawan atau anggota organisasi tidak memiliki saluran yang jelas dan berdayaguna untuk menampung keluhan-keluhannya, akibatnya keluhan maupun ketidakpuasan itu keluar dalam bentuk ghibah yang tercela dalam agama.
14. Menjauhi budaya dengki (hasad)
Dengki adalah tidak senang melihat orang lain mendapat kenikmatan dari Allah dan senang bila kenikmatan tersebut hilang dari orang itu (Qudamah,1997). Iklim atau budaya dengki adalah iklim kerja yang sangat berbahaya bagi sebuah organisasi. Dengki akan menimbulkan sebuah iklim kompetisi yang tidak sehat, saling menjegal, memfitnah dan segala macam akhlak buruk lainnya. Tujuannya hanya satu yaitu agar kenikmatan allah baik berupa jabatan, harta, maupun pengaruh bisa hilang lenyap dari rekan sekerjanya. Sebaliknya, hilangnya iklim kedengkian akan menumbuhkan kompetisi yang sehat karena Islam memang menyuruh kita berkompetisi dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Islam adalah agama persaudaraandan persatuan (jama’ah) dan dengki adalah musuh utama dari sebuah persaudaraan. Rasulullah bersabda:
” Janganlah kalian saling membenci, saling memutuskan hubungan, saling mendengk, dan saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba-hambayang bersaudara.”
(HR. Bukhary dan Muslim) (dkwt)