alhikmah.ac.id – Tak ada yang lebih gelisah ketika itu selain Abu Lubabah. Betapa ia merasa berdosa. Ia tersadar, bagaimana mungkin seorang mukmin tinggal nyaman di rumah, sementara Rasul dan para sahabat lainnya pergi berjihad.
Tabuk memang bukan seperti perang sebelumnya. Selain jarak tempuh yang bisa memakan waktu lima belas hari berkuda, musuh yang akan dihadapi pun tergolong sangat berat. Betapa tidak, kali ini Rasulullah saw. dan kaum muslimin akan berhadapan dengan negara adidaya kala itu, Romawi. Sungguh perang besar yang membutuhkan pengorbanan sangat besar.
Terjadilah mobilisasi besar-besaran, apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk modal perang. Mulai dari uang dalam jumlah besar, hingga sumbangan beberapa butir kurma. Hampir tak ada seorang pun di Madinah ketika itu yang rela berpangku tangan. Semuanya ingin berpartisipasi.
Bahkan, orang-orang munafik pun menyatakan diri untuk ikut perang. Pasukan pimpinan Abdullah bin Ubay ini siap bergabung. Tapi, Rasulullah saw. menolak. Rasul meminta mereka untuk tetap di Madinah.
Mulailah pasukan perang siap berangkat. Waktu mencatat saat itu tahun kesembilan hijriyah. Tidak kurang dari tiga puluh ribu pasukan siap berangkat menuju medan jihad. Di antara mereka ada yang berkuda dan berunta. Saat persiapan itu, sepuluh orang yang dipimpin Abdullah bin Ma’qil Al-Muzani menangis. Mereka sedih tidak bisa ikut perang karena tidak punya perbekalan. Dan Rasul pun tidak bisa membantu mereka memberikan perbekalan.
Allah swt. berfirman, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: ‘Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu,’ lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan lantaran tidak memperoleh apa yang akan mereka belanjakan.” (At-Taubah: 92)
Seperti itulah, hampir tidak ada satu mukmin pun ketika yang acuh tak acuh dengan Perang Tabuk. Semua sibuk. Semuanya siap berjihad, apa pun yang mesti mereka korbankan. Dan pasukan pimpinan Rasulullah saw. itu pun berangkat.
Ketika itu, ada enam orang sahabat yang tertinggal. Mereka adalah Abu Lubabah, Aus bin Khudzam, Tsa’labah bin Wadi’ah, Ka’ab bin Malik, Mararah bin Ar-Rabi’, dan Hilal bin Umayyah.
Dalam ketertinggalan itu, Abu Lubabah benar-benar terpukul dan menyesal. “Kita di sini bersenang-senang di bawah rindangnya pepohonan, hidup nyaman bersama isteri-isteri kita; sementara Rasulullah bersama kaum mukminin sedang berjihad. Demi Allah, saya akan mengikat diri pada tiang-tiang. Dan, tidak akan saya lepaskan talinya kecuali dilepas oleh Rasulullah,” ucap Abu Lubabah spontan.
Dari lima sahabat Rasul yang tinggal bersama Abu Lubabah, dua di antaranya pun mengikuti langkah Abu Lubabah. Aus dan Tsa’labah ternyata punya sikap yang sama dengan Abu Lubabah. Mereka bersedia terikat pada tiang hingga perang Tabuk usai. Tidak kurang, empat puluh lima hari mereka lalui dalam ikatan tali. Mereka menyesal lalai dalam tugas suci bersama Rasul. Mereka benar-benar bertaubat.
Sekembalinya dari Perang Tabuk, Rasulullah saw. dikabari tentang tingkah para sahabat yang mengikat diri pada tiang. Rasul mengatakan, “Siapa yang diikat di tiang-tiang itu?” Seorang sahabat menjawab, “Mereka itu Abu Lubabah dan teman-temannya yang tidak ikut ke medan perang bersama Tuan. Mereka berjanji tidak akan melepaskan diri kecuali jika Tuan yang melepaskannya.”
Sejenak Rasul diam. Beliau saw. bersabda, “Aku tidak akan melepaskan mereka sebelum mendapat perintah (dari Allah).” Jawaban itu membuat semua sahabat yang menyaksikan penderitaan Abu Lubabah dalam ikatan tali diam. Betapa mereka prihatin dengan Abu Lubabah. Seorang sahabat yang selama ini begitu setia dalam setiap perjuangan Rasul. Dalam hati mereka berharap, semoga Allah mengampuni dosa mereka sesegera mungkin.
Setelah menemui Abu Lubabah yang tetap terikat pada tiang, Rasulullah pulang ke rumah Ummu Salamah. Beliau istirahat. Selepas ibadah malam, Ummu Salamah mendapati Rasul tersenyum. “Ada apa, ya Rasul?” tanya Ummu Salamah penasaran. Beliau saw. menjawab, “Abu Lubabah diterima taubatnya!” Betapa gembiranya Ummu Salamah. “Bolehkah saya kabarkan berita gembira itu pada Abu Lubabah?” tanya Ummu Salamah begitu bersemangat. “Terserah kepadamu,” jawab Rasul pendek.
Sesaat itu juga, Ummu Salamah mengabarkan ke para sahabat soal berita pengampunan dosa Abu Lubabah. Ia mengatakan, “Hai Abu Lubabah, bergembiralah! Karena dosamu telah diampuni dan taubatmu telah diterima.” Mendengar ucapan itu, orang-orang berkumpul untuk melepaskan ikatan Abu Lubabah. Dengan isyarat sederhana, ia menolak. Sekali lagi, ia hanya ingin dilepas oleh Rasulullah saw. Ia ingin tangan Rasul yang mulia melepaskan ikatan tali pada tubuhnya yang tega berbuat dosa.
Ketika waktu Subuh datang, Rasul keluar rumah untuk menunaikan shalat berjamaah. Ketika itulah, beliau saw. menemui Abu Lubabah yang masih terikat. Saat itu juga, beliau melepas ikatan tali yang melilit tubuh Abu Lubabah lebih dari satu bulan.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka. Mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 102) (dkwt)