Bijak dalam Memberi Nasihat

Share to :

alhikmah.ac.id – Dalam perjalanan hidup, nasehat-menasehati merupakan pilar yang sangat utama, bahkan merupakan kewajiban bagi orang yang beriman setiap waktu. Hal ini dapat dilihat dari surah Al Ashr. Surah ini merupakan pegangan paling kuat dalam menjalankan nasehat-manasehati. Bahkan Imam Syafiie, seorang ulama fiqih yang masyhur itu, menyatakan bahwa, jika al-Qur’an pun hanya surah al Ashr, maka cakupan maknanya sudah cukup.

Dalam surah ini Allah swt bersumpah atas nama waktu (Ashr). Secara bahasa ashr bermakna memeras dan menekan sesuatu hingga apa yang di dalam sesuatu itu keluar. Maka ashr menjadi nama suatu waktu dimana orang yang kerja seharian memeras keringat mulai terbit matahari, pekerjaannya itu telah muali menampakkan hasil. Dan waktu menampakkan hasil itulah disebut waktu ashr. Dan memang dalam kehidupan keseharian adalah demikian, dimana orang kerja dari pagi buta makan hasilnya akan tampak maksimal di waktu ashr.
Demi waktu sesungguhnya manusia itu dalam kondisi khusrin, apapun hasilnya dari memeras keringat seharian atau sepanjang waktu hidupnya, baik itu sukses atau gagal, kaya atau pun miskin, maka sudah disumpah oleh Allah, pasti husrin. Husrin ini biasanya diterjemahkan dalam arti merugi, padahal sesungguhnya khusrin ini adalah mencakup semua makna yang berkaitan dengan rugi yakni bangkrut, menderita, kolaps, sedih, susah, sengsara dan semua kondisi yang serupa sesungguhnya dicakup dalam kata husrin.
Apapun hasil kerja sepanjang hidupnya pasti dalam keadaan khusrin. Namun Allah swt memberikan kekecualian yang ditunjukkan pada ayat sesudahnya di surah al ashr ini. Kekecualian ini adalah pada orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam al haq dan saling menasehati dalam kesabaran.
Jika ditelaah lebih lanjut, orang yang beriman memang tidak lagi merugi tetapi belum beruntung, karenanya ayat itu dilanjutkan dengan kata ‘wa’ yang artinya dan , yakni beramal shalih. Orang yang beriman dan beramal shalih pun belum beruntung, karena ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa’ yakni saling menasehati dalam al haq. Dalam hal ini terjemahan al-Qur’an disebutkan saling menasehati dalam kebenaran, namun jika ditilik lebih dalam maka Al Haq adalah salah satu dari Asma’ul husna, artinya al Haq adalah nama Allah , sehingga watawasau bil haq dapat diartikan lebih spesifik yaknisaling menasehati agar senantiasa di jalan Allah (jalan al Haq) . Tentu dalam hal ini bermakna dakwah, sebab saling menasehati agar senantiasa di jalan Allah adalah dakwah. Namun demikian, orang yang berdakwah setelah beriman dan beramal shalih pun belum akan memperoleh keberuntungan, sebab ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa” tawassau bisshabr. yang artinya adalah saling menasehati dalam hal kesabaran. Jika dianalisa maka arti maknanya adalah saling menasehati agar senantiasa sabar dalam menjalani hidup beriman dan beramal shalih, dan sabar dengan jalan hidup berdakwah.
Memang kata yang digunakan dalam surah ini adalah tawasau, artinya saling memberi wasiyat . Nah dengan demikian nasehat pun sesungguhnya identik dengan wasiyat.
Dalam Hadits
Rasulullah saw, telah bersabda yang kita semua sudah mengetahuinya yakni “addiinu nashihat” – agama adalah nasehat . Ini menekankan bahwa nasehat merupakan jalan hidup, merupakan pilar utama dalam islam.
Bagaimana sikap dalam menasehati.
Dalam Al-qur’an, kisah tentang bagaimana menasehati ini termaktub dalam kisah Musa as diperintah oleh Allah untuk mendatangi Fir’aun. Musa as diperintahkan oleh Allah untuk memberikan nasehat dakwahnya kepada Fir’aun dengan ‘’qaulan layyinan” perkataan yang lembut. Bagaimana caranya memberi nasehat kepada manusia yang sangat tegas kekafirannya dan menjadi puncak lambang kekafiran, pun dengan qaulan layyinan. Maka dari situlah nabi Musa as berdoa dengan Rabis rahli sadri wayasrlii amrii………
Tersebut dalam kisah, ada seorang yang datang kepada Khalifah Al Makmun, memberikan nasehat dengan suara lantang dan kasar, dengan nada tinggi. Maka saat itu Al Makmun memberikan jawaban bahwa, ‘Anda tidak lebih baik dari nabi Musa, dan saya tidak lebih buruk dari Fir’aun, nabi Musa mendatangi Fir’aun dengan perkataan lembut, sedangkan Anda dengan kata yang kasar.
Jika memberi nasehat kepada orang sesama muslim maka pedomannya adalah dengan perkataan yang lembut dan ‘adzilatin alal mukminin” – bersikap lemah lembut kepada orang mukmin .
Bahkan dalam hadits rasulullah mengajarkan kita untuk bersuara dengan nada yang tidak lebih tinggi dari saudara sesama muslim. Banyak keutamaan yang didapat dari merendahkan nada suaranya, dan meninggikan nada suaranya menunjukkan mudahnya dijangkiti penyakit sombong. Bahkan suara yang nadanya tinggi diserupakan dengan serengaian keledai.
Terkisah banyak sahabat yang sedih dan mengurungkan diri di dalam kamarnya beberapa hari setalah turun ayat yang menyuruh ‘rendahkanlah suaramu di hadapan rasulullah” karena para sahabat merasa selama ini menggunakan nada tinggi dihadapan Rasulullah.
Bagaimana Mengkritik dalam berdakwah.
Menasehati dalam dakwah, pun tidak terlepas dari tuntunan Al Quran. Cara berdakwah disebutkan adalah, dengan bil hikmah wal mauizatil hasanah wa jadilhum billati hiyal ahsan . Jika ditilik dari urutan teksnya maka dalam memberikan nasehat dakwahnya yang pertama adalah dengan hikmah. Ini adalah dakwah yang paling pertama yang hendaknya digunakan. Jika dengan hikmah orang sudah bisa menerima dakwah maka tidak perlu sampai menggunakan mauizatil hasanah (nasehat yang baik/ bijak)apalagi dengan jidal (mengadu argument), meskipun dengan jidal yang terbaik sekalipun.
Bila dakwah dilakukan dengan cara terbaik yang mendahuluhan nasehat yang bijak sebelum hikmah, maka sesungguhnya tidak akan efektif dan tidak methodis, disamping kurang dalam nilai etika dakwahnya. Apalagi jika dakwah dilakukan dengan pertama kali jidal tentu tidak akan menuai hasil yang baik. Meskipun kapan menggunakan hikmah, kapan menggunakan mauizatil hasanah dan kapan menggunakan jidal itu tergantung situsi kondisi dan juga objek dakwahnya.
Jika ditelaah lebih lanjut, hikmah sangat bagus digunakan untuk orang yang lebih muda kepada orang tua, mad’u yang tidak sedang melakukan khilaf, juga kepada orang yang dihormati.
terkisah ada seorang ulama yang sangat sedih dan sangat merasa kehilangan ketika putranya meninggal, sampai berlarut-larut. Maka memberikan nasehat kepadanya adalah dengan hikmah, dengan pertanyaan; “bagaimana pendapat Anda wahai ulama, jika seseorang dititipin emas oleh penitip dan emas itu diambil kembali oleh yang empunya? apakah perlu sedih berlarut-larut dan tidak ikhlas?, maka sang ulama tersadar akan pertanyaan itu atas kematian putranya dengan menjadi ikhlas. Tidak elok jika memberikan mauizail hasanah kepada ulama itu. Di dalam mengelola taklim pun demikian, audien akan lebih merasa dihargai jika penceramah lebih mengedepankan hikmah daripada mauizatil hasanah. Potensi dan kegemaran menasehati perlu ditahan dalam hal ini dengan lebih melebarkan cara, topik dan tema-tema yang masuk dalam wilayah hikmah.
Mauizatil hasanah (nasehat yang bijak) diberikan kepada orang yang sedang khilaf, kepada orang yang lebih muda, kepada murid, kepada orang yang posisinya lebih bawah. Misal seorang ayah kepada anaknya, atau guru kepada muridnya. Termasuk dalam kategori tidak begitu beradap jika seorang anak meggunakan mauizatil hasanah kepada bapaknya, istri menggunakannya kepada suaminya, seorang mutarabi kepada murobinya, seorang murid kepada ustadznya.
Jidal ahsan dilakukan jika cara hikmah dan mauizatil hasanah tidak mempan, ini pilihan terakhir. Da’i yang gemar jidal dan menjadikan jidal sebagai cara awal untuk berdakwah, biasanya mad’u akan lari dan tidak menerima dakwah, terkadang malah menjadi sinis. Jika pun berhasil maka akan menghasilkan dai-dai yang suka jidal dan tidak efektif membawa masyarakat secara luas menjadi mukmin.
Di sinilah Ust Hasan Al Bana menyampaikan slogan likulli maqal maqam wa likulli maqam maqal, setiap tempat ada perkataan yang pas dan setiap perkataan ada tempat-tepatnya yang pas.
Bagaimana dengan mengkritik ?. Maka mengkritik adalah bagian dari mauizatil hasanah, bukan bagian dari hikmah, meskipun ada sebagian orang yang bisa mengemas kritik dengan hikmah.
Demikian juga dalam konsep bermasyarakat, ada Roin dan ada Rokyah, yang secara arti adalah ada pemimpin dan ada rakyat, yang keduanya ada hak dan kewajiban.
Dalam hal ini roin berkewajiban mensejahterakan rakyat dan memiliki hak untuk ditaati, dan rakyat memiliki hak untuk disejahterakan dan berkewajiban mentaati roin. Jika roin tidak mensejahterakan rakyat maka rakyat pun menjadi tidak taat kepada roin.
Dalam hubungan nasehat, maka roin memberi perintah kepada rakyat dan rakyat bisa mengkritik pemimpin. Tidak bisa sebaliknya misalnya pemerintah mengkeritik rakyatnya atau rakyat memerintah roinnya, yang ada adalah rakyat mengkritik dan menuntut roinnya. Hal ini sama dengan hal dalam rumah tangga, suami sebagai pemimpin tidak mengkritik istrinya, tetapi istrinya yang mengkritik suaminya. Jika suami tidak siap dikritik istri maka kadar kepemimpinannya sangat rendah, demikian juga jika istri tidak mau diperintah suami, maka juga demikian. Dalam hubungan pemerintah juga demikian, oposisi mengekritik pemerintah dan tidak bisa sebaliknya pemerintah mengkritik oposisinya.
Dengan demikian orang yang suka mengkritik biasanya memiliki kadar kepemimpinan yang tidak tinggi dan tidak menjadi pemegang kebijakan tetapi biasanya menjadi oposan. Oposan biasanya mengkritik dan tidak siap dikritik. Jika seseorang siap dikritisi adalah seseorang yang siap jadi pemimpin, jika tidak siap maka tidak siap mengelola suatu amanah. Jika seorang roin tidak siap menerima kritik rakyatnya makan sungguh aneh dan apalagi roin mengkritik rakyatnya akan lebih aneh lagi.
Dalam mengkritisi pun tidak lepas dari kaidah qaulan layyinan, hikmah dan mauizatil hasanah serta jidal sebagai jalan akhir. Siap menerima kritikan berarti siap menjadi pemimpin.
Terkadang dalam mengkritik yang dikritik adalam pengelolaan pemerintahan, atau suatu organisasi, terkadang personal roinnya. Orang yang kritis biasanya ditempatkan pada posisi oposisi bukan eksekutif, dan biasanya tidak diterima di eksekutif karana belum imbangnya dengan kesiapan untuk dikritisi. Dan dari sana ia memberikan manfaat, sebagai penyeimbang.
Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter