alhikmah.ac.id – Paradigma pemikiran yang berkembang seputar korelasi antara politik dan agama (baca: Islam) selalu diwakili dua kutub pemikiran yang bertolak belakang. Qaradhawi mengistilahkannya dengan kelompok sekuler dan kelompok Islamis. Masing-masing kelompok ini intens mengembangkan premis-premis yang mendukung pendapatnya dalam berbagai tulisan, buku dan wacana.
Perspektif kaum sekuler dan materialis selalu menganggap bahwa agama tidak lebih hanya sebatas hubungan vertikal antara seorang individu dengan Tuhannya. Bahkan mereka mengklaim bahwa agama dan politik adalah suatu hal yang mustahil untuk dipertemukan. Agama bersumber dari Tuhan, karakteristiknya pun selalu identik dengan nilai-nilai kesucian, dan tujuan jangka panjangnya adalah kehidupan akhirat. Sementara politik adalah kreativitas dan rekaan akal manusia, karakteristiknya pun selalu kotor dan penuh tipu daya, dan tujuan akhirnya tidak lebih hanya pemuas kehidupan dunia. Pemikiran ini berkembang di dunia barat, namun cukup banyak juga pemikir Arab dan dunia Islam yang berpikiran sama, semisal Ali Abdul Raziq dan Mustafa Kemal Attaturk.
Berbeda dengan tokoh-tokoh seperti Khairuddin al-Tunisy, Muhamad Abduh, Hasan al-Banna, Syakib Arselan dan al-Maududy. Mereka melihat bahwa Islam di samping sebagai aqidah juga merupakan syariah dan peraturan serta perundangan yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Islam sebagai aqidah dan syariah, dakwah dan negara, serta agama dan politik. Pemikiran mereka secara spesifik berangkat dari tiga perspektif:
Pertama, Islam sebagai agama yang komprehensif mengatur seluruh dimensi kehidupan. Baik dimensi materiil ataupun spirituil, baik secara individu maupun kolektif dalam konteks kehidupan bernegara. Bahkan seluruh gerak individu muslim tidak lepas dari hukum (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah). Barangkali apa yang telah Allah firmankan dalam (QS: al-Nahl: 89): “…Dan kami turunkan kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri”. Merupakan justifikasi nilai-nilai Islam sebagai agama yang komprehensif.
Kedua, Islam sangat mengecam sikap parsial dalam pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilainya. Karena, seluruh aturan dan dogma yang ada di dalamnya merupakan suatu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Seorang muslim tidak hanya harus menerjemahkan kemuslimannya di masjid, mushalla, akad pernikahan, penyelenggaraan kematian dan sebagainya. Akan tetapi ia tetap seorang muslim ketika bergelut di dunia bisnis, berorasi politik dalam sebuah pesta demokrasi, bahkan dalam berperang pun ia harus tetap menjaga etika yang telah diajarkan Islam dalam peperangan. Firman Allah dalam (QS. al-Baqarah: 208): “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu”.
Ketiga, Sejak dahulu kala hingga saat ini, peradaban dan kebudayaan di manapun sadar bahwa sebuah institusi negara atau kekuatan politik merupakan salah satu sarana terpenting untuk menjalankan seluruh aktivitas penerapan hukum, perundangan, pengajaran, dan perlindungan terhadap segala bentuk kerusakan secara internal maupun serangan dari kekuatan luar yang berniat untuk merampas ataupun menjajah. Bukan hanya itu, realitas dunia modern saat ini justru lebih menuntut seluruh komponen umat merambah semua sektor riil dan peluang serta potensi yang ada untuk mengambil peran. Sebab seorang reformis (muslih) sejati selalu gerah melihat kezhaliman, ketidakadilan, kebobrokan dan ia selalu menggerakkan potensi dirinya serta orang-orang yang berada di lingkungannya untuk bangkit. Dan satu hal penting yang harus digaris bawahi, bahwa kaum reformis dan founding father gerakan Islam yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam sebagai undang-undang negara dalam pentas politik tidak menuntut menjadi penguasa sebuah negara ketika Islam sudah diterapkan sebagaimana mestinya. Bagi mereka tidak penting siapa yang berkuasa, namun yang terpenting buat mereka adalah kekuasaan itu ditegakkan atas dasar keadilan dan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya.
Pergumulan pemikiran sekuler dan gerakan Islamisasi saat ini telah mewarnai hampir di seluruh dunia Islam. Justifikasi bahwa tidak ada ruang agama dalam politik selalu dimanfaatkan oleh kelompok sekuler untuk mengganyang gerakan-gerakan reformis yang berbau islamisasi. Dengan alasan menjaga stabilitas nasional, pluralitas, yang pada dasarnya hanya untuk sekadar melanggengkan mereka pada tampuk kekuasaan, kehadiran partai politik Islam untuk berpartisipasi dalam menjalankan kekuasaan selalu ditekan bahkan dieliminasi.
Jika kita kritisi ungkapan kelompok sekuler yang berbunyi: “jangan bawa-bawa agama dalam politik”, maka sekian pertanyaan besar terlebih dahulu harus dijawab. Apakah maksudnya bahwa perpolitikan itu tidak perlu mengindahkan nilai-nilai agama? Sehingga harus benar-benar lepas dari aturan agama? Sehingga politik hanya berpihak kepada hal-hal pragmatis yang mengedepankan asas manfaat di atas segalanya? Jika memang demikian maka pada dasarnya politik seperti itu sama persis dengan prinsip Machiavelli yang memisahkan antara politik dan etika dan akhirnya menghalalkan cara apapun untuk sekadar mencapai sebuah tujuan.
Kecemasan kelompok sekuler dan materialis dengan politik Islam sama sekali tidak mendasar. Karena ketika Islam mewarnai perpolitikan, tidak berarti perampasan terhadap kekuasaan. Karena rampas-merampas bukan karakteristik seorang politisi Islami. Karena yang terpenting bagi mereka adalah partisipasi aktif dengan target bagaimana percaturan politik yang berlangsung tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman, menjunjung tinggi keadilan dan kejujuran, menolak semua bentuk kediktatoran dan kesewenangan serta dalam waktu yang sama berusaha selalu mewujudkan tujuan tertinggi penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi sesuai dengan manhaj rabbani yang bisa memberikan manfaat (rahmatan lilálamin) kepada semua manusia.
Sejarah Islam dan kaum muslimin sepanjang perjalanannya tidak pernah mengenal pemisahan antara agama dan negara. Rasulullah saw pun menggabungkan dua bentuk kekuasaan; agama dan pemerintahan negara. Sehingga para fuqaha membagi perilaku beliau di satu sisi sebagai penyampai risalah, di sisi lain sebagai hakim yang menyelesaikan persengketaan, serta sebagai pemimpin dalam ruang lingkup yang lebih umum. Begitu juga yang telah dilakukan oleh khulafa al-Rasyidun, dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah hingga akhir keruntuhannya pada tahun 1924 M. Bahkan Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah merangkum definisi para ulama tentang khilafah dengan ungkapan: “…Khilafah adalah pengganti tugas-tugas Rasulullah saw untuk menjaga agama dan politik pemerintahan”.
Tiga belas abad lebih perjalanan Islam sepanjang sejarah tidak pernah kenal pemisahan antara agama dan politik, antara aqidah dan syariah, antara ibadah dan muamalah, antara masjid dan pasar atau antara iman dan kehidupan. Sampai akhirnya negeri-negeri Islam jatuh ke dalam kekuasaan penjajahan Barat yang kemudian mewarnai seluruh dimensi kehidupan kaum muslimin jauh dari nilai-nilai Islam dan kebesaran para pendahulunya. Akan tetapi, ruh baru mulai memunculkan cahaya terang kebangkitan yang merembes gelapnya fajar dan rerimbunan semak belukar. Semoga kejayaan tetap bersama Islam. Wallahu a’lam.