DOA KEBERKAHAN DI BULAN RAJAB DAN SYA’BAN

Share to :

Oleh: Luqman Abdul Jalal

Para ulama sepakat bahwa terdapat banyak keutamaan beribadah pada bulan Rajab dan Sya’ban. Kedudukan Rajab sebagai salah satu bulan yang suci (al-asyhur al-hurum) dan kedekatan Sya’ban dengan Ramadan menjadi salah satu sebab populernya hubungan kedua bulan ini dengan amal ibadah. Di sisi lain, banyaknya persoalan tentang tata cara beribadah pada kedua bulan ini seringkali menimbulkan pertanyaan dan perdebatan. Hal ini sangat penting untuk dibahas untuk umat Islam secara umum tentang pentingnya mengoptimalkan amal ibadah pada kedua bulan ini, sekaligus memberikan penjelasan tentang beberapa persoalan yang sering dipertanyakan oleh masyarakat.

Doa ketika masuk bulan Rajab

Dalam kitab musnad Ahmad bin Hambal diriwayatkan bahwa Nabi SAW. setiap kali masuk bulan Rajab berdoa sebagaimana dalam riwayat berikut:

كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دخل رَجَبٍ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ (مسند أحمد بن حنبل ج1/ص259)

Bahwasanya Rasulullah Saw. setiap kali tiba bulan Rajab berdoa “Ya Allah Berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban, sampaikan usia kami di bulan Ramadhan”. (Musnad Ahmad, juz.1, h.259).

Doa yang diriwayatkan dari Nabi ini sangat dianjurkan untuk kita amalkan, berharap bertambahnya kebaikan di bulan Rajab dan Sya’ban yang sudah kita masuki gerbangnya. Sekaligus sebagai persiapan psikis dan ruhiyah untuk menyongsong kehadiran bulan Ramadhan yang tinggal dua bulan lagi. Menjadi bukti kerinduan seorang mukmin tidak lama lagi akan bertemu dengan bulan suci yang digadang-gadang kedatangannya.

Walapun menurut sebagian ulama hadits riwayat ini lemah, namun hukum mengamalkanya tetap diperbolehkan dan dianjurkan bukan termasuk bid’ah. Karena selain diperbolehkannya untuk mengamalkan fadhilah amal berdasarkan hadits yang lemah, diperbolehkan untuk berdoa dengan redaksi tertentu yang diajarkan oleh orang yang shalih dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

Doa dan dzikir dengan redaksi yang tidak diriwayatkan dari Rasulullah sementara terdapat yang ma’tsur (diriwayatkan) hukumnya tetap boleh, seperti dzikir ketika thawaf. Keculai dalam ibadah wajib, misalnya adzan, bacaan shalat wajib, takbir, tasyahud, al-fatihah, tidak boleh diganti dengan yang lain. Dan jika tidak ada doa dzikir yang diriwayatkan (ma’tsur) hukumnya boleh mengamalkan redaksi doa dzikir yang tidak ma’tsur, karena perintah mutlak berdzikir, dengan syarat tidak meyakini fadhilah dari Nabi, seperti doa ini, taqabbalallah minna waminkum, ‘idun mubarak, dll. (DR.Taufiq Q H/fiqih Rajab).

Ibadah pada bulan Rajab

Secara bahasa, rajab mengandung arti keagungan atau kemuliaan. Salah satu faktor keagungannya karena termasuk salah satu bulan suci (haram). Rasulullah saw. bersabda

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya empat bulan yang suci, yaitu: tiga bulan berturut-turut: Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam. Rajab yang penuh kemuliaan berada di antara dua Jumadi (awal dan akhir) dan Syaban.” (Al-Bukhari, 4/4385, babu qaulihi inna iddata alsyuhuri).

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bulan yang agung ini adalah sebagai berikut:

Mengambil Pelajaran dari peristiwa Isra Mi’raj

Menurut pendapat yang populer, peristiwa Isra dan Mi’raj terjadi pada bulan Rajab (Ibn Hajar. (1379): 7/242-243).  Peristiwa ini merupakan mukjizat Nabi saw. karena Allah Swt. telah memperjalankannya dari Makkah ke Baitulmaqdis hingga naik ke Sidratulmuntaha dengan roh dan jasadnya. Itu sebabnya, Nabi Muhammad saw. yang diperjalankan itu disebut dengan bi abdihi. Kata abdun merupakan kesatuan antara roh dan jasad (Al-Maragi, (1945): 15/8). Allah Swt. befirman,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير

”Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Isra: 1).

Beberapa pelajaran dari Isra dan Mi’raj Rasulullah saw. adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan keimanan kepada Yang Maha Kuasa

Allah Swt. yang memperjalankan dan menaikkah hamba-Nya hingga ke langit tertinggi (Sidratul Muntaha) dalam waktu yang singkat. Penerimaan terhadap kebenaran peristiwa yang di luar nalar manusia ini telah membuat para sahabat layak untuk membersamai dakwah Rasulullah saw. (Al-Maragi, (1946): 15/10) dan kita menjadi penerus perjuangan mereka. Bentuk konkrit upaya peningkatan iman ini adalah dengan memperbaiki kualitas shalat lima waktu dan berjamaah di awal waktunya. Kewajiban ini merupakan oleh-oleh Rasulullah saw. dari isra dan mi’rajnya.

b. Peristiwa yang terjadi pada tahun kesedihan (amul huzni).

Pada tahun itu, Abu Thalib dan Khadijah dua orang yang terpenting dalam dakwah Rasulullah saw. wafat, penduduk Makkah semakin berani dalam memerangi dakwahnya, dan penduduk Thaif mengusirnya. Seolah ketika bumi sudah terasa sempit baginya, langit membukakan pintunya untuk Rasulullah saw. Ia juga menunjukkan bahwa Allah Swt. hadir dalam perjuangan dakwah Nabi saw. dan memberikan solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapinya. Hal ini berlaku pula untuk kita. Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7).

c. Perjalanan dari Masjidilharam ke Masjidilaqsha

Hal ini menunjukkan bahwa Palestina merupakan bagian penting dari tubuh umat Islam. Bahkan, Baitulmaqdis merupakan kiblat pertama umat Islam selama enam belas atau tujuh belas bulan. Maka, solidaritas terhadap Palestina, membantu mencari solusi atas kesulitan warganya, dan membantu perjuangan mereka untuk menjadi bangsa yang merdeka adalah bagian dari agama. Bagi kita orang Indonesia, kepedulian ini merupakan balas budi atas kebaikan sejarah ketika Palestina merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan memberi bantuan finansial. Secara konstitusi, Indonesia juga bertekad untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Memperbanyak Ibadah Puasa

Kita dianjurkan untuk memperbanyak ibadah puasa pada bulan Rajab. Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagaimana yang dikisahkan oleh Utsman bin Hakim Al-Anshari:

سَأَلْتُ سَعِيدَ بنَ جُبَيْرٍ، عن صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَومَئذٍ في رَجَبٍ فَقالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عنْهما يقولُ: كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ يَصُومُ حتَّى نَقُولَ: لا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حتَّى نَقُولَ: لا يَصُومُ

Aku bertanya kepada Said bin Jubeir tentang puasa pada bulan Rajab, ketika itu kami berada pada bulan Rajab. Beliau menjawab,“Aku mendengar Ibn Abbas berkata,”Rasulullah saw. membiasakan puasa (pada bulan itu) sampai-sampai kami mengatakan bahwa beliau tidak meninggalkannya dan meninggalkannya sampai kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa (Rajab).”(Al-Bukhari, 2/1868, babu shaumi sya’bana;Muslim, 3/1156, babu shiyami al-nabiyyi fi gairi ramadana)

Hadits sahih ini menjadi dalil yang kuat tentang landasan puasa sunah pada bulan Rajab. Pendapat ini ditegaskan oleh tiga mazhab: Hanafi, Maliki, dan Syafi’i, sementara mazhab Hambali menganggapnya sebagai perbuatan yang makruh (Al-Jaziri. (2003): 1/895).

Anjuran ini diklasifikasikan sebagai amalan yang mustahab (disukai) atau mandub (dianjurkan) (AsSyaukani, (1993): 4/621). Meski demikian, tidak ada dalil sahih yang menyebutkan keutamaan bulan Rajab yang bersifat khusus, baik tentang puasa maupun shalat malamnya (Abu alHasanat. (tt.). 59).

Pahala Ibadah Pada Bulan Rajab

Beramal saleh pada bulan Rajab seperti pada bulan-bulan haram lainnya memiliki pahala yang besar. Sebagaimana Allah melebihkan pahala ibadah yang dilakukan di tempat tertentu seperti di Masjidilharam, Allah melebihkan pahala ibadah yang dilakukan pada waktu tertentu, termasuk bulan Rajab. Maka, semua jenis ibadah yang dilaksanakan pada bulan ini akan mendatangkan pahala yang besar. Hal ini berlaku untuk amal ibadah mahdah seperti shalat duha, shalat rawatib, shalat malam, membaca Al-Qur’an, dan berzikir, atau ibadah gair mahdah seperti pelayanan kepada masyarakat. Namun, harus berhati-hati karena sebagaimana pahala ibadah dilipatgandakan, dosa atas perbuatan maksiat juga dilipatgandakan. (Ibnu Katsir. (1999): 4/418). Allah Swt. berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu).” (At-Taubah: 36)

Semoga Allah mencurahkan keberkahan kepada kita semua pada kedua bulan persiapan menuju Ramadhan ini, menyiapkan jasmani dan rohani kita dengan memperbaiki kualitas shalat wajib maupun sunah dan dapat mengikuti sunah puasa Rajab dan Sya’ban, amin

Referensi:

Abu al-Hasanat, Muhammad Abdul Hayy bin Muhammad. (tt.). Al-Atsar al-Marfu’ah fi alAkhbar al-Maudhu’ah. Bagdad: Maktabah al-Syarq al-Jadid

Abu Naim, Ahmad bin Abdullah Al-Asfahani. (1974). Hilyatu al-Uliya wa Thabaqat alAshfiya. Cairo: Mathba’ah al-Sa’adah

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. (1995). Silsilah al-Ahadits al-Shahihah wa Syaiun min Fiqhiha wa Fawaiduha. Riyad: Maktabah al-Ma’arif

Al-Azhar. (2007). Fatawa Kibaru Ulamai Al Azhar. Cairo: Dar al-Yusr

Al-Fakihi, Muhammad bin Ishak. (2003). Akhbaru Makkata fi Qadimi al-Dahri wa Haditsihi. Makkah: Maktabah Al-Asadi

Al-Jaziri, Abdurrahman bin Muhammad Iwadh. (2003). Al-Fiqhu ala al-Madzahibi alArba’ah. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah

Al-Maragi, Ahmad bin Mustafa. (1946). Tafsir al-Maragi. Cairo: Al-Baby al-Halabi

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. (1993). Nailu al-Authar. Mesir: Dar al-Hadits

As-Syafi’i, Muhammad bin Idris. (1990). Al-Umm. Bairut: Dar al-Ma’rifah Bin

Baz, Abdul Aziz. (tt.). Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah. Riasah Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta bi al-Mamlakah al-Arabiyah al-Saudiah

Dar al-Ifta Yordania. (2014). Hukmu Iyai Lailati al-Nishfi min Sya’bana. No. 2933, 11-6-2014

Ibn Hajar, Ahmad bin Ali. (1379). Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Bairut: Dar al-Ma’rifah

Ibn Katsir, Ismail bin Umar. (1999). Tafsir Al-Qur’an al-Adzim. Dar Thaibah

Ibn Najim, Zainuddin bin Ibrahim. (tt.). Al-Bahru al-Raiq Syarh Kanzu al-Daqaiq. Dar alKitab al-Islami

Ibn Taymiah, Ahmad bin Abdul Halim. (1987). Al-Fatawa al-Kubra. Bairut: Dar al-Kutub alIlmiyah

Ibnu Abdil Bar, Yusuf. (1994). Jami Bayani al-Ilmi wa Fadhlih. Saudi: Dar Ibn al-Jauzi Kuwait. (1427). Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah. Kuwait: Wizarat al-Auqaf wa alSyu’un al-Islamiya

Ahmad bin Hambal, Musnad, vol.1, Mesir; maktabah Maimaniyah.

M.Taufiq Q. Hulaimi, Fiqih Ibadah bulan Rajab, makalah presentasi

 

Picture of Tim Media Al-Hikmah

Tim Media Al-Hikmah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter