alhikmah.ac.id – Sejak tahun 2004, tanggal 14 Juni dicanangkan sebagai Hari Donor Darah Sedunia. Ini merupakan penghargaan bagi para pendonor darah. Penetapan tanggal itu berdasarkan kesepakatan WHO, Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, Federasi Internasional Organisasi Donor Darah, dan Perhimpunan Internasional Transfusi Darah. Hari Donor Darah Sedunia dimaksudkan sebagai ungkapan penghargaan terhadap para pendonor darah sukarela di seluruh dunia yang tanpa pamrih telah membantu menyelamatkan jutaan nyawa manusia yang membutuhkan darah. Palang Merah Indonesia sebagai komponen Gerakan Palang Merah Sedunia juga mendukung pencanangan Hari Donor Darah Sedunia. Untuk mengikuti kegiatan ini, Anda dipersyaratakan harus berusia 17-60 tahun, dengan berat badan minimal 45 kg. Yang pasti, Anda harus dalam keadaan sehat dan bebas penyakit apapun. Donor darah bisa dilakukan rutin paling cepat 3 bulan sekali.
Secara prinsip, Donor Darah merupakan amal mulia yang dapat menyelamatkan nyawa banyak orang. Di antara kasus wabah demam berdarah yang melanda, diberitakan bahwa seorang ibu mengantri beberapa hari di kantor PMI demi sekantong darah bagi anak balitanya yang terjangkit demam berdarah akut dan harus menjalani transfusi darah. Kebetulan golongan darah yang diinginkan sedang kosong. Pada hari ketiga saat sekantong darah yang diinginkan telah diperoleh, sang ibu harus menghadapi kenyataan bahwa anaknya telah terlebih dahulu berpulang. Kemudian disaat yang lain, seorang ibu yang tengah berjuang untuk melahirkan anaknya, mengalami pendarahan yang hebat. Ketika transfusi darah dibutuhkan, persediaan darah sedang kosong dan terlambat diberikan. Pada akhirnya sang bayi mungil yang lahir dengan selamat harus pula menghadapi kenyataan, dibesarkan tanpa kasih sayang sang ibu kandungnya.
Tragedi kemanusiaan beruntun berupa bencana di Alor, Nabire dan yang terdahsyat berupa gempa dan gelombang tsunami di Aceh, gempa yang diikuti tsunami Bantul DIY, air bah Situ Gintung, ratusan bahkan ribuan peristiwa semacam itu hampir tiap hari terjadi. Kecelakaan, perang, bencana dan tragedi kemanusiaan lainnya hampir pasti membutuhkan bantuan dan ketersediaan darah yang memadai. Peristiwa-peristiwa semacam itu semestinya menggugah perasaan dan semangat solidaritas kemanusiaan. Sayangnya, informasi tentang manfaat donor darah bagi kemanusiaan dan kesehatan selama ini kurang terkomunikasikan dengan baik. Kita semua memahami betapa berharganya setetes darah bagi pasien yang membutuhkannya. Dari sisi kesehatan banyak manfaat yang diperoleh seseorang dengan melakukan donor darah. Di samping kontrol kesehatan melalui pemeriksaan darah secara gratis, donor darah yang teratur dapat meringankan kerja jantung dan terjaganya vitalitas karena lancarnya sirkulasi dan regenerasi darah yang berkesinambungan. Dari sisi nilai ibadah, donor darah merupakan kebajikan yang sangat mulia di mata agama. Sesuai ajaran Islam, donor darah termasuk implementasi perintah Allah untuk saling menolong sesama sebagaimana firman-Nya: ”Wa ta’awanuu ’alal birri wat taqwa wala ta’awanu ’ala itsmi wal ’udwan” Artinya : ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah:2)
Lebih dari itu, kemuliaan donor darah menjadi bagian penting dari kemuliaan akhlaq karena mampu menyelamatkan, atau setidaknya memperpanjang kehidupan yang Allah ciptakan sebagaimana firman-Nya:”Wa man ahyaha fa kannama ahyan naasa jami’an” Artinya : ”Dan barangsiapa yang memelihara dan menyelamatkan kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah: 32).
Dengan demikian para donor yang melangkah atas dasar ketulusan dan keikhlasan digolongkan Allah dalam hamba-hamba-Nya yang terpuji karena berkorban untuk mendahulukan kepentingan orang lain dari pada diri sendiri sebagaimana firman-Nya: ”Wa yu’tsiruna ’ala anfusihim walau kaana bihim khashashah” Artinya: ”Dan mereka mengutamakan kepentingan orang lain atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kondisi membutuhkan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr:9)
Harus disadari bahwa kadangkala tak semua dari kita mampu memberikan harta yang dipunyai. Namun Tuhan tidak pernah menutup niat hambanya untuk beramal. Ada peluang yang diberikanNya, yaitu harta yang ada di tubuh kita sendiri yaitu darah. Disadari bahwa hal itu akan membawa banyak manfaat bagi manusia lain. Untuk itu, amalan kita melalui donor darah tidak perlu menunggu datangnya kemakmuran atau kekayaan. Alangkah terasa, syukur nikmat tanpa mengeluarkan sedikit pun harta materi, namun menolong mereka yang penuh harap. Tanpa kita sadari butiran darah yang disumbangkan ternyata dapat menyelamatkan nyawa seorang ibu, seorang anak, seorang teman atau siapa pun tanpa memandang ras suku agama dan berbagai perbedaan lainnya. Menyelamatkan nyawa bukan berarti hanya sekadar nyawa, tetapi kehidupan yang panjang bagi manusia. Menyelamatkan seorang ibu, berarti menyelamatkan keluarga, memberikan jalan kebahagiaan bagi mereka, dan harapan untuk bangsa.
Sabda Nabi Muhammad SAW : “Khairunnas anfa’uhum linnas” yang artinya : sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain (H.R. Bukhari). Semoga dengan amalan donor darah ini kita termasuk golongan orang-orang yang terpuji di mata agama karena setidaknya telah mampu bermanfaat bagi kehidupan sesama.
Dengan berbagai kemuliaan prinsip amal kebaikan kepada orang lain dengan donor darah tersebut, umat Islam secara umum juga masih memerlukan kepastian ketentuan syariah terkait praktik dan dinamika dunia medis terutama menyangkut kegiatan transfusi dan donor darah. Bagaimanakah pandangan Islam terhadap usaha dan pelayanan kemanusiaan yang dilakukan Palang Merah serta hukum memakainya sebagai simbol. Sebab ini sama artinya dengan Salib Merah. Bagaimanakah hukum bekerja padanya.? Apa hukum transfusi darah dan bagaimanakah hubungan antara resipien dan donor darah dari segi syariah.? Bolehkah seseorang menjual darahnya, dan bagaimana status hukum imbalan ataupun penghargaan materi yang diterima oleh donor.? Bila seorang pasien membutuhkan darah, maka PMI menjualnya melalui Rumah Sakit kepada pasien tersebut, bolehkah hal ini secara syariah?
Sebagaimana yang dikemukakan di awal bahwa pada prinsipnya, usaha dan pelayanan sosial kemanusiaan sangat mulia dalam pandangan umat manusia secara universal dan terpuji dalam pandangan agama, termasuk dalam hal ini adalah kegiatan dan misi kemanusiaan Palang Merah Indonesia. Rasulullah saw menyatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaat (jasanya) bagi umat manusia. Hal itu tentunya terlepas dari makna filosofis dan religius simbolis dari pemakaian nama organisasi. Memang pemakaian lambang palang merah atau salib merah (red cross) untuk organisasi ini adalah meniru Barat yang pada mulanya sangat erat hubungannya dengan semangat relijiusitas Nasrani/Kristiani dan menggunakannya sebagai simbol misi kemanusiaan sekaligus misi Salib yaitu penyebaran agama Nasrani.
Memang sangat disayangkan umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia kehilangan identitas keislamannya sampai dalam masalah simbol dan lambang sosial, dan cenderung meniru dan mengambil simbol Barat yang notabene sarat dengan semangat misi Kristiani. Padahal Islam memiliki simbol religi sosial tersendiri yakni bulan sabit yang menandakan siklus bulan hijriyah sebagai perjalanan syiar Islam dan oleh karenanya Dunia Arab dan Negara-Negara Islam lebih cenderung menggunakan lambang Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar/ Red Crescent) untuk organisasi sosial kemanusiaan semacam Palang Merah. Nabi saw selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memiliki identitas independen dan menghindari mental imitator yang suka meniru dan taklid buta kepada simbol umat lain apalagi yang berbau ritual dan syiar keagamaan. Sabda Nabi saw.: “Berbedalah kalian dari umat Yahudi dan Nasrani” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Al-Nasa’I dan Ibnu Majah) dan sabdanya: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (umat lain) maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud dan At-Tabrani)
Dengan demikian kewajiban umat Islam baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya adalah menyadari hal ini dan berusaha untuk mendekatkan lembaga dan simbol sosial sesuai dengan aspirasi aqidah dan syiar Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Adapun hukum bekerja padanya selama membawa misi kemanusiaan adalah merupakan amal yang terpuji sebagai ibadah sosial apalagi dibarengi dengan nilai-nilai dakwah Islam yang menjadi kewajiban setiap muslim.
Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya, misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.
Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub) oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah: “dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).
Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia. Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling menolong dan menghormati sesamanya.
Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan transfusi darah tanpa mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi” (bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang shahih, melarang transfusi darah, maka berarti transfusi darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.
Namun untuk memperoleh maslahat (efektivitas positif) dan menghindari mafsadah (bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah, sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus benar-benar bebas dari penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular melalui transfusi darah, suntikan narkoba, dll.
Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/ dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb., “Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaidah “La Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang pria yang terkena AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.
Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien. Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sesusuan dan sebagainya.
Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.
Selain, masalah hukum donor dan transfusi darah, di lapangan juga muncul praktik jual beli darah baik dilakukan secara resmi oleh pihak PMI maupun ilegal oleh oknum. Bahkan tidak jarang secara personal terjadi transaksi jual-beli darah.
Menurut sumber pegiat donor darah, hingga kini dampak kekurangan stok darah, terus berimbas ke hal lain, salah satunya merupakan praktik jual beli darah. Yang masih kerap terjadi di daerah-daerah seperti Medan dan Jakarta. Alasannya, praktik penjualan darah terjadi karena terjadi ketimpangan antara suplai dan kebutuhan darah. Kekurangan pasokan darah di Palang Merah Indonesia (PMI) biasanya terjadi terutama saat bulan puasa. Karena pada saat itu sangat sedikit orang yang mendonorkan darahnya. Biasanya mereka yang menjual darah kepada orang atau keluarga pasien yang membutuhkan sudah menunggu di depan kantor PMI. Ketika darah yang dibutuhkan tidak ada, ada orang yang menjual darah menawarkan diri menjadi pendonor.
“Karena sangat membutuhkan keluarga pasien langsung membelinya dengan harga mahal. Mereka yang menjual darah itu kebanyakan kalangan pengangguran. Sayangnya, uang yang didapat digunakan berjudi dan mabuk-mabukan,” katanya.
Masalah transfusi darah tidak dapat dipisahkan dari hukum menjualbelikan darah sebagaimana sering terjadi dalam prakteknya di lapangan. Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia itu najis berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Jabir, kecuali barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia, seperti kotoran hewan untuk keperluan rabuk. Menurut mazhab Hanafi dan Dzahiri, Islam membolehkan jual beli barang najis yang ada manfaatnya seperti kotoran hewan. Maka secara analogi (qiyas) mazhab ini membolehkan jual beli darah manusia karena besar sekali manfaatnya untuk menolong jiwa sesama manusia, yang memerlukan transfusi darah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/109, Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, III/130)
Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa jual beli darah manusia itu tidak etis di samping bukan termasuk barang yang dibolehkan untuk diperjualbelikan karena termasuk bagian manusia yang Allah muliakan dan tidak pantas untuk diperjualbelikan, karena bertentangan dengan tujuan dan misi semula yang luhur, yaitu amal kemanusiaan semata, guna menyelamatkan jiwa sesama manusia. Karena itu, seharusnya jual beli darah manusia itu dilarang, karena bertentangan dengan moral agama dan norma kemanusiaan.
Apabila praktik transfusi darah itu memberikan imbalan sukarela kepada donor atau penghargaan apapun baik materi maupun non materi tanpa ikatan dan transaksi, maka hal itu diperbolehkan sebagai hadiah dan sekadar pengganti makanan ataupun minuman untuk membantu memulihkan tenaga. Ada baiknya bila pemerintah memikirkan dan merumuskan kebijakan dalam hal ini seperti memberikan sertifikat setiap donor yang dapat dipergunakannya sebagai kartu diskon atau servis ekstra dalam pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bilamana orang yang berdonor darah memerlukan pelayanan kesehatan, atau bahkan mendapatkan pelayanan gratis bilamana ia memerlukan bantuan darah sehingga masyarakat akan rajin menyumbangkan darahnya sebagai bentuk tolong-menolong dan benar-benar menjadi tabungan darah baik untuk dirinya maupun orang lain sehingga terjalin hubungan yang simbiosis mutualis.
Dengan demikian praktik menjual belikan darah baik secara langsung maupun melalui rumah sakit dapat dihindarkan karena sebenarnya transfusi darah terlaksana berkat kerjasama sosial yang murni subsidi silang melalui koordinasi pemerintah dan bukan menjadi objek komersial sebagaimana dilarang Syariat Islam dan bertentangan dengan peri kemanusiaan, sehingga setiap individu tanpa dibatasi status ekonomi dan sosialnya berkesempatan untuk mendapatkan bantuan darah setiap saat bilamana membutuhkannya sebab di sini harus berlaku hukum barang siapa menanam kebaikan maka ia berhak mengetam pahala dan ganjaran kebaikannya. Wallahu A’lam wa Billahit Taufiq Wal Hidayah. (dkw)