Empat Sikap Terhadap Kesalahan

Share to :

alhikmah.ac.id  – Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah.

Manusia seringkali disebut sebagai makhluk yang tidak luput dari salah dan dosa, namun ungkapan ini bukan berarti dengan seenaknya ia bisa melakukan perbuatan yang bernilai dosa itu, sehingga bila ia melakukan perbuatan dosa, itupun sifatnya sebagai dosa yang tidak disengaja atau karena ia tidak paham bahwa hal itu sebagai sesuatu yang bernilai dosa. Agar tidak berakibat fatal atas dosa yang telah dilakukan itu, ada empat sikap penting yang harus kita tunjukkan terhadap kesalahan. Pertama adalah mengakui kesalahan dan tidak merasa suci. Orang yang bersalah, meskipun kesalahan itu dilakukan karena tidak tahu atau dalam masyarakat kita sering disebut dengan kesalahan yang tidak disengaja, ia tetap harus mengakui bahwa kesalahan telah dilakukannya sehingga jangan sampai ia tidak merasa bersalah dan tidak mau bertaubat atau meminta maaf atas kesalahannya itu. Manakala seseorang mau mengakui kesalahan akan membuatnya mudah untuk segera bertaubat sehingga tidak merasa suci yang pantas membela diri, Allah swt berfirman:

إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَٰئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS An Nisa [4]:17).

Selama ini banyak orang yang melakukan kesalahan tapi tidak merasa bersalah, akibatnya ia tidak mau bertaubat atau meminta maaf dan karena ia sebenarnya sudah mengakui di dalam hatinya bahwa ia memang salah tapi merasa gengsi untuk mengakui kesalahan apalagi di depan publik, maka hal ini membuatnya menjadi tidak tenang, ia sangat khawatir bila kesalahan itu suatu ketika akan terbongkar juga dan ini akan terasa lebih berat untuk diterima daripada sejak awal ia mengakui kesalahan. Oleh karena itu, bila bersalah, apalagi kita sudah memahami bahwa kita memang salah, akan sangat baik bila kita segera mengakuinya.

Sikap kedua yang harus kita tunjukkan bila kita melakukan kesalahan adalah segera bertaubat dan meminta maaf pada orang lain. Hal ini karena tiada jalan bagi orang yang bersalah kecuali segera bertaubat kepada Allah swt dan meminta maaf kepada manusia bila kesalahan dilakukan kepada orang lain, Kemauan untuk bertaubat dan meminta maaf akan membuat dosa itu tidak menjadi beban yang memberatkan jiwa, karenanya Allah swt pasti akan menerima taubat siapa pun, bahkan sebanyak apapun dosa yang dilakukannya.

Secara harfiyah, taubat adalah rujuk kepada Allah, hal ini karena dosa membuat manusia menjauh, bahkan bercerai dengan Allah swt sebagaimana suami istri yang bercerai, manakala manusia mau bertaubat kepada Allah swt, maka Dia pasti akan menerimanya sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS An Nisa [4]:110).

Karena taubat dari segala dosa memiliki kedudukan yang sangat penting, maka hal ini harus dilakukan sesegera mungkin agar tidak timbul penyesalan di dalam hati kita, apalagi bila sampai mencapai kematian sebelum taubat dilakukan. Ini berarti taubat dan meminta maaf harus dilakukan secepatnya sesudah menyadari kesalahan itu sehingga taubat atau minta maaf sebenarnya tidak mengenal waktu yang tepat, dan seseorang tidak merasa gengsi untuk meminta maaf kepada siapa pun. Bila suami bersalah pada istri ia akan minta maaf pada istrinya itu, bila seorang bapak bersalah kepada anak, ia pun akan meminta maaf pada anaknya dan bila seorang atasan bersalah kepada bawahan ia pun tidak malu dan gengsi untuk menyampaikan permintaan maaf, begitulah seterusnya. Allah swt berfirman:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (QS Ali Imran [3]:133).

Manakala orang yang bersalah mau meminta maaf, maka kita pun harus suka memaafkannya, hal ini karena kita pun bisa jadi bersalah pada orang lain dan kita pun ingin memperoleh maaf darinya. Bila kita yang bersalah meminta maaf, kenapa orang yang bersalah pada kita lalu kita tidak mau memaafkannya.

Jamaah Sidang Jumat Yang Berbahagia.

Ketiga di antara sikap yang harus kita tunjukkan bila kita melakukan kesalahan adalah tidak menimpakan kesalahan itu kepada orang lain. Hal ini karena orang yang bersalah di samping harus mengakui kesalahan dan segera bertaubat, ia juga tidak boleh menimpakan kesalahan itu kepada orang lain, karena pada hakikatnya setiap orang bertanggung jawab atas perbuatan atau kesalahan yang dilakukannya. Menyalahkan orang lain sebagai bersalah padahal dirinyalah yang bersalah merupakan fitnah yang keji. Memang dalam hidup ini banyak kita dapati ada “maling teriak maling”. Perbuatan ini disebut keji karena fitnah merupakan dosa yang besar dan bagaimana mungkin orang yang tidak bersalah harus menanggung akibat dari suatu kesalahan hanya karena ia dituduh bersalah. Karena itu orang yang suka menimpakan kesalahan kepada orang yang tidak bersalah akan mendapatkan dosa yang ganda, yakni dosa bersalah itu sendiri dan dosa memfitnah orang lain, Allah swt berfirman:

وَمَنْ يَكْسِبْ إِثْمًا فَإِنَّمَا يَكْسِبُهُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata (QS An Nisa [4]:111-112).

Ini berarti, bila kita bersalah kita harus mau menanggung resiko dari kesalahan itu dan tidak bisa menyalahkan orang lain meskipun kita bersalah dengan sebab orang lain, karena orang itupun ada nilai kesalahannya dan kita pun mendapat nilai, masing-masing orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya, bahkan syaitan saja yang selalu menyesatkan manusia tidak mau disalahkan oleh manusia sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَقَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ اْلأَمْرُ إِنَّ اللَّهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَوَعَدْتُكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ ۖ وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِي ۖ فَلاَ تَلُومُونِي وَلُومُوا أَنْفُسَكُمْ ۖ مَا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَمَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ ۖ إِنِّي كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُونِ مِنْ قَبْلُ ۗ إِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang zhalim itu mendapat siksaan yang pedih (QS Ibrahim [14]:22).

Sikap keempat yang harus kita tunjukkan bila kita bersalah adalah tidak membela orang yang salah. Hal ini karena akibat dari kesalahan akan menimpa orang yang melakukannya, karena itu biarlah orang yang bersalah merasakan akibatnya sehingga kita tidak perlu dan tidak boleh membela atau melindunginya. Ketika Rasulullah saw dilaporkan oleh para sahabat tentang adanya ketidakadilan, dimana bila orang-orang penting atau bangsawan yang bersalah tidak dihukum, tetapi ditutup-tutupi kesalahan itu bahkan mendapat perlindungan, mendengar hal itu Rasulullah saw menyatakan: “Andaikan anakku Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya”.

Pernyataan Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan tingkat kesalahannya sehingga tidak perlu dilindungi apalagi dibela, meskipun ia orang yang selama ini kita hormati seperti orang tua, guru, pemimpin atau pejabat atau ia adalah orang yang kita cintai seperti anak, teman dan sebagainya. Larangan ini ditegaskan oleh Allah swt karena jangan sampai orang yang bersalah akan melakukan kesalahan lagi pada kesempatan yang lain. Larangan membela orang yang salah tercermin pada firman Allah swt:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ

Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (QS Al Maidah [5]:2).

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa Allah swt maklum bila manusia melakukan kesalahan, karenanya Dia membuka pintu taubat bagi hamba-Nya yang bersalah bila mereka mau bertaubat.

Demikian khutbah Jumat kita pada hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, amien.

 

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter