Faudha dan Skenario Politik di Mesir

Share to :

alhikmah.ac.id – Sekitar setahun yang lalu, perkembangan politik Mesir yang ditandai dengan pemilihan presiden (Pilpres) antara dua Capres pemenang pada putaran pertama, yakni Mohammad Mursy dari kubu Islamis dan bekas PM Mesir era mantan Presiden Husni Mubarak, Ahmad Shafiq sempat menjadi fokus perhatian dunia Arab. Krisis berdarah di Suriah pun sempat terlupakan sehingga dimanfaatkan oleh rezim Bashar Assad untuk meningkatkan eskalasi militer atas mayoritas warga Sunni yang menentangnya.

Setahun kemudian, tepatnya pada 3 Juli lalu, perkembangan situasi di negeri Sungai Nil itu pun kembali menyita perhatian dunia Arab khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya, kali ini dengan dima`zulkannya (dilengserkannya) Presiden terpilih secara demokratis, Mohammad Mursy lewat kudeta militer. Kejadian ini pun coba dimanfaatkan rezim Assad untuk kembali melobi dunia Barat agar tetap mengakui pemerintahannya ketimbang jatuh di tangan kelompok Islamis yang disebutnya “teroris“.

Kudeta militer itu, juga dijadikan momentum oleh Assad untuk mendapatkan poin dan meningkatkan serangan brutalnya terhadap lokasi-lokasi penentangnya terutama di wilayah Homs memanfaatkan fokus perhatian dunia terhadap situasi di Mesir. “Assad berharap dukungan beberapa negara Arab atas kudeta di Mesir sebagai sinyal kemungkinan mendapat dukungan yang sama menghadapi rakyat yang menentangnya,“ papar Ghazi Dahman, seorang analis Arab, Rabu (17/7/2013).

Saat kudeta berlangsung, penulis baru beberapa hari saja melaksanakan cuti untuk menghilangkan penat dan rutinitas, padahal menjelang cuti tangan ini sempat tergerak untuk menulis artikel bertajuk “Mursy kelihatannya bertahan hanya setahun“ dengan melihat perkembangan yang terjadi di negeri itu. Namun tulisan urung dikirim, karena penulis merasa mendahului kejadian mendatang yang belum tentu terjadi.

Namun kudeta telah berlangsung dengan mengatasnamakan “legitimasi rakyat“ dari kubu minoritas liberal yang tidak rela Presiden Mursy menjalankan roda pemerintahan hingga akhir masa jabatannya. Keinginan rakyat untuk merasakan demokrasi sesungguhnya pun pudar sudah, Mesir set back lagi, bila pun demokrasi kembali dimunculkan lewat pemilu dini dalam waktu dekat mendatang, dikhawatirkan hanya sekedar dekorasi bila akhirnya militer akan tetap berperan di belakang layar.

Kaula muda pada kubu liberal yang menamakan dirinya Tamarrud (insubordinasi) terhadap Presiden terpilih, Mursy, menyebut kudeta militer tersebut dengan nama “syar`iyah sya`biyah“ (legitimasi rakyat). Sejumlah penulis menyebutnya sebagai kudeta militer dengan muka sipil dan payung agama karena diikutsertakannya Syeikh Al-Azhar dan pemimpin tertinggi Kristen Koptik dalam keputusan pema`zulan Mursy.

Namun bila melihat lima syarat pema`zulan Presiden Mursy hingga dapat disebut kudeta sudah terpenuhi semuanya yakni pertama dilakukan oleh militer, kedua dilakukan mengatasnamakan rakyat, ketiga pembatalan konstitusi, keempat pembredelan media penentang kudeta dan kelima penangkapan terhadap tokoh-tokoh yang dikudeta. “Kelima syarat tersebut telah terpenuhi terkait kudeta atas Presiden Mursy sehingga sudah tepat disebut kudeta militer dan tidak perlu diperdebatkan lagi,” papar Salim Qalala, professor ilmu politik Universitas Aljazair seperti dikutip harian Al-Shuruq, Kamis (18/07/2013).

Upaya kubu liberal dengan dukungan militer dan simbol-simbol pemuka agama untuk mengenyampingkan kubu Islamis dari pemerintahan, memang secara kasat mata memang berhasil dan dapat terlihat oleh publik dengan terbentuknya pemerintahan transisi yang dilantik Selasa (16/7/2013) lalu. Namun bukanlah kesudahan yang mudah, akan tetapi akan menambah peliknya situasi di negeri Piramida tersebut, karena tidak diakui oleh sebagian besar rakyat bahkan dilaporkan dalam kubu liberal terutama di kalangan kaum muda revolusi yang menjatuhkan rezim Mubarakan pun terjadi perpecahan.

Di tingkat internasional pemerintahan hasil kudeta ini belum mendapatkan pengakuan luas di tingkat internasional sebab hanya beberapa negara Arab tertentu saja yang mengakuinya. AS dan Barat yang secara implisit mendukung kudeta tersebut, juga masih kesulitan mengakuinya melihat gelombang protes anti kudeta di seluruh pelosok Mesir yang tanpa diduga melebihi pendukung kudeta yang dipimpin Menteri Pertahanan, Abdul Fatah Al-Sisi.

Intinya, kudeta tersebut selain memunculkan chaos atau faudha (kekacauan) di dalam negeri yang semakin memperpuruk negara terbesar Arab itu, juga memunculkan posisi-posisi aneh di tingkat regional dan internasional. Aneh misalnya adanya kesamaan pandangan Iran dan Turki yang menolak kudeta sementara mereka bersebrangan di Suriah, sedangkan rezim Assad mendukung kudeta tersebut.

Begitu pula halnya dengan Arab Saudi yang mendukung oposisi menjatuhkan rezim Assad memiliki pandangan yang sama dengan Assad yang mendukung kudeta di Mesir. Sedangkan di tingkat internasional terutama Barat kembali memperlihatkan standar ganda dengan mendukung secara implisit kudeta terhadap presiden terpilih secara demokratis itu.

Lebih berbahaya

Hari-hari yang dilalui negeri itu pasca kudeta militer disusul lagi dengan peristiwa berdarah akibat serangan atas pendukung Presiden Mursy yang sedang melaksanakan shalat Subuh di depan markas pasukan elit, Garda Republik pada Senin (08/07/2013) menewaskan lebih dari 50 orang menunjukkan bahwa situasi kehidupan negeri lembah Nil ini jauh lebih berbahaya dari masa transisi pertama pasca lengsernya Presiden Husni Mubarak.

Pada masa transisi pertama, lapangan-lapangan utama di seantero Mesir dipenuhi oleh pengunjukrasa yang mendesak militer yang masih memegang tampuk kekuasaan saat itu untuk segera mengalihkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil sementara hingga terlaksananya pemilu legislatif dan pilpres. Sementara sekarang, negeri ini dihantui perang saudara sesungguhnya akibat konfrontasi antara dua kekuatan besar.

Opsi kemungkinan terjadi konfrontasi besar antara dua kubu pendukung dan penentang kudeta militer terbuka lebar meskipun militer berhasil membentuk pemerintahan sementara yang akan memegang kendali kekuasaan hingga pemilu dini terlaksana enam bulan kedepan sebagaimana yang dijanjikan Jenderal Al-Sisi. Apa yang terjadi di depan markas Garda Republik hanya contoh kecil saja dari kemungkinan konfrontasi yang lebih besar bila kedua kubu tetap bersikeras pada pendirian masing-masing tanpa tercapai jalan kompromi.

Tentunya tidak cukup keberhasilan Hazem al-Beblawi menyusun kabinet pemerintahan sementara dari kalangan tehnokrat non politikus termasuk jika mereka diterima di dalam dan luar negeri selama masing-masing pihak dan kubu bersikeras pada sikap masing-masing. Situasi seperti ini hanya akan memproduksi kembali pemerintahan diktator dengan wajah baru yang pasti akan ditentang kaula muda yang menjadi motor revolusi negeri itu.

Intinya, pemimpin kudeta Jenderal Al-Sisi bersama Front Penyelamat selaku oposan Presiden Mursy, menurut sejumlah pengamat independen Arab salah perhitungan terhadap kekuatan kubu Islamis yag dikomandoi oleh Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) ketika melakukan kudeta. Tentunya rakyat Mesir yang akan membayar mahal salah perhitungan tersebut yang berdampak pada stabiitas dan kesatuan bangsa.

Memang tidak bisa dinafikan bahwa selama setahun masa pemerintahan Mursy, beberapa kebijakannya dinilai keliru dan mengundang hujatan massa dari kalangan oposisi yang dapat dimanfaatkan oleh sisa-sisa rezim lama untuk kembali memperkuat barisan. “Tapi kekeliruan Mursy sebesar apapun tetaplah kecil dibandingkan kekeliruan militer yang melakukan kudeta yang dapat menjerumuskan negara ke dalam perang saudara,“ papar sejumlah pengamat independen Arab.

Salah satu pertanyaan utama saat ini adalah sampai kapan rakyat Mesir dapat mengatasi masalahnya hingga lapangan al-Tahrir dan Rabi`ah al-Adawiyah kembali kosong sebagai tanda pemulihan situasi? Apakah sebulan, tiga bulan atau setahun hingga tiga tahun atau akan berlarut-larut, semua kemungkinan itu terbuka mengingat dalamnya perpecahan yang terjadi diantara kubu-kubu yang bertikai.

Kemungkinan besar pemerintahan transisi ini dan kekuatan-kekuatan politik beserta militer yang mendukungnya akan melakukan “kesalahan“ yang sama dengan sebelumnya karena akan lebih menfokuskan pada upaya memenangkan perseteruan dengan meninggalkan tugas utama yakni mengubah kondisi buruk kehidupan rakyat. Di lain pihak kubu pendukung Presiden Mursy setelah menjadi oposisi akan melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan pemerintahan transisi yang dinilai tidak sah.

Bagi mereka yang optimis dengan bantuan cepat sejumlah negara Teluk pasca kudeta untuk memulihkan kondisi perekonomian yang buruk, mungkin lupa bahwa bantuan lebih besar sebelumnya juga diperuntukkan bagi pemerintahan Mursy, namun tetap belum mampu mengubah kondisi perekonomian akibat perpecahan antar kubu. Dibandingkan bantuan saat ini sekitar 12 milyar dolar, bantuan terhadap pemerintahan Mursy sebelumnya mencapai 20 milyar, namun tidak dapat diimplementasikan akibat perpecahan.

Karena itu, sejumlah tokoh dan pengamat Arab melihat bahwa opsi terbaik untuk mengeluarkan Mesir dari faudha dan kemungkinan perang saudara adalah pemilu dini sehingga terpilih pemerintahan teknokrat yang tugas utamanya menyelamatkan negara dari kemungkinan terperangkap dalam perang saudara. Meskipun demikian, belum dapat diprediksi perkembangan enam bulan ke depan yakni waktu yang dijanjikan militer bagi pelaksanaan pemilu dini.

Dua skenario

Bila dalam rentang waktu enam bulan ke depan tidak terdapat perubahan berarti dan berbagai upaya serta inisiatif berimbang dan adil tidak mendapat respon dari pihak-pihak yang bertikai untuk mengatasi krisis saat ini yang diterima semua pihak, sebagian pengamat melihat kemungkinan dapat terjadi dua skenario. Skenario pertama adalah kemungkinan Mesir mengalami nasib yang sama dengan Aljazair terlepas dari persamaan dan perbedaan yang ada.

Sedangkan skenario kedua adalah adalah kemungkinan mengalami nasib yang sama dengan Venezuela pada masa mendiang Hugo Chavez yang sempat dima`zulkan militer atas desakan protes massa yang menentangnya. “Situasi di Mesir saat ini dapat membuka peluang kemungkinan skenario Aljazair dan Venezuela dengan dikesampingkannya Al-Ikhwan dari arena politik,” papar Tareq Abul Ainein, dalam artikelnya di harian Al-Hayat, Kamis (18/7/2013).

Pengamat Mesir yang tentu lebih mengetahui kondisi negaranya itu, mengingatkan bahwa kekhawatiran yang sangat bila skenario Aljazair terulang di negerinya jika pihak-pihak yang bertikai akhirnya melakukan cara-cara kekerasan untuk mengembalikan hak masing-masing. Terkait skenario Aljazair, Tareq melihat sebenarnya ada perbedaan mendasar antara Aljazair pada 1991 dengan negaranya, Mesir saat ini.

Perbedaan dimaksud intinya ada dua yakni yang pertama, Front Penyelamatan Islam (FIS) Aljazair selaku pemenang pemilu saat itu belum sempat berkuasa karena diganjal oleh militer. Sedangkan Al-Ikhwan Mesir dikudeta saat dalam posisi penguasa selama setahun dari total empat tahun masa jabatan presiden.

Perbedaan kedua adalah militer Aljazair menolak secara mutlak peluang FIS untuk berkuasa sehingga mendesak Presiden saat itu, Shazali Benjedid untuk mengundurkan diri lalu membentuk Dewan Kepresidenan yang dipimpin Mohammad Boudiaf, yang tak lama kemudian terbunuh. Sedangkan militer Mesir member peluang Al-Ikhwan untuk berkuasa termasuk kemenangan mutlak yang diperolehnya dalam pemilu parlemen dan majelis syoura.

Sedangkan skenario Venezuela yang dimaksud adalah kemungkinan Mursy kembali menduduki kursi kepresidenan sebagaimana halnya mendiang Chavez pada 2002 yang sempat dikudeta oleh desakan massa oposisi yang menilainya gagal mengatasi krisis ekonomi negara dan sebagai akibat benturan melawan lembaga paling berpengaruh di negaranya (perusahaan Minyak Nasional). Skenario kudeta Chavez pada April 2002 itu mirip dengan situasi yang dialami Mursy saat dikudeta militer saat ini.

Meskipun demikian terdapat pula perbedaan mendasar yakni Presiden sementara Venezuela, Pedro Carmona terlalu gegabah melakukan serangkaian kebijakan seperti membubarkan parlemen, memberlakukan keadaan darurat dan pemberhentian petinggi-petinggi militer yang membantunya melengserkan Chavez. Hal ini tidak terjadi di Mesir dan “peta jalan“ yang dikedepankan militer untuk mengatasi krisis saat ini juga tidak mendapat tantangan yang kuat dari massa.

Sedangkan perbedaan kedua adalah, militer Venezuela terpecah terkait pema`zulan Chavez ditambah lagi banyak kalangan militer yang tadinya mendukung Carmona berbalik menentangnya setelah ia mengambil langkah pemberhentian sejumlah petinggi militer yang mendukungnya melengserkan Chavez. Sedangkan di Mesir militer kelihatannya hingga saat ini masih bersatu meskipun ada selentingan terjadinya perpecahan.

Mana diantara dua skenario itu yang akan terjadi dalam enam bulan kedepan, sangat sulit diprediksi. Sebagian pihak yang tidak memihak kubu manapun menawarkan jalan tengah yakni pelaksanaan “peta jalan“ dengan sejumlah revisi untuk selanjutnya dilaksanakan Pilpres dini atau kembalinya Mursy ke kursi kepresidenan dengan mematuhi aturan pada butir-butir yang tertuang dalam “peta jalan“ yang diajukan militer tersebut.

Namun hingga saat ini belum ada tawaran solusi jalan tengah yang mendapat sambutan dari masing-masing kubu yang bertikai karena setiap pihak bersikeras pada posisi masing-masing yang dikhawatirkan dapat mengarah ke perang saudara. Sementara bagi Mursy sendiri, yang telah kenyang keluar masuk penjara pada masa rezim Mubarak, oleh sejumlah analis menilai akan menjadi simbol pemimpin bangsa Arab yang dipilih secara demokratis namun tidak dikehendaki oleh pihak-pihak tertentu di tingkat nasional, regional dan internasional yang khawatir dengan pengaruh kubu Islamis.
Oleh: Musthafa Luthfi

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter