alhikmah.ac.id – Etika Islam dalam interaksi sosial mengajarkan untuk saling mendekatkan hati, saling bersaudara dan mencintai di antara sesama kaum muslimin merupakan salah satu sisi keindahan Islam. Islam mensyari’atkan sarana yang dapat menyebabkan keakraban, mendamaikan dan menghilangkan kabut hati. Di antara sarana itu adalah saling memberikan hadiah atau kado/bingkisan/parcel di antara sesama.
Hadiah sebagaimana penjelasan risalah Barid al-Hadiyyah dapat efektif melakukan apa yang tidak dapat dilakukan verbal ucapan termasuk permintaan ma’af. Ia mampu menghilangkan kabut hati, memadam kan api permusuhan, menenangkan kemarahan dan melenyapkan rasa iri hati dan kedengkian. Ia dapat mendatangkan kecintaan dan persahabatan setelah sekian lama tercerai-berai.
Hadiah selalu memberi kesan perdamaian, rasa cinta dan penghargaan dari si pemberi kepada yang diberi. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar memberi dan menerima hadiah. Beliau menjelaskan pengaruh hadiah di dalam meraih kecintaan dan kasih sayang di antara sesama manusia, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Bukhari, al-Adab al-Mufrid)
Beliau juga bersabda, “Penuhilah undangan orang yang mengundang, janganlah menolak hadiah…”(HR.Ahmad dan al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrid). Mengenai hadits ini, Ibn Hibbân mengomentari, “Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengecam tindakan menolak hadiah di kalangan sesama muslim. Bila seseorang diberi sebuah hadiah, wajib baginya untuk menerimanya dan tidak menolaknya. Saya menganjurkan orang-orang untuk saling mengirim hadiah kepada sesama saudara. Sebab hadiah dapat melahirkan kecintaan dan menghilangkan rasa dendam.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan tidak menerima sedekah. Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam disuguhi makanan, ia selalu bertanya; Apakah ia hadiah atau sedekah.? Jika dijawab, ‘Sedekah’ maka ia berkata kepada para shahabatnya, ‘Makanlah oleh kalian’ sementara ia tidak ikut memakannya. Sedangkan bila dijawab, ‘hadiah’ maka beliau mencuci tangannya lalu memakannya bersama mereka.’” (Muttafaqun ‘alaih). Hadits lainnya berasal dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan mendoakan pahala bagi (pemberi)-nya.” (HR. al-Bukhari)
Salah satu jenis hadiah yang tidak pernah ditolak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah wewangian. Hal ini sebagaimana hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak wewangian.” (HR. al-Bukhari) Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Siapa saja yang dihadiahi ‘Raihan’, maka janganlah menolaknya sebab ia ringan dibawa namun sedap baunya.” (HR.Muslim)
Orang-orang Anshar amat mengetahui betapa hajat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesulitan hidup yang dialaminya. Karena itu, mereka selalu mengirim kan hadiah dan pemberian untuk beliau. Hal ini diceritakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada ‘Urwah radhiyallahu ‘anhu bahwa seringkali di rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dinyalakan api karena tidak memasak. Lalu ketika ‘Urwah bertanya apa yang dimakan bila kondisinya demikian. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Hanya korma dan air.” Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan bahwa sekalipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam punya tetangga orang-orang Anshar yang selalu mengirimkan hadiah, yaitu berupa air susu onta.” (Muttafaqun ‘alaih)
Anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar saling memberi hadiah walaupun sedikit tidak ditinjau dari sisi nilai materinya tetapi lebih kepada nilai maknawinya sebagaimana yang telah disinggung di atas. Hal ini dapat terlihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melalui hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau bersabda, “Wahai para wanita kaum muslimin, janganlah ada seorang tetangga meremehkan pemberian tetangganya yang lain sekali ia (pemberian tersebut) berupa ujung kuku (teracak) unta.” (HR.al-Bukhari). Padahal, apalah artinya kuku yang tentunya hanya menyisakan sedikit daging.
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan menarik yang menunjukkan perlunya sikap tawadlu’ (rendah hati) dalam menerima hadiah apa pun, “Andaikata aku diundang untuk menyantap makanan (yang berupa) bagian hasta atau bagian di bawah tumit, niscaya aku penuhi undangan itu, dan andaikata aku dihadiahi hal yang sama juga niscaya aku menerimanya.” (HR. al-Bukhari)
Bila kita renungkan lebih mendalam, apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih membutuhkan makanan dari orang lain? Jawabannya sudah pasti, tidak. Sebab sebagaimana yang kita ketahui bahwa beliau diberi makan dan minum oleh Rabbnya akan tetapi hal itu merupakan pelajaran praktis agar bersikap tawadlu’ dan rendah hati terhadap kaum muslimin apa pun kedudukan mereka.
Kehidupan para ulama Salaf juga sarat dengan hal itu di mana mereka saling memberi hadiah, sekecil apa pun bentuknya, terkadang ada yang hanya berupa kurma yang belum matang, ada yang berupa setangkai bunga mawar, ada yang hanya berupa garam yang ditumbuk dan tetumbuhan yang wangi aromanya.
Hadiah adalah sesuatu yang mengagumkan, apalagi bila terjadi di antara suami-isteri. Ia dapat menambah rasa kecintaan dan kedekatan hati antara keduanya, memperbarui ruh kehidupan rumah tangga dan menghilangkan perselisihan yang sebelumnya bisa saja akan bertambah meruncing bila kedua pasangan tidak menyadari apa yang dapat menghilangkannya.
Seorang istri lebih mudah tersentuh oleh hadiah yang diberikan suaminya ketimbang terhadap hadiah orang lain, demikian pula dengan sang suami. Bahkan bila ingin, isteri boleh memberikan sebagian maharnya kepada sang suami asalkan secara sukarela. Allah subhanahu wata’alaberfirman, “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisâ`:4)
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam etika interaksi sosial terkait pertukaran hadiah dan kado antara lain;
Pertama; tidak boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan kepada orang lain sebab hal itu sebagaimana makna sebuah hadits sama seperti anjing yang menelan lagi makanan yang telah dimuntahkannya. (Muttafaqun ‘alaih). Akan tetapi, boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan karena alasan yang sesuai syari’at seperti curiga bahwa ia berasal dari hasil suap. Contohnya, ash-Sha’b bin Jatstsamah radhiyallahu ‘anhu pernah memberi hadiah seekor keledai liar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam namun beliau menolak nya karena ia sedang berpakaian ihram. Demikian pula, bila seorang pegawai yang sudah memiliki gaji diberi hadiah, maka ia tidak boleh menerimanya dan ini seperti kasus Ibn al-Lutbiyyah di mana Rasulullah mengecamnya. (Muttafaqun ‘alaih)
Kedua; hendaknya yang lebih diutamakan di dalam memberi hadiah adalah keluarga terdekat; kaum kerabat seperti paman pihak ibu dan ayah dan orang semisal mereka. Demikian juga boleh mendahulukan orang yang di hati seseorang mendapat tempat yang dekat. Imam al-Bukhari mencantumkan bab tentang siapa yang lebih dahulu harus diberi hadiah, lalu beliau mengetengahkan dua hadits; yang pertama, beliau menyarankan kepada sang penanya agar diberikan kepada paman dari garis ibunya dan yang ke dua ketika ditanyai kepada beliau mana di antara dua tetangga yang didahulukan dalam memberi hadiah, beliau menjawab, “Yang paling dekat pintunya darimu.” Wallahu A’lam. (dkw)