alhikmah.ac.id – Ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang telah membahas: Tafsir Suarat Al Baqarah Ayat 183-187, Ta’rif Shiyam dan Masyru’iyyahnya, Syarat-syarat shiyam, dan Furudhusshiyam (rukun siyam). Kali ini akan dibahas mengenai Furudhusshiyam (rukun shiyam), dan Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan. Selamat menyimak.
4. Furudhusshiyam (rukun shiyam)
a. Niat, karena niatlah yang membedakan antara ibadah dengan selainnya.
Tidak disyaratkan melafalkan niat, karena niat terletak dalam hati, maka barang siapa yang makan sahur untuk puasa, ia telah dianggap orang berniat puasa, dan barang siapa yang berazam meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa karena Allah, maka azamnya itu adalah niat. Waktu niat ada di sepanjang malam sehingga terbit fajar. Hal ini berlaku untuk puasa Ramadhan dan qadha puasa Ramadhan di hari lain, puasa nazar, puasa kifarat. Maka ketika sudah terbit fajar dan belum niat puasa, puasanya tidak sah. [1] Hal ini didasarkan pada hadits Hafshah ra berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang tidak mengumpulkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Ahmad dan Ashabussunan, dishahihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban)
Sedangkan untuk puasa sunnah maka disahkan berniat sebelum matahari bergeser (Zhuhur) menurut Hanafi dan Syafii. Didasarkan pada hadits Aisyah ra, berkata:
“Rasulullah saw suatu hari masuk ke rumahku, dan bertanya: Adakah kamu punya sesuatu? Saya jawab: Tidak ada. Nabi bersabda: Maka aku berpuasa.” (HR Muslim dan Abu Daud)
b. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Dan yang membatalkannya ada empat macam:
i. Segala sesuatu yang masuk ke dalam rongga melewati mulut, berupa makanan atau minuman yang menjadi konsumsi fisik atau tidak menjadi konsumsi fisik. Sedangkan yang menjadi konsumsi fisik tapi tidak masuk melalui mulut, seperti jarum infus dll, dianggap tidak membatalkan puasa.
ii. Sengaja muntah, sedang yang tidak sengaja maka tidak membatalkan. Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa yang terpaksa muntah, maka ia tidak wajib qadha’ sedangkan yang sengaja maka ia wajib qadha’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Hibban AD Dari Quthni dan Al Hakim)
iii. istimna’, yaitu sengaja mengeluarkan sperma, baik karena ciuman dengan istri, atau sentuhan tangan maka hukumnya batal. Sedangkan jika karena melihat saja, atau berfikir saja maka tidak membatalkan. Demikian juga keluarnya madzi, tidak mempengaruhi puasa.
iv. al jima’, karena Allah SWT berfirman tidak memperbolehkannya kecuali di waktu malam. Surat Al-Baqarah ayat 187:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Semua hal yang membatalkan ini disyaratkan harus dilakukan dengan ingat jika ia sedang berpuasa. Maka jika ia makan, minum, istimna’ atau muntah, atau berhubungan suami istri dalam keadaan lupa maka tidak membatalkan puasanya, baik dalam bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan. Baik dalam puasa wajib atau puasa sunnah, karena Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa lupa ia sedang puasa, lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR Al jama’ah)
5. Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan
Berbuka di bulan Ramadhan dapat digolongkan dalam enam macam:
a. Wajib berbuka atas orang yang haidh atau nifas, bahkan ia haram puasa, dan wajib qadha saja. Artinya ia wajib puasa menggantikan hari-hari yang ditinggalkan. Aisyah RA berkata:
“Kami haidh di masa Rasulullah SAW, lalu kami disuruh mengqadha puasa, dan tidak disuruh mengqadha’ shalat”. (HR. Al Bukhari dan Muslim)
b. Diperbolehkan berbuka bagi orang yang sakit dan musafir. Keduanya hanya wajib qadha. Sedangkan puasa dalam perjalanan lebih diutamakan jika tidak membahayakan yang bersangkutan, tetapi jika membahayakan, maka berbuka lebih baik baginya. Abu Said Al Khudzriy RA meriwayatkan:
“Kami berperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan, di antara kami ada yang berpuasa, dan di antara kami ada pula yang tidak berpuasa, dan orang yang puasa tidak mencela yang tidak berpuasa, dan yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa. Bagi yang mampu dan berpuasa maka itu baik baginya, dan yang lemah lalu berbuka maka itu baik baginya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Syarat diperbolehkan puasa di perjalanan hendaklah jaraknya sejarak diperbolehkan mengqashar shalat, dan berangkat sebelum fajar. Jika ia mukim dan telah niat puasa, terbit fajar di tempatnya lalu ia bepergian, maka ia tidak boleh berbuka. Sedang jika ia musafir, lalu niat puasa dari malam, kemudian ia ingin berbuka di siang hari, maka hal itu diperbolehkan baginya. Sedangkan bagi orang sakit yang dengan puasa menambah sakitnya, atau lambat sembuhnya, jika ia puasa, sah puasanya tapi makruh, karena ia meninggalkan rukhshah yang Allah cintai. Sedang wanita hamil dan menyusui keduanya boleh berbuka, dan hanya wajib qadha saja, dianalogikan dengan orang yang sakit.
c. Diperbolehkan berbuka bagi orang tua dan orang sakit yang sudah tidak ada harapan sembuh, keduanya tidak wajib qadha’ hanya wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA berkata:
“Diberikan rukhshah bagi orang tua untuk berbuka dan ia memberi makan setiap harinya pada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya”. (HR Ad Daruquthniy, Al Hakim, dan keduanya menshahihkannya)
d. Orang yang dengan sengaja tidak dengan berhubungan suami istri, seperti orang yang makan, minum, sengaja muntah, atau keluar mani, demikian juga orang yang berbuka tanpa sengaja seperti orang yang menduga bahwa fajar belum terbit, lalu ia sahur, kemudian ternyata fajar telah terbit. Atau orang yang menduga telah terbenam matahari lalu ia makan, ternyata matahari belum terbenam, atau orang yang pingsan. Semuanya wajib qadha tanpa kifarat. Berbeda dengan orang yang makan karena lupa yang tidak wajib qadha. Orang yang berbuka tanpa sengaja ia tidak berdosa, sedangkan orang yang sengaja berbuka maka dosanya sangat besar, seperti sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang berbuka satu hari dari bulan Ramadhan, tidak bisa digantikannya puasa setahun penuh, meskipun ia berpuasa.” (HR. Ahmad dan Ad Darimiy)
e. barang siapa yang berhubungan suami istri dengan sengaja , maka ia wajib menahan diri pada sisa hari itu, mengqadha, dan kifarat atas yang laki-laki (sesuai dengan kesepakatan ulama), perbedaan pendapat terjadi tentang kifarat, apakah wajib atas wanita atau tidak? Wajib atas wanita pula menurut mazhab Hanafi, tidak wajib menurut Syafi’i.
Kifaratnya adalah memerdekakan budak wanita, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin dengan makanan sedang yang biasa diberikan untuk keluarganya. Berurutan dalam penerapan kifarat adalah sesuatu yang wajib menurut jumhurul ulama. Tidak boleh menggunakan kifarat kedua kecuali jika tidak mampu kifarat yang pertama. Sesuai dengan hadits masyhur ini. Bahwa seseorang datang kepada Nabi Muhammad SAW lalu berkata:
“Aku telah binasa Ya Rasulullah. Nabi bertanya : Apa yang membinasakanmu? Ia menjawab: Aku jatuh di atas istriku pada bulan Ramadhan. Nabi bertanya: Adakah budak yang kau bisa merdekakan? Ia menjawab: Tidak ada. Nabi bertanya lagi: Mampukah kau berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab: Tidak. Nabi bertanya lagi: Adakah yang bisa kau gunakan memberi makan enam puluh orang miskin? Ia menjawab: Tidak. Kemudian ia duduk. Lalu Rasulullah datang dengan membawa segantang kurma, dan bersabda: Bersedekahlah dengannya! Ia bertanya: Kepada yang lebih miskin dari kami? Karena tidak ada orang yang tinggal di antara dua batu ini (Madinah) lebih membutuhkannya daripada kami. Rasulullah kemudian tersenyum sehingga tampak gigi taringnya dan bersabda: Pulanglah dan berikan makan keluargamu”. (HR. Al Jama’ah)
Dan orang yang berulang-ulang melakukan hubungan suami istri dalam sehari, ia hanya wajib membayar kifar sekali. Sedang yang mengulanginya di hari lain maka setiap hari satu kifarat, kecuali menurut mazhab Hanafi yang hanya mewajibkan sekali kifarat, kecuali jika sudah membayar kifarat lalu mengulang lagi, maka ia wajib kifarat lagi, meskipun masih di bulan Ramadhan yang sama.
f. orang gila sehingga sembuh, anak kecil sehingga baligh, dan orang kafir sehingga muslim, mereka tidak wajib qadha tidak juga fidyah.
–
Catatan Kaki:
[1] Menurut madzhab Hanafi, disahkan niat puasa bulan Ramadhan setelah terbit fajar sebelum zuhur, dan yang afdhal dilakukan sejak malam
– Bersambung