alhikmah.ac.id – Bagi orang yang hendak memperhatikan dan mendalami Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya, hendaklah mengantisipasi hal lain, yang menurut Al-Ghazaly disebut at-takhally min mawani’il-fahm, melepaskan diri dari hal-hal yang menghambat pemahaman. Banyak orang yang tidak mampu memahami Al-Qur’an karena berbagai sebab dan tabir yang sengaja dipasang syetan di atas hati mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat rahasia-rahasianya.
Tabir dan penghambat pemahaman itu ada empat macam :
1. Hasrat tertuju untuk mengeluarkan huruf-huruf sesuai dengan makhrajnya. Yang demikian ini selalu dijaga syetan untuk mempengaruhi setiap qari’, dengan mengalihan perhatian mereka dari makna-makna kalam Allah, sehingga mereka hanya sibuk dengan pengulangan huruf-hurufnya, dengan anggapan bahwa dia belum mantap dalam makhrajnya. Jadi perhatiannya hanya tertuju kepada makhraj huruf. Lalu kapan maknanya akan terkuak kalau begitu caranya? Syetan akan tertawa lebar-lebar jadi godaan ini ditaati qari’.
2. Bertaqlid kepada suatu paham atau aliran yang didengarnya, membatasi diri pada aliran itu ada fanatik kepadanya, hanya karena dia ingin mengikuti sesuatu yang didengarnya, tanpa harus mengecek, meneliti dan mempersaksikan bagaimana yang sebenarnya dari apa yang dia dengarkan itu. Yang demikian ini merupakan pribadi yang diikat sesuatu yang diyakininya, tanpa harus menelitinya, sehingga tidak ada yang melintas di dalam benaknya kecuali apa yang diyakininya itu. Pandangannya terbatas pada apa yang dia dengarkan. Jika ada cahaya terang yang muncul dari kejauhan, dan ternyata makna yang dibawanya berbeda dengan apa yang dia dengar sebelumnya, maka syetan melingkupi dirinya dengan taqlid, seraya berkata, “Tak perlu kau masukkan ke dalam hati, karena hal itu jelas bertentangan dengan keyakinan bapak-bapakmu.” Jika dia tahu bahwa hal ini hanya sekedar bujukan syetan, tentu dia akan menjauhinya dan mewaspadainya. Karena itu orang-orang sufi berkata, “Sesungguhnya itu adalah tabir.” Yang mereka maksudkan dengan ilmu di sini ialah keyakinan-keyakinan yang dipertahankan manusia karena taqlid atau yang berasal dari pernyataan orang-orang fanatik terhadap suatu madzhab. Sedangkan ilmu hakiki yang berarti pengungkapan dan persaksian berasal dari cahaya bashirah. Maka bagaimana mungkin ilmu yang hakiki ini dianggap sebagai tabir, padahal ia dicari? Taqlid semacam ini adalah batil dan akan menjadi penghambat. Tak berbeda jauh dengan orang yang menyakini istiwa’ diatas ‘Arsy berarti bertempat tinggal seperti halnya manusia yang bertempat tinggal
3. Terus-menerus melakukan suatu dosa, apalagi dosa besar, atau diuji dengan nafsu di dunia yang diikutinya. Yang demikian ini menciptakan kegelapan dan kepekatan di hati, seperti halnya kotoran di cermin, sehingga menghalangi kejelasan kebenaran yang tampak di depannya. Ini merupakan tabir dan penghambat yang paling besar bagi hati. Banyak orang yang mengalami hambatan ini. Selagi syahwat bertumpuk-tumpuk, maka lebih banyak makna Al-Qur’an yang tertutup. Selagi beban dunia semakin ringan di dalam hati, maka ia akan lebih dekat kepada makna di dalam Al-Qur’an. Hati itu ibarat cermin dan syahwat itu ibarat kotoran. Sementara makna-makna Al-Qur’an adalah gambaran-gambaran yang hadir di depan cermin. Melatih hati dengan menyingkirkan syahwat seperti menyingkirkan kotoran di permukaan.
“Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d :19)
Siapa yang lebih mementingkan tipu daya dunia daripada kenikmatan akhirat, bukan termasuk orang-orang yang berakal. Karena itulah rahasia-rahasia Al-Kitab tidak akan dia singkap.
Menurut hemat kami, di antara dalil yang menguatkan apa yang dikatakan Al-Imam Al-Ghazaly itu ialah firman Allah,
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di muka tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (Al-A’raf : 146).
Menurut Sufyan bin Uyainah, artinya Kami akan melepaskan pemahaman tentang Al-Qur’an dari mereka.
4. Boleh jadi karena seseorang telah membaca tafsir secara zhahir dan beranggapan bahwa tidak ada makna lain dari kalimat-kalimat Al-Qur’an, kecuali dari apa yang diperoleh dari Ibnu Abbas, Mujahid atau lain-lainnya. Sedangkan selain itu adalah tafsir berdasarkan pendapat. Sementara siapa yang menafsiri Al-Qur’an dengan pendapatnya, maka dia akan menempati tempat duduknya dari api neraka. Yang demikian ini juga termasuk penghambat yang besar. Tentang makna tafsir berdasarkan pendapat ini akan kami jelaskan di bab keempat. Yang pasti, hal itiu tidak bertentangan dengan perkataan Ali Radhiyallahu Anhu, “Kecuali jika Allah memberikan suatu pemahaman kepada seorang hamba tentang Al-Qur’an,” Sebab sekiranya makna yang dikehendaki adalah makna yang zhahir dan yang harus dinukil, maka manusia akan saling berselisih tentang Al-Qur’an.