alhikmah.ac.id – “Nanti dulu deh, jilbabin hati dulu, setelah itu baru memakai jilbab” ujar seorang aktris cantik ketika diwawancarai dalam agenda launching film religi yang dibintanginya. Dalam film religi yang sarat akan hikmah tersebut, sang aktris berperan sebagai tokoh wanita yang shalihah dan cerdas. Tentunya dengan jilbab menutup rapat.
Padahal dalam film religi tersebut sang aktris jauh tampak lebih cantik dengan jilbab yang dikenakan. Tapi sayang, tidak untuk kehidupan nyata sang aktris.
Entah… dari mana datangnya asal muasal kalimat ‘Jilbabin hati dulu, baru memakai jilbab’ seumpama wabah, hampir semua wanita yang belum berjilbab ketika diajak berjilbab pastilah memiliki senjata ampuh untuk menolaknya ‘Jilbabin hati dulu, baru memakai jilbab’.
Bisa jadi itu menjangkit dirimu atau bahkan diriku sendiri. Pernah suatu ketika menanyakan kepada teman-teman yang belum jua berjilbab. Ternyata ada saja alasan yang mengemuka.
Ada yang timbul sebab alasan keluarga, khawatir tidak dapat jodoh, lingkungan, tuntutan pekerjaan, diri sendiri, alasan emansipasi wanita dan masih banyak lagi.
Sebut saja Fulanah, saya tidak memakai nama siapa-siapa sebab khawatir akan melukai sang empunya nama, walau tak ada sedikit pun niat saya untuk menyakiti. Tetapi sudahlah, jangan dibahas terlalu panjang.
Ya! Sebut saja Fulanah, ia seorang wanita dengan paras yang cantik, sifat yang supel dan mudah bergaul, semua orang menyukai dan nyaman dengannya. Selain memiliki paras wajah yang cantik, kepandaiannya luar biasa, karirnya pun bagus. Sayang bila dilepaskan.
Saya memperhatikan lama mbak Fulanah ini, ketika ditanya mengapa enggan berjilbab. “Gerah.” Katanya. Tercengang mendengarnya? Tentu saja! Sebab, ia tumbuh dan besar di keluarga yang cukup kondusif untuk mengenakan jilbab.
Ada pula sering kudapati orang-orang yang kukenal sebelumnya berjilbab rapat menutup dada, begitu anggun terasa, setelah terjun ke dunia kerja mereka memendekkan jilbab mereka satu sama lain. Mengganti model yang tak syar’i, atau bahkan tidak memakai jilbab sama sekali. Na’udzubillahi min dzalik….
Ada pula seorang kenalan, shalatnya baik, ia pun hampir menjalankan seluruh perintah agama, tapi ia masih enggan berjilbab. Ketika ditanya, “Nanti, ah, saya belum siap berjilbab, mau jilbabin hati dulu, kalau hati sudah baik baru memakai jilbab.” Nah lho….!
Atau ada juga yang nyinyir berkata “Kita ini hidup di zaman modern, sudah saatnya emansipasi wanita, ditegakkan, mbak. Jilbab itu hanya membatasi gerak setiap wanita untuk berkarya.
Lihat mereka yang berjilbab, maksiat tetep jalan terus, kok. Malu-maluin agama aja. Lebih baik tidak berjilbab sekalian.”
Waduh…!
Ada pula yang berpendapat. “Masih perawan itu, jangan di jilbabin dulu, nanti enggak ada yang mau. Pakaiannya itu, lho! Kayak tukang sayur.”
Grrrrr…. Memangnya kita barang? Huh!
Alasan-alasan yang disebutkan di atas tentang mengapa banyak wanita yang enggan berjilbab, hanyalah sebagian kecil bila dibandingkan dengan alasan-alasan yang ada di kehidupan dunia nyata.
Padahal sudah jelas-jelas Allah Azza Wa Jalla memerintahkan kita semua muslimah untuk mengenakan jilbab, melalui firman-Nya di Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 31:
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa (sesuai batas syar’i) tampak dari padanya. Hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya atau ayah-ayahnya atau ayah suaminya atau putra-putrinya atau putra-putri suaminya atau saudara-saudaranya atau putra-putri saudara perempuannya atau wanita-wanita mukmin atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar dilihat perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
Kewajiban Berjilbab
Jilbab sendiri berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti pakaian lapang, dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan.
Berjilbab sendiri bukanlah suatu pilihan, tidak menunggu siap atau tidak siapnya kita untuk memakai jilbab, tetapi berjilbab merupakan kewajiban, yang memiliki definisi harus dilaksanakan tanpa terkecuali ataupun dengan alasan apapun. Sebab, memakai jilbab sudah jelas-jelas di perintahkan di dalam Al-Qur’an:
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa (sesuai batas syar’i) tampak dari padanya….” (QS. An-nur: 31)
Dari keterangan firman Allah Azza Wa Jalla, di atas sudah sangat jelas menggambarkan perihal kewajiban menggunakan jilbab. Allah lah yang langsung memerintahkan memakai jilbab, bukan manusia atau siapapun.
“Hai manusia anak cucu Adam. Sesungguhnya Allah telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu (berjilbab), untuk keindahan. Tetapi pakaian taqwa itulah yang paling baik. Semua itu adalah tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat (berfikir).” (Al Qur’an Surat Al-Araf: 26)
Pernah suatu ketika Asma’ binti Abu Bakar berkunjung kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian tipis. Lalu Rasulullah berpaling daripadanya. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Wahai ‘Asma sesungguhnya orang perempuan apabila sudah sampai umur haidh (umur baligh) tidak boleh dilihat padanya kecuali ini dan ini (sambil Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menunjukkan muka dan kedua telapak tangan.” (Hadits Riwayat Abu Daud)
Islam mengharamkan bagi perempuan memakai pakaian yang terlihat lekuk tubuh dan tipis sehingga nampak kulitnya. Termasuk di antaranya pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah. Kewajiban Berjilbab dalam Islam, tak lain dan tak bukan adalah untuk kebaikan muslimah itu sendiri. Memberikan identitas keislamannya, melindungi muslimah dari tindak kejahatan, mencegah perbuatan zina, memberikan keamanan, kenyamanan, serta ketenangan.
Sungguhlah berbeda dengan mereka yang belum berjilbab. Mereka akan terus merasa was-was, merasa tiada aman menemani, memicu datangnya kejahatan orang lain.
Lihatlah mereka para karyawati yang memakai rok mini, seringkali saya menemui mereka di angkutan umum, terlihat jelas ketidaknyamanan mereka. Duduk selalu gelisah, acapkali selalu menarik roknya agar menutupi bagian (maaf) pahanya yang terlihat. Namun apa daya, rok mini tetaplah rok mini, ditarik sekencang apapun ia tak akan tumbuh atau berubah menjulang menjadi lebih panjang.
Sungguhlah berbeda dengan para wanita yang berjilbab. Duduk seperti apapun selalu tampak nyaman dan tak gelisah, atau khawatir dengan mata-mata hidung belang yang mengintai. Minim sekali prosentase wanita berjilbab diganggu di jalan, seandainya pun di ganggu, gangguannya berupa doa dari ucapan salam.
Tak hanya dari sisi keamanan dan kenyamanan, wanita yang tidak berjilbab membuatnya menjauh dari nikmatnya bau surga, yang sesungguhnya apabila kita berjilbab mampu mencium bau surga itu umpama dengan jarak yang dekat.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda “Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (1) Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi (cemeti); (2) Perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, cenderung kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain berbuat maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk surge, dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surge itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (Hadits Riwayat Muslim)
Jilbab Yang Sah Dipakai
Busana menutupi seluruh tubuhnya selain yang dikecualikan
Busana bukan untuk perhiasan kecantikan, tidak berbentuk pakaian aneh menarik perhatian dan tidak berparfum
Tidak tipis dan sempit tampak bentuk tubuhnya
Tidak menampakkan betis maupun kakinya
Tidak menampakkan rambutnya walau sedikit dan juga tidak menampakkan lehernya
Tidak menyerupai pakaian laki-laki dan pakaian wanita-wanita non muslim.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa menyerupai sesuatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka.” (Hadits Riwayat Thabrani)
Kapankah Mengenakan Jilbab
Seiring berkembangnya teknologi membuat kita lebih mudah berkomunikasi dengan orang banyak. Di antaranya sosial media atau jejaring sosial. Mulai dari Facebook, twitter, yahoo messenger dan masih banyak lagi.
Di sini saya tidak akan membahas perkembangan teknologi, sebab artikel ini bukanlah artikel mengenai teknologi informasi, walaupun saya juga berprofesi sebagai pengajar teknologi informasi.
Namun, yang menjadi perhatian saya adalah, seringkali saya melihat pada photo-photo profile pengguna jejaring sosial, khususnya pada sebahagian orang yang saya ketahui bahwasanya mereka sebenarnya telah berjilbab.
Banyak di antara mereka yang masih memasang foto-foto mereka ketika belum mengenakan jilbab, atau foto-foto saat tidak mengenakan jilbabnya, padahal mereka sudah berjilbab.
Sobat muslimah kecintaan Allah, ketika kita menjalankan kewajiban berjilbab, maka sesungguhnya kita tak boleh memperlihatkan aurat kita pada siapapun kecuali pada mahram kita. Baik itu hanya photo yang terpasang pada jejaring sosial atau Smartphone sekalipun. Itu semua demi menjaga kehormatan, dan kesahajaan kita sebagai wanita berjilbab, yang utama karena itu perintah Allah Azza Wa Jalla.
Saat-saat wanita wajib mengenakan jilbabnya:
Ketika keluar dari rumahnya
Menerima kehadiran orang laki-laki yang bukan mahramnya di rumahnya
Berada ditempat umum
Jilbab boleh dilepas jika ia berada di rumahnya, itupun jika di sekelilingnya adalah mahramnya.
Jilbab Bentuk Emansipasi Wanita
Mereka kaum feminis yang selalu nyinyir akan kewajiban berjilbab dalam Islam, tak akan henti untuk terus meneriakkan paham feminisme mereka. Mulai dari isu kesetaraan gender, lalu isu bahwa jilbab adalah gambaran terkurungnya kebebasan wanita, jilbab adalah bentuk ketertinggalan wanita, dan masih banyak sisi-sisi negatif yang mereka sebarkan mengenai jilbab dan Islam.
Agaknya mereka mesti banyak-banyak membaca sejarah, betapa ajaran Islam salah satunya yakni perintah mengenakan jilbab telah mengangkat derajat kaum wanita. Lihat saja, pada zaman jahilliyah dahulu, sebelum Islam datang pada masa itu. Banyak wanita-wanita diperlakukan layaknya aib yang wajib diperbudak, ditutup-tutupi, bahkan dimusnahkan.
Bukan menjadi rahasia umum atau menjadi hal yang baru lagi pada masa itu, seorang wanita dibunuh maupun diperbudak. Dicatat ya… itu terjadi sebelum datangnya Islam.
Pernah dengar kisah mengenai Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam? Ya! Kisah yang paling terkenal dari Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam adalah kisahnya mengubur bayi perempuannya sendiri secara hidup-hidup karena menganggap bayi perempuannya adalah aib yang memalukan.
Perbuatan seperti itu ternyata tidak hanya dilakukan oleh Umar seorang, pada masa itu perbuatan keji seperti itu bukanlah menjadi hal yang tabu lagi.
Kemudian turunlah Islam, dengan kemuliaan Islam lah, diangkatnya derajat wanita. Di aturlah bahwa wanita dan pria memiliki hak yang sama. Sama-sama memiliki hak untuk hidup, hak untuk merasakan keamanan, kenyamanan, mengenyam pendidikan dan masih banyak lagi.
Subhanallah… begitulah Islam mengatur dengan indah. Kita dapat merasakannya hingga saat ini, bukan? Jadi sangatlah berdusta apabila jilbab adalah lambing kemunduran seorang wanita. Lihatlah Aisyah Radhiallahu ‘anhu, ia merupakan cerminan muslimah yang taat beragama serta cerdas luar biasa.
Karena Hati Tak Berjendela
“Nanti dulu deh, jilbabin hati dulu, setelah itu baru memakai jilbab”
Kalimat seperti di atas lah yang sering membuat kita menunda-nunda atau lalai menjalankan perintah-Nya. Menunda-nunda melakukan kebaikan, berarti menunda-nunda pula menuai hasil yang baik, bahkan tidak akan mendapatkan kesempatan sama sekali.
Alkisah ada dua orang kaya raya, kita sebut saja dengan sebutan si A dan si B agar lebih netral dan tak menyinggung siapa-siapa. Sebut saja si A memiliki rumah yang sedemikian mewahnya. Ada tiga tingkat. Setiap tingkat memiliki harta benda yang tak kalah mewah di dalamnya. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, mencapai ratusan triliyunan rupiah.
Apa yang akan kau lakukan ketika pemilik rumah itu adalah dirimu, kawan? Tentu kau akan bersusah payah memberi perlindungan ekstra. Jangankan rumah mewah, bahkan rumah ukuran kontrakan kecil saja masih membutuhkan gembok dan kunci untuk melindungi isi rumah.
Kemudian sang pemilik rumah mempekerjakan puluhan satuan pengaman, tak cukup sampai di situ, setiap sudut rumah pun dipasangi cctv, alarm deteksi bahaya dipasang di mana-mana. Kuncinya pun kualitas satu. Dan tak lupa adalah rumah tersebut memiliki jendela, pintu serta gerbang. Harta di dalamnya terjaga sedemikian rupa.
Beda dengan cerita orang kaya yang kita juluki si A, si B ini walaupun sama kaya nya dengan si A, namun lama-lama si B bangkrut jua. Sebab, harta-harta yang ia miliki setiap waktu mampu di bobol maling. Mengapa demikian? Sebab, jangankan penjaga! Kunci, alarm, maupun cctv, bahkan selidik punya selidik rumah si B ini tidak berpagar, berjendela bahkan berpintu. Jadi para pelaku kriminal seperti maling, garong pun dengan mudah dan santai memasuki rumah si B.
Hati manusia ibarat harta yang berada di dalam rumah. Bagaimana mungkin ingin melindungi dan menjaga harta yang ada di dalam rumah, jikalau rumahnya saja tidak berpagar, tidak berpintu bahkan tidak berjendela.
Sama seperti berjilbab, bagaimana mungkin kita ingin menjilbabi hati, melindungi dan menjaga hati dari perbuatan maksiat kalau kita sendiri belum melindungi dan membentenginya dari luar dengan berjilbab?
Now! Kenakan Jilbabmu
“Adem lihatnya, mbak.”
“Saya ingin lebih dekat dengan Allah.”
“Saya sedari kecil sudah mengenyam di pesantren.”
“Saya anak kyai, mbak.”
“Saya sekolah di lingkungan Islami, jadi dari awal sudah berjilbab.”
“Karena jilbab itu perintah Allah, sifatnya wajib, maka dari itu saya mengenakan jilbab.”
“Ini sebagai bentuk rasa syukur saya kepada Allah, selaku hamba yang kecil di mata-Nya.”
Masih banyak lagi motivasi lainnya. Macam-macam dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan alasan-alasan mereka enggan berjilbab.
Ada yang termotivasi sebab didasari oleh ilmu, iman dan taqwa yang terbaik, ada pula yang hendak menonjolkan eksistensi, ada pula karena ditimpa peristiwa yang menyentuh hati. Macam-macam.
Tetapi izinkan saya untuk menambahkan lagi sebuah alasan yang membuat kita semakin termotivasi untuk menyegerakan kewajiban berjilbab.
Berjilbab adalah salah satu cara bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik di mata Allah, menjadi wanita shalihah, bidadari dunia dan akhirat.
“Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Al-Qur’an Surat Al Waqiah ayat 22-23)
Mari berjilbab, jangan menunggu hati yang menjadi baik, tetapi jilbabkan diri, dengan perlahan hati akan menjadi baik, sebab hati tak berjendela, sedangkan percepatan dengan malaikat maut sungguhlah nyata.
Gerakan Menutup Aurat
World Hijab’s day
Entah… dari mana datangnya asal muasal kalimat ‘Jilbabin hati dulu, baru memakai jilbab’ seumpama wabah, hampir semua wanita yang belum berjilbab ketika diajak berjilbab pastilah memiliki senjata ampuh untuk menolaknya ‘Jilbabin hati dulu, baru memakai jilbab’.
Bisa jadi itu menjangkit dirimu atau bahkan diriku sendiri. Pernah suatu ketika menanyakan kepada teman-teman yang belum jua berjilbab. Ternyata ada saja alasan yang mengemuka.
Ada yang timbul sebab alasan keluarga, khawatir tidak dapat jodoh, lingkungan, tuntutan pekerjaan, diri sendiri, alasan emansipasi wanita dan masih banyak lagi.
Sebut saja Fulanah, saya tidak memakai nama siapa-siapa sebab khawatir akan melukai sang empunya nama, walau tak ada sedikit pun niat saya untuk menyakiti. Tetapi sudahlah, jangan dibahas terlalu panjang.
Ya! Sebut saja Fulanah, ia seorang wanita dengan paras yang cantik, sifat yang supel dan mudah bergaul, semua orang menyukai dan nyaman dengannya. Selain memiliki paras wajah yang cantik, kepandaiannya luar biasa, karirnya pun bagus. Sayang bila dilepaskan.
Saya memperhatikan lama mbak Fulanah ini, ketika ditanya mengapa enggan berjilbab. “Gerah.” Katanya. Tercengang mendengarnya? Tentu saja! Sebab, ia tumbuh dan besar di keluarga yang cukup kondusif untuk mengenakan jilbab.
Ada pula sering kudapati orang-orang yang kukenal sebelumnya berjilbab rapat menutup dada, begitu anggun terasa, setelah terjun ke dunia kerja mereka memendekkan jilbab mereka satu sama lain. Mengganti model yang tak syar’i, atau bahkan tidak memakai jilbab sama sekali. Na’udzubillahi min dzalik….
Ada pula seorang kenalan, shalatnya baik, ia pun hampir menjalankan seluruh perintah agama, tapi ia masih enggan berjilbab. Ketika ditanya, “Nanti, ah, saya belum siap berjilbab, mau jilbabin hati dulu, kalau hati sudah baik baru memakai jilbab.” Nah lho….!
Atau ada juga yang nyinyir berkata “Kita ini hidup di zaman modern, sudah saatnya emansipasi wanita, ditegakkan, mbak. Jilbab itu hanya membatasi gerak setiap wanita untuk berkarya.
Lihat mereka yang berjilbab, maksiat tetep jalan terus, kok. Malu-maluin agama aja. Lebih baik tidak berjilbab sekalian.”
Waduh…!
Ada pula yang berpendapat. “Masih perawan itu, jangan di jilbabin dulu, nanti enggak ada yang mau. Pakaiannya itu, lho! Kayak tukang sayur.”
Grrrrr…. Memangnya kita barang? Huh!
Alasan-alasan yang disebutkan di atas tentang mengapa banyak wanita yang enggan berjilbab, hanyalah sebagian kecil bila dibandingkan dengan alasan-alasan yang ada di kehidupan dunia nyata.
Padahal sudah jelas-jelas Allah Azza Wa Jalla memerintahkan kita semua muslimah untuk mengenakan jilbab, melalui firman-Nya di Al-Qur’an Surat An-Nur ayat 31:
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa (sesuai batas syar’i) tampak dari padanya. Hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suaminya atau ayah-ayahnya atau ayah suaminya atau putra-putrinya atau putra-putri suaminya atau saudara-saudaranya atau putra-putri saudara perempuannya atau wanita-wanita mukmin atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Janganlah mereka memukulkan kakinya agar dilihat perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
Kewajiban Berjilbab
Jilbab sendiri berasal dari bahasa Arab yang memiliki arti pakaian lapang, dapat menutup aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan.
Berjilbab sendiri bukanlah suatu pilihan, tidak menunggu siap atau tidak siapnya kita untuk memakai jilbab, tetapi berjilbab merupakan kewajiban, yang memiliki definisi harus dilaksanakan tanpa terkecuali ataupun dengan alasan apapun. Sebab, memakai jilbab sudah jelas-jelas di perintahkan di dalam Al-Qur’an:
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa (sesuai batas syar’i) tampak dari padanya….” (QS. An-nur: 31)
Dari keterangan firman Allah Azza Wa Jalla, di atas sudah sangat jelas menggambarkan perihal kewajiban menggunakan jilbab. Allah lah yang langsung memerintahkan memakai jilbab, bukan manusia atau siapapun.
“Hai manusia anak cucu Adam. Sesungguhnya Allah telah menurunkan pakaian untuk menutupi auratmu (berjilbab), untuk keindahan. Tetapi pakaian taqwa itulah yang paling baik. Semua itu adalah tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat (berfikir).” (Al Qur’an Surat Al-Araf: 26)
Pernah suatu ketika Asma’ binti Abu Bakar berkunjung kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan memakai pakaian tipis. Lalu Rasulullah berpaling daripadanya. Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Wahai ‘Asma sesungguhnya orang perempuan apabila sudah sampai umur haidh (umur baligh) tidak boleh dilihat padanya kecuali ini dan ini (sambil Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menunjukkan muka dan kedua telapak tangan.” (Hadits Riwayat Abu Daud)
Islam mengharamkan bagi perempuan memakai pakaian yang terlihat lekuk tubuh dan tipis sehingga nampak kulitnya. Termasuk di antaranya pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh khususnya tempat-tempat yang membawa fitnah. Kewajiban Berjilbab dalam Islam, tak lain dan tak bukan adalah untuk kebaikan muslimah itu sendiri. Memberikan identitas keislamannya, melindungi muslimah dari tindak kejahatan, mencegah perbuatan zina, memberikan keamanan, kenyamanan, serta ketenangan.
Sungguhlah berbeda dengan mereka yang belum berjilbab. Mereka akan terus merasa was-was, merasa tiada aman menemani, memicu datangnya kejahatan orang lain.
Lihatlah mereka para karyawati yang memakai rok mini, seringkali saya menemui mereka di angkutan umum, terlihat jelas ketidaknyamanan mereka. Duduk selalu gelisah, acapkali selalu menarik roknya agar menutupi bagian (maaf) pahanya yang terlihat. Namun apa daya, rok mini tetaplah rok mini, ditarik sekencang apapun ia tak akan tumbuh atau berubah menjulang menjadi lebih panjang.
Sungguhlah berbeda dengan para wanita yang berjilbab. Duduk seperti apapun selalu tampak nyaman dan tak gelisah, atau khawatir dengan mata-mata hidung belang yang mengintai. Minim sekali prosentase wanita berjilbab diganggu di jalan, seandainya pun di ganggu, gangguannya berupa doa dari ucapan salam.
Tak hanya dari sisi keamanan dan kenyamanan, wanita yang tidak berjilbab membuatnya menjauh dari nikmatnya bau surga, yang sesungguhnya apabila kita berjilbab mampu mencium bau surga itu umpama dengan jarak yang dekat.
Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam bersabda “Ada dua golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya itu: (1) Kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi (cemeti); (2) Perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, cenderung kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain berbuat maksiat, rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk surge, dan tidak akan mencium bau surga, padahal bau surge itu tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (Hadits Riwayat Muslim)
Jilbab Yang Sah Dipakai
- Busana menutupi seluruh tubuhnya selain yang dikecualikan
- Busana bukan untuk perhiasan kecantikan, tidak berbentuk pakaian aneh menarik perhatian dan tidak berparfum
- Tidak tipis dan sempit tampak bentuk tubuhnya
- Tidak menampakkan betis maupun kakinya
- Tidak menampakkan rambutnya walau sedikit dan juga tidak menampakkan lehernya
- Tidak menyerupai pakaian laki-laki dan pakaian wanita-wanita non muslim.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa menyerupai sesuatu kaum, maka dia itu dari golongan mereka.” (Hadits Riwayat Thabrani)
Kapankah Mengenakan Jilbab
Seiring berkembangnya teknologi membuat kita lebih mudah berkomunikasi dengan orang banyak. Di antaranya sosial media atau jejaring sosial. Mulai dari Facebook, twitter, yahoo messenger dan masih banyak lagi.
Di sini saya tidak akan membahas perkembangan teknologi, sebab artikel ini bukanlah artikel mengenai teknologi informasi, walaupun saya juga berprofesi sebagai pengajar teknologi informasi.
Namun, yang menjadi perhatian saya adalah, seringkali saya melihat pada photo-photo profile pengguna jejaring sosial, khususnya pada sebahagian orang yang saya ketahui bahwasanya mereka sebenarnya telah berjilbab.
Banyak di antara mereka yang masih memasang foto-foto mereka ketika belum mengenakan jilbab, atau foto-foto saat tidak mengenakan jilbabnya, padahal mereka sudah berjilbab.
Sobat muslimah kecintaan Allah, ketika kita menjalankan kewajiban berjilbab, maka sesungguhnya kita tak boleh memperlihatkan aurat kita pada siapapun kecuali pada mahram kita. Baik itu hanya photo yang terpasang pada jejaring sosial atau Smartphone sekalipun. Itu semua demi menjaga kehormatan, dan kesahajaan kita sebagai wanita berjilbab, yang utama karena itu perintah Allah Azza Wa Jalla.
Saat-saat wanita wajib mengenakan jilbabnya:
- Ketika keluar dari rumahnya
- Menerima kehadiran orang laki-laki yang bukan mahramnya di rumahnya
- Berada ditempat umum
- Jilbab boleh dilepas jika ia berada di rumahnya, itupun jika di sekelilingnya adalah mahramnya.
Jilbab Bentuk Emansipasi Wanita
Mereka kaum feminis yang selalu nyinyir akan kewajiban berjilbab dalam Islam, tak akan henti untuk terus meneriakkan paham feminisme mereka. Mulai dari isu kesetaraan gender, lalu isu bahwa jilbab adalah gambaran terkurungnya kebebasan wanita, jilbab adalah bentuk ketertinggalan wanita, dan masih banyak sisi-sisi negatif yang mereka sebarkan mengenai jilbab dan Islam.
Agaknya mereka mesti banyak-banyak membaca sejarah, betapa ajaran Islam salah satunya yakni perintah mengenakan jilbab telah mengangkat derajat kaum wanita. Lihat saja, pada zaman jahilliyah dahulu, sebelum Islam datang pada masa itu. Banyak wanita-wanita diperlakukan layaknya aib yang wajib diperbudak, ditutup-tutupi, bahkan dimusnahkan.
Bukan menjadi rahasia umum atau menjadi hal yang baru lagi pada masa itu, seorang wanita dibunuh maupun diperbudak. Dicatat ya… itu terjadi sebelum datangnya Islam.
Pernah dengar kisah mengenai Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam? Ya! Kisah yang paling terkenal dari Umar bin Khattab sebelum ia masuk Islam adalah kisahnya mengubur bayi perempuannya sendiri secara hidup-hidup karena menganggap bayi perempuannya adalah aib yang memalukan.
Perbuatan seperti itu ternyata tidak hanya dilakukan oleh Umar seorang, pada masa itu perbuatan keji seperti itu bukanlah menjadi hal yang tabu lagi.
Kemudian turunlah Islam, dengan kemuliaan Islam lah, diangkatnya derajat wanita. Di aturlah bahwa wanita dan pria memiliki hak yang sama. Sama-sama memiliki hak untuk hidup, hak untuk merasakan keamanan, kenyamanan, mengenyam pendidikan dan masih banyak lagi.
Subhanallah… begitulah Islam mengatur dengan indah. Kita dapat merasakannya hingga saat ini, bukan? Jadi sangatlah berdusta apabila jilbab adalah lambing kemunduran seorang wanita. Lihatlah Aisyah Radhiallahu ‘anhu, ia merupakan cerminan muslimah yang taat beragama serta cerdas luar biasa.
Karena Hati Tak Berjendela
“Nanti dulu deh, jilbabin hati dulu, setelah itu baru memakai jilbab”
Kalimat seperti di atas lah yang sering membuat kita menunda-nunda atau lalai menjalankan perintah-Nya. Menunda-nunda melakukan kebaikan, berarti menunda-nunda pula menuai hasil yang baik, bahkan tidak akan mendapatkan kesempatan sama sekali.
Alkisah ada dua orang kaya raya, kita sebut saja dengan sebutan si A dan si B agar lebih netral dan tak menyinggung siapa-siapa. Sebut saja si A memiliki rumah yang sedemikian mewahnya. Ada tiga tingkat. Setiap tingkat memiliki harta benda yang tak kalah mewah di dalamnya. Nilainya pun tak tanggung-tanggung, mencapai ratusan triliyunan rupiah.
Apa yang akan kau lakukan ketika pemilik rumah itu adalah dirimu, kawan? Tentu kau akan bersusah payah memberi perlindungan ekstra. Jangankan rumah mewah, bahkan rumah ukuran kontrakan kecil saja masih membutuhkan gembok dan kunci untuk melindungi isi rumah.
Kemudian sang pemilik rumah mempekerjakan puluhan satuan pengaman, tak cukup sampai di situ, setiap sudut rumah pun dipasangi cctv, alarm deteksi bahaya dipasang di mana-mana. Kuncinya pun kualitas satu. Dan tak lupa adalah rumah tersebut memiliki jendela, pintu serta gerbang. Harta di dalamnya terjaga sedemikian rupa.
Beda dengan cerita orang kaya yang kita juluki si A, si B ini walaupun sama kaya nya dengan si A, namun lama-lama si B bangkrut jua. Sebab, harta-harta yang ia miliki setiap waktu mampu di bobol maling. Mengapa demikian? Sebab, jangankan penjaga! Kunci, alarm, maupun cctv, bahkan selidik punya selidik rumah si B ini tidak berpagar, berjendela bahkan berpintu. Jadi para pelaku kriminal seperti maling, garong pun dengan mudah dan santai memasuki rumah si B.
Hati manusia ibarat harta yang berada di dalam rumah. Bagaimana mungkin ingin melindungi dan menjaga harta yang ada di dalam rumah, jikalau rumahnya saja tidak berpagar, tidak berpintu bahkan tidak berjendela.
Sama seperti berjilbab, bagaimana mungkin kita ingin menjilbabi hati, melindungi dan menjaga hati dari perbuatan maksiat kalau kita sendiri belum melindungi dan membentenginya dari luar dengan berjilbab?
Now! Kenakan Jilbabmu
“Adem lihatnya, mbak.”
“Saya ingin lebih dekat dengan Allah.”
“Saya sedari kecil sudah mengenyam di pesantren.”
“Saya anak kyai, mbak.”
“Saya sekolah di lingkungan Islami, jadi dari awal sudah berjilbab.”
“Karena jilbab itu perintah Allah, sifatnya wajib, maka dari itu saya mengenakan jilbab.”
“Ini sebagai bentuk rasa syukur saya kepada Allah, selaku hamba yang kecil di mata-Nya.”
Masih banyak lagi motivasi lainnya. Macam-macam dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan alasan-alasan mereka enggan berjilbab.
Ada yang termotivasi sebab didasari oleh ilmu, iman dan taqwa yang terbaik, ada pula yang hendak menonjolkan eksistensi, ada pula karena ditimpa peristiwa yang menyentuh hati. Macam-macam.
Tetapi izinkan saya untuk menambahkan lagi sebuah alasan yang membuat kita semakin termotivasi untuk menyegerakan kewajiban berjilbab.
Berjilbab adalah salah satu cara bagi kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik di mata Allah, menjadi wanita shalihah, bidadari dunia dan akhirat.
“Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Al-Qur’an Surat Al Waqiah ayat 22-23)
Mari berjilbab, jangan menunggu hati yang menjadi baik, tetapi jilbabkan diri, dengan perlahan hati akan menjadi baik, sebab hati tak berjendela, sedangkan percepatan dengan malaikat maut sungguhlah nyata.
lll
Gerakan Menutup Aurat
World Hijab’s day