Hukum Pembajakan dan Barang Bajakan

Share to :

alhikmah.ac.id – Pelanggaran terhadap hak cipta dalam bidang ilmu, seni dan sastra, kreasi dan inovasi teknologi (intellectual property) pada prinsipnya merupakan tindakan kriminal sebagaimana pelanggaran hak milik orang lain pada umumnya. Pelanggaran pada hak cipta sudah tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, tidak hanya menimpa kepada para pemegang hak cipta (pengarang, penerbit, pencipta musik/lagu, perusahaan produser rekaman dan film, dan lain-lain) yang menghambat semangat kreasi dan ide, melainkan juga negara yang dirugikan, karena tidak memperoleh pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajak tersebut.

Pembajakan terhadap intellectual property dapat mematikan gairah kreativitas para pencipta ide, kreasi dan inovasi untuk berkarya, yang sangat diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa dan akselerasi pembangunan negara. Demikian pula pembajakan terhadap hak cipta dapat merusak tatanan sosial, ekonomi dan hukum di negara kita. Karena itu tepat sekali diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di berbagai bidang.

Namun di dalam pelaksanaan ketentuan perundangan terkait hak cipta di Indonesia masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak cipta. Berdasarkan laporan dari berbagai asosiasi profesi yang berkaitan erat dengan hak cipta di bidang buku dan penerbitan, musik dan lagu, film dan rekaman video, dan komputer, bahwa pelanggaran terhadap hak cipta masih tetap berlangsung; bahkan semakin meluas sehingga sudah mencapai tingkat yang membahayakan dan mengurangi kreativitas untuk mencipta, serta dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Dengan diklasifikasikannya pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindakan pidana, berarti bahwa tindakan-tindakan negara terhadap para pelanggar hak cipta tidak lagi semata-mata didasarkan atas pengaduan dari pemegang hak cipta. Tindakan negara akan dilakukan baik atas pengaduan pemegang hak cipta yang bersangkutan maupun atas dasar laporan/informasi dari pihak lainnya. Karena itu aparatur penegak hukum diminta untuk bersikap lebih aktif dalam mengatasi pelanggaran hak cipta itu.

Hak Cipta Menurut Pandangan Islam

Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mewajibkan penyebarluasan ilmu dan ajaran agama seperti dalam Surat Al-Maidah ayat 67 dan Yusuf ayat 108. Dan di samping itu terdapat pula beberapa ayat yang melarang (haram), mengutuk dan mengancam dengan azab neraka pada hari akhirat nanti kepada orang-orang yang menyembunyikan ilmu, ajaran agama, dan mengkomersialkan agama untuk kepentingan dunia kehidupan duniawi, seperti dalam surat Ali Imran ayat 187; Al- Baqarah ayat 159-160; dan ayat 174-175.

Kelima ayat dari surat Ali Imran dan Al-Baqarah tersebut menurut historisnya memang berkenaan dengan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Namun sesuai dengan kaidah hukum Islam “yang dijadikan pegangan adalah keumuman lafalnya (redaksi), bukan kekhususan sebabnya.”

Maka peringatan dan ketentuan hukum dari kelima ayat tersebut di atas juga berlaku bagi umat Islam. Artinya, umat Islam wajib menyampaikan ilmu dan ajaran agama (dakwah Islamiyah) kepada masyarakat dan haram menyembunyikan ilmu dan ajaran agama, serta mengkomersilkan agama untuk kepentingan duniawi semata (Vide Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. II/ 51)

Demikian pula terdapat beberapa hadits yang senada dengan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di atas, antara lain hadits Nabi riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dari Abu Hurairah ra.: “barang siapa ditanyai tentang sesuatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diberi pakaian kendali pada mulutnya dari api neraka pada hari kiamat.”

Yang dimaksud dengan ilmu yang wajib dipelajari (fardhu ‘ain) dan wajib pula disebarluaskan ialah pokok-pokok ajaran Islam tentang aqidah, ibadah, muamalah dan akhlaq. Di luar itu, hukumnya bisa jadi fardhu kifayah, sunnah atau mubah, tergantung pada urgensinya bagi setiap individu dan umat (al-Zabidi, Taisirul Wusul ila Jami’ al-Ushul, vol. III, Cairo, Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1934, hlm. 153)

Mengenai hak cipta seperti karya tulis, menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya. Sebab karya tulis itu merupakan hasil usaha yang halal melalui kemampuan berfikir dan menulis, sehingga karya itu menjadi hak milik pribadi. Karena itu karya tulis itu dilindungi hukum, sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapapun yang berani melanggar hak cipta seseorang. Misalnya dengan cara pencurian, penyerobotan, penggelapan, pembajakan, plagiat dan sebagainya.

Islam sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat, sebab itu termasuk amal saleh yang pahalanya terus menerus bagi penulisnya, sekalipun ia telah meninggal, sebagaimana dalam hadits Rasul riwayat Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah ra.: “apabila manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya, kecuali tiga, yaitu sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan dia.”

Karena hak cipta itu merupakan hak milik pribadi, maka agama melarang orang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) memfotokopi, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk bisnis. Demikian pula menerjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya, juga dilarang, kecuali dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberi hak untuk menerbitkannya.

Perbuatan meng-copy, mencetak, menerjemahkan, menduplikasi, memperbanyak, memodifikasi dan sebagainya yang bermotif komersial terhadap karya/produk seseorang atau suatu pihak tanpa izin pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau yang diberi wewenang oleh penulisnya, merupakan perbuatan tidak etis dan zhalim yang dilarang oleh Islam. Sebab perbuatan semacam itu bisa termasuk kategori pencurian dan men-ghasab hak orang lain ataupun penggelapan dan penipuan dalam konteks melanggar amanat/perjanjian kesepakatan antara para pihak terkait.

Adapun dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di atas antara lain:

1. al-Qur’an Surat Al-Baqoroh:188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil….”

2. Hadits Nabi riwayat Daruqutni dari Anas (hadits marfu’): “tidak halal harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.”

3. Hadits Nabi: “Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’. Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah dizhalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizhalimi itu ditransfer kepada si zhalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”

Ayat dan kedua hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak memakai/menggunakan hak orang lain, dan tidak pula mengkonsumsi ataupun memanfaatkan harta orang lain, kecuali dengan persetujuan dan kerelaannya. Pelanggaran terhadap hak orang lain termasuk hak cipta juga bisa termasuk ke dalam kategori muflis, yakni orang yang bangkrut amalnya nanti di akhirat.

Islam menghormati hak milik pribadi, namun hak milik pribadi itu juga memiliki dimensi sosial dan lingkungan, karena hak milik pribadi maupun perusahaan pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang diamanahkan kepada seseorang atau suatu perusahaan. Karenanya, karya, produk, inovasi dan kreasi itu pun harus dapat dimanfaatkan oleh umat manusia baik melalui transaksi komersial yang terjangkau maupun charity yang bersifat sosial, tidak boleh dirusak, disembunyikan, maupun dimonopoli oleh pemilik dan pembuatnya. Karena universalitas dimensi kesosialan tersebut dalam ketentuan Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, perusahaan wajib menunaikan tanggungjawab sosial dan lingkungan baik melalui pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) maupun zakat perusahaan ataupun pemegang saham. Selain itu, dalam penentuan tarif dan harga penjualan produk dan jasa terkait hak cipta tersebut juga harus berasaskan keadilan Islam bukan semangat kapitalisme yaitu dengan mempertimbangkan aspek keterjangkauan masyarakat dan social benefit selain commercial benefit.

Hal tersebut adalah sangat baik dan terpuji untuk dilakukan secara komit oleh perusahaan dan pribadi pemegang hak cipta sebagai kesadaran sosial dan lingkungan selain juga menekan kecenderungan masyarakat kepada pembajakan dan barang bajakan jika disparitas harga barang yang original dan bajakan tidak terlalu jauh. Wallahu A’lam Wabillahit Taufiq Wal Hidayah. (dkw)

download

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter