alhikmah.ac.id – Risalah Islam membawa rahmat bagi semesta alam dengan menanamkan jiwa harapan dan optimisme bagi setiap insan dalam kondisi apapun. Semangat inilah yang menyelimuti pesan dan petunjuk beliau tentang pengobatan sebagaimana dirangkum oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Zadul Ma’ad (Juz IV) yang dikenal dengan At-Thibb An-Nabawi (Pengobatan Nabi). Di antaranya sabda beliau: “Setiap penyakit ada obatnya, maka jika obat telah mengenai penyakit maka akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla” (HR. Muslim) “Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali telah menurunkan untuknya obat yang diketahui oleh orang yang mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang yang tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad)
Ketika umat Islam salah paham tentang takdir dengan kepasrahan fatalis tanpa usaha sehingga mereka bertanya kepada Nabi apa perlu berobat bila datang takdir sakit, beliau menjawab: “Ya. Wahai hamba-hamba Allah, berobatlah, karena Allah ‘Azza wa Jalla tidak menaruh penyakit kecuali menaruh padanya obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu kerentaan.” (HR. Ahmad) Demikian pula Abu Khizamah menanyakan kepada Nabi tentang ruqyah (bacaan doa dan al-Qur’an) untuk menyembuhkan, obat-obatan untuk berobat dan pelindung untuk pengamanan apakah semua itu dapat menolak takdir Allah, maka beliau menjawab bahwa semua ikhtiar itu juga termasuk takdir Allah.
Dalam sebuah kisah diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim pernah menanyakan kepada Allah dari mana asalnya penyakit dan obat, dijawab oleh Allah “dari-Ku”, Nabi Ibrahim menanyakan, “Lalu bagaimana dengan seorang dokter/tabib?” maka Allah menjawab: “Ia hanyalah seorang perantara yang dikirimkan melalui tangannya suatu obat” Oleh karena itu siapapun yang memberi obat, itu bukan masalah. Bisa saja dokter, tabib, sinshe ataupun ahli pengobatan tradisional dan lainnya. Yang penting, misinya pengobatan dan tercapainya kesembuhan. Kita bisa pilih sendiri mana yang berkenan di hati kita, sebab obat mereka masing-masing biasanya berbeda, asalkan tidak mengandung bahan-bahan yang najis, haram ataupun membahayakan serta cara-cara yang haram. Rasulullah berpesan: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit sekaligus obat, dan telah menciptakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud)
Biasanya, praktek dokter yang banyak diatur secara ketat dalam kode etik dan peraturan resmi untuk melindungi pasien meskipun demikian tidak jarang terjadi mal praktek karena berbagai faktor, tetapi tidak demikian praktik pengobatan lainnya yang begitu rawan, riskan, kurang terukur dan teruji secara klinis dan medis. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian ekstra untuk berobat kepada selain kepada dokter. Betapa banyaknya paranormal, dukun, oknum yang dianggap ‘orang pintar’, ahli pengobatan alternatif, tempat bersyariat dan sebagainya yang sebenarnya penipu dengan berkedok sakti, keramat, dan mujarab serta dalam iklan maupun opini yang digetoktularkan mentahbiskan dirinya mampu mengobati berbagai macam penyakit dengan cara-cara yang ghaib, supranatural atau dengan tenaga batin (baca; sihir), mantera, jampi, jimat, hipnotis, magic, hawa murni aura dan lain sebagainya yang tidak ada sangkut pautnya dengan ilmu kedokteran, meskipun ada sementara mereka setelah semua sesumbar itu mencatut nama Allah dengan kiat klise untuk berkelit ataupun menuansakan kesan agamis “dengan izin Allah” .
Berobat dengan cara ghaib, ajaib dan supranatural ini memang biasanya mudah menyeret masyarakat awam kepada kemusyrikan. Hampir semua dukun dan paranormal memakai kedok agama, dengan menekankan pada yang berobat bahwa yang memberi kesembuhan hanyalah Allah. Kesesatan model begini tidak dilakukan oleh dokter. Tidak jarang dukun meminta syarat atau imbalan berupa sesajen, misalnya meminta agar yang berobat menyembelih ayam putih atau hitam, membawa telur ayam, menaburkan bunga dan keanehan-keanehan lainnya serta berbagai pantangan dan petuah sakral yang hukumnya jelas-jelas haram.
Rasulullah bersabda: “Bukanlah dari golongan kami, seorang yang menggunakan petunjuk setan atau burung dan sebagainya, atau praktek sihir untuk menerka nasib, jodoh, penyakit dan obatnya. Maka barangsiapa mendatangi seorang dukun yang melakukan praktek-praktek demikian lalu ia percaya akan keterangannya, orang ini adalah orang yang telah mendustakan, dan tidak percaya dengan apa-apa yang diwahyukan kepada Muhammad saw”.
Ibnu Abbas mengomentari tentang orang-orang yang menggunakan ilmu huruf (rajah) dan ilmu nujum untuk mengetahui ilmu ghaib bahwa mereka itu tidak akan menemui nasib yang baik kelak di sisi Allah. Hal itu biasanya para ‘orang pintar’ yang mentahbiskan dirinya (secara lisan maupun perbuatan) mampu menyembuhkan segala penyakit menganggap seakan dirinya suci dan kuasa meskipun diembel-embeli dengan izin Allah. “Janganlah kamu melagak-lagakkan dirimu orang suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang lebih bertaqwa.” (QS. An-Najm:32).
Seorang muslim yang kuat imannya tidak akan mungkin tergoda untuk penasaran dan tergoyahkan oleh kepercayaan yang sesat kepada ‘kemampuan’ dukun ataupun paranormal. Sebab, seorang yang beriman kuat justru sebaliknya akan berharap dan berlindung hanya kepada Allah serta memohon keselamatan dan pertolongan hanya kepada-Nya sambil tetap optimis dan berikhtiar dengan cara-cara yang sudah ditentukan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, berobat dengan cara yang lazim dan wajar sesuai ketentuan syariah, serta tidak menempuh jalan pintas melalui cara-cara ghaib dan supranatural yang aneh-aneh dan sesat itu.
Banyak hadits yang melarang kaum muslimin melakukan pengobatan dengan tamaim (tamimah), yaitu suatu jimat, isim, atau benda apapun yang digantungkan pada seseorang untuk mengusir jin, penyakit mata, gangguan ghaib, sawan dan lain-lain. Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan tiwalah (guna-guna, susuk atau pelet) adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi dan Hakim)
Pengobatan yang sering dilakukan paranormal dengan rapalan, bacaan, mantera, dan komat-kamit lainnya sambil kadangkala memegang bagian tertentu pasien ataupun juga kadang dilakukan dari jarak jauh, maka jampi-jampi dan bacaan-bacaan semacam ini terlarang hukumnya terutama yang tidak dimengerti artinya. Hal itu berbeda dengan pengobatan ala sunnah yang dilakukan dengan bacaan yang dapat dimengerti artinya dan berasal dari al-Qur’an ataupun hadits Nabi (ma’tsur dari Nabi) apa yang lebih sering dikenal sebagai metode ruqyah maka hal itu justru hukumnya sunnah dan terpuji tanpa meninggalkan pengobatan klinis dan medis, seperti doa atau bacaan yang beliau ajarkan: “Ya Allah Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit ini, sembuhkanlah, (karena) Engkaulah Maha Penyembuh. Tidak ada penawar kecuali penawar-Mu, penawar yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Para ulama mengatakan bahwa bacaan pengobatan atau jampi-jampi yang diperbolehkan syariah harus memenuhi tiga syarat. Pertama, dengan menyebut nama Allah Ta’ala. Kedua, dengan bahasa Arab atau bahasa lainnya yang dapat dipahami maknanya, Ketiga, dengan keyakinan bahwa jampi-jampi itu tidak berpengaruh kecuali dengan takdir Allah Ta’ala dan tidak menjerumuskan kepada syirik.
Pengobatan alternatif dan konsultasi supranatural melalui jimat-jimat yang digantungkan ataupun dikenakan sebagai penangkal, penghilang penyakit atau pembawa berkah dan perlindungan, dan sebagainya, semuanya dilarang oleh Islam, sebab hal itu telah melakukan syirik dan bergantung kepada benda. Ketika sebuah rombongan yang terdiri dari sepuluh orang menghadap Nabi saw untuk berbaiat kepada beliau dan menyatakan masuk Islam, lalu beliau membaiat yang sembilan orang dan menahan yang seorang. Ketika ditanya mengapa menahan yang seorang, beliau menjawab, “di pundaknya terdapat jimat.” Kemudian laki-laki itu memasukkan tangannya ke dalam bajunya dan memotong jimatnya. Setelah itu baru Rasulullah mau membaiatnya, seraya bersabda: “Barang siapa yang menggantungkan jimat, berarti ia telah melakukan perbuatan syirik.” (HR. Ahmad dan Hakim). Artinya, menggantungkan jimat dan hatinya bergantung kepadanya berarti berbuat syirik.
Demikian pula ketika Nabi saw melihat gelang kuningan di pangkal lengan seseorang, beliau mempertanyakannya, “Apa ini?” orang itu menjawab, “saya memakai ini karena terserang penyakit di pundak saya sebagai jimat.” Kemudian beliau bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya jimat itu hanya menambah lemah tubuhmu, karena itu buanglah segera! Sebab jika engkau mati sedang jimat itu masih menempel di tubuhmu, engkau tidak akan beruntung sama sekali.” (HR. Ahmad)
Para sahabat juga sangat membenci jimat, sehingga ketika melihat seorang laki-laki yang menggantungkan benang sebagai jimat, Hudzaifah membacakan ayat: “Dan kebanyakan mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf:106) Sa’id bin Jubair berkata: “Barangsiapa yang melepaskan satu jimat dari leher seseorang, maka (pahalanya) seperti memerdekakan seorang budak.” Ibrahim An-Nakha’i, tokoh generasi tabi’in berkata: “Para sahabat membenci semua bentuk jimat (isim dan lainnya), baik yang Al-Qur’an maupun bukan dari Al-Qur’an..”
Memang, masih ada beberapa ulama yang memperbolehkan penggunaan jimat bila berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an meskipun sebagian besar ulama tetap melarangnya dan pendapat mayoritas ulama yang mengharamkan penggunaan segala bentuk jimat termasuk dari jimat dari ayat al-Qur’an adalah yang lebih kuat alasannya berdasarkan dalil-dalil di antaranya bahwa: 1. Hadits-hadits yang melarang tamaim (jimat-jimat) itu bersifat umum, tidak membedakan antara berbagai jenis tamaim. Ketika menolak seseorang yang memakainya, Nabi saw tidak menanyakan padanya apakah jimatnya itu dari ayat Al-Qur’an atau tidak. 2. Pelarangan mutlak itu lebih logis sebagai upaya antisipasi (saddan lidzdzari’ah) kemungkinan makin meluasnya penggunaan jimat yang dapat menjerumuskan kepada syirik. Sebab orang yang menggantungkan Al-Qur’an menjadi jimat suatu saat akan menggantungkan benda lain sebagai jimat pula. Sehingga orang lain tidak tahu apakah jimat yang dipakainya dari Al-Qur’an atau bukan. 3. Perbuatan seperti sama dengan merendahkan dan menghinakan Al-Qur’an secara materi maupun maknawi, karena orang yang memakainya akan membawanya ke tempat-tempat najis, tempat buang hajat, dalam kondisi jenabat, atau digunakan oleh wanita haidh di samping merendahkan fungsi al-Qur’an untuk dibaca, diamalkan dan diajarkan guna memberi petunjuk manusia dan bukan dieksploitasi fisik dan materi tulisannya untuk kepentingan duniawi dan jasmani.
Karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa semua jimat itu terlarang sangat tepat. Bahkan Nabi saw telah menyumpah orang-orang yang memakai jimat dalam doanya: “Barang siapa yang menggantungkan jimat, mudah-mudahan Allah tidak menyempurnakan urusannya; dan barang siapa yang menggantungkan benda keramat (sebagai penangkal), mudah-mudahan Allah tidak memberi perlindungan kepadanya.”
Nabi saw justru menekankan pada pengobatan fisik dan terapi medis secara natural dan bukan menganjurkan pengobatan alternatif supranatural dengan sabdanya: “Sesungguhnya penawar itu ada tiga perkara: minum madu, berbekam dan menempelkan besi panas pada bagian yang sakit.” (HR. Bukhari) Beliau tidak menyebutkan pengobatan dengan jimat atau jampi, beliau justru hanya menyebutkan hal-hal yang alamiah (natural). Pengobatan natural tersebut bisa melalui metode obat dalam melalui mulut, seperti madu, yang sekarang dapat berupa injeksi atau sejenisnya, metode berbekam (mengeluarkan darah) yang sekarang bisa diwujudkan dengan operasi dan metode menempelkan besi panas pada bagian yang sakit, yang sekarang bisa dengan sistem penyinaran.
Semua pengobatan natural seperti itu dianjurkan oleh Islam dan disyariatkan oleh Rasulullah. Kalau sedang menderita sakit beliau juga berobat seperti berbekam atau memanggil tabib. Demikian pula para sahabat dan generasi sesudahnya. Jadi, yang lebih utama bagi kita ialah mengikuti sunnah Rasulullah saw dan menjauhi cara-cara yang bertentangan dengan syariah apalagi semua itu rekayasa para penipu untuk mengeruk keuntungan dari orang-orang yang menderita dengan dalih jasa sosial. Adapun dalam kasus tertentu ternyata pengobatan alternatif dapat menyembuhkan suatu penyakit, maka seharusnya kita lebih percaya kepada ketentuan Allah dalam pengobatan melalui lisan Rasul-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhan kamu dalam hal yang diharamkannya.” (HR. Bukhari)
Kemanjuran dan kenyataan empirik ataupun pengalaman nyata sesuatu tidak otomatis menjadi bukti kebenarannya, sebab hal itu boleh jadi merupakan ujian iman, istidraj (perangkap Allah bagi orang-orang yang dimurkai-Nya melalui keberhasilan), atau sebenarnya hal itu karena sugesti, obsesi, atau ilusi dan bukan sesuatu yang hakiki. Hal itu sebagaimana pengalaman empiris sebelumnya dari beberapa sahabat yang menggunakan khamer untuk diminum sebagai pengobatan, maka nabi melarangnya dengan menegaskan: “Sesungguhnya ia bukannya obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi) Bahkan dalam riwayat lain Nabi justru mendoakan orang yang melakukan pengobatan haram tersebut agar Allah tidak menyembuhkannya.(HR.As-Suyuthi)
Dengan demikian, jika orang yang dianggap pintar tersebut sebenarnya adalah orang shalih, taat ibadah, aqidahnya lurus dan tidak komersial serta pengobatannya sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, maka hal itu dibolehkan dengan tetap meyakini bahwa yang memberikan kesembuhan adalah Allah melalui perantaraan doa ikhlas dari orang shalih maupun diri sendiri berdasarkan doa dan ayat-ayat al-Qur’an. Namun sebaliknya jika pemberi jasa pengobatan alternatif atau yang dikenal dengan ‘orang pintar’ adalah tidak shalih dalam ibadah maupun akhlaq dan diragukan aqidah serta keterbebasannya dengan dunia syirik ataupun jin, meskipun ia memberikan bacaan doa ataupun ayat al-Qur’an maka hukumnya haram. Dalam hal berlaku untuk semua jenis pengobatan alternatif termasuk masalah pengobatan santet dan sihir. Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah. (dkw)