alhikmah.ac.id – Dalam paradigma kaum relativis, iman cenderung disempitkan makanya pada masalah hati saja. Sehingga, agama dikerdilkan pada soal pribadi dan dogma belaka. Ilmu pengetahuan tidak masuk ke dalam kajian agama. Seperti pernyataan Sigmund Freud bahwa, agama adalah takhayul. Sehingga sudah semestinya disingkirkan untuk diganti dengan pemikiran dan pengetahuan. Ia mengatakan, “Karena peradaban manusia sudah mencapai usia dewasa, maka sudah saatnya untuk menyingkirkan agama dan kemudian menggantinya dengan bentuk pemikiran yang dewasa” (Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif, hal. 109).Inilah epistemologi sekular. ‘Mengharamkan’ kaitan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu pemikiran orang sekuler tidak menjadikan agama sebagai sumber kebenaran mutlak. Sebabnya, agama diyakini dogma yang berisi keyakinan yang tidak bisa dijangkau oleh pancaindera. Akhirat, pahala, siksa dan lain sebagainya hanyalah dogma belaka. Pada tingkatan yang ekstrim, orang sekuler sampai berkeyakinan bahwa perkara-perkara ghaib tersebut adalah ilusi, yang tidak mungkin menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Sementara, dalam sistem pengetahuan Islam, antara perilaku, jiwa, ilmu dan iman saling terkait. Ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sarat nilai. Kekeliruan yang terjadi dalam sekelompok umat Islam disebabkan oleh kerusakan ilmu, dimana itu bersumber dari kekeliruan iman. Kegentingan umat Islam oleh al-Attas dikatakan karena problem ilmu. Masalah-masalah yang terjadi dalam diri kaum muslimin dan kerusakan jiwa sesungguhnya diakibatkan oleh kekurangan ilmu dan kekurangan iman (Syed M. Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 5).
Karena itu, orang yang bertambah ‘informasi pengetahuannya’, namun tidak bertambah imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah kecuali dia akan makin jauh dari Allah swt.” (HR. al-Dailami). Beriman mensyaratkan untuk berilmu. Seperti firman Allah swt, “Hanya orang-orang berilmu (ulama’) yang betul-betul takut kepada Allah.” (QS. Al-Fathir: 28).
Karena itu, yang dinamakan al-din (agama Islam) adalah gabungan antara iman, Islam, ilmu pengetahuan, dan amal sholeh merupakan bagian yang tak terpisahkan (Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat, hal.55).
Iman, menurut al-Attas lebih dari ilmu. Yang namanya beriman adalah usaha melaksanakan amanah yang dibebankan kepada manusia sebagai perintah Tuhan kepadanya, bukan sekedar ikrar dengan lisan. Tapi harus mengakui kebenaran (tasdiq) dengan hati dan melaksanakan amalan. Pengakuan kebenaran ini dikenal seorang Muslim melalu ilmu. Kejahilan tidak mampu mengetahui kebenaran (Syed M. Naquib al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengamalannya dalam Islam, hal. 6).
Karena itu, ilmu dalam Islam berdimensi duniawi dan ukhrawi. Ilmu itu merangkum keyakinan dan kepercayaan yang benar (iman) (al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal.105). Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan dan keadilan kepada manusia, sebagai manusia dan diri pribadi dalam rangka mencari ridla Allah dan meraih kebahagiaan (sa’adah) di akhirat.
Orang disebut berilmu — dalam pandangan Islam — jika ia memandang segala segi kehidupan baik fisik maupun metafisik dengan ilmu. Sekalipun seseorang itu pandai, menyimpan informasi banyak dalam pikiran, akan tetapi jika ia tidak mengenal hakikat diri, tidak mengamalkan ilmunya, tidak beriman dan tidak berakhlak, maka tidak bisa disebut orang berilmu.
Dari sisi ontologis, Tuhan merupakan aspek sentral dalam ilmu pengetahuan Islami. Pengetahuan Tuhan yang absolut ini dibutuhkan ketika indera dan akal manusia tidak mampu menerjemahkan realitas non-fisik. Maka di sini diperlukan pemahaman tentang konsep Tuhan yang benar.
Pemahaman yang keliru tentang konsep Tuhan beserta aspek-aspek teologis lainnya berimplikasi terhadap epistemologi. Jika Tuhan yang diyakini itu hanya aspek transenden saja yang memiliki sifat abolut, sedangkan Tuhan itu tidak immanen, maka tidak akan menghasilkan apa-apa terhadap ilmu pengetahuan Islam. Sebab, Tuhan diyakini tidak lagi berhubungan dengan realitas empirik di dunia dan pengetahuan social dan empiris.
Secara aksiologis, pemahaman tentang konsep Tuhan, wahyu, agama dan lainnya dijadikan sebagai sumber nilai. Sistem nilai tidak diambil dari pengalaman manusia atau fenomena sosial yang selalu berubah-ubah. Nilai dalam Islam tidak ‘on going proses’. Ia bersifat tetap dan harus termanifestasikan dalam setiap kerja-kerja ilmiah. Sehingga, Ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan harus memiliki visi nilai. Nilai ini membimbing ilmuan dari kedzaliman. Ia mengontrol kerja-kerja ilmiahnya dari tujuan dasar dari berpengetahuan adalah untuk kebahagian dunia akhirat.
Karena teologi mengimplikasikan epistemologi, maka teologi beserta aspek-aspeknya mempengaruhi proses berpikir seorang ilmuan. Teologi yang benar akan menghasilan sistem epistemologi yang tepat pula sesuai dengan nilai Islam.
Wahyu Allah swt yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah surat al-‘Alaq: 1-5 merupakan gambaran jelas bahwa Allah swt sebagai al-Khaliq mengajari manusia tentang apa yang tidak diketahui mereka. Pelajaran pentingnya adalah ketika kita membaca (berilmu pengetahuan) hendaklah didasarkan kepada Allah (iqra’ bismirabbikalladzi khalaq).
Imam al-Ghazali membagi orang menuntut ilmu menjadi tiga.
Pertama, belajar semata-mata karena ingin mendapat bekal menuju kebahagiaan akhirat.
Kedua, belajar dengan niat mencari kemuliaan dan popularitas duniawi.
Ketiga, menuntut ilmu sebagai sarana memperbanyak harta (Abu Hamid al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, hlm.6).
Golongan pertama merupakan golongan selamat sedangkan tipe kedua dan ketiga termasuk berpotensi menjadi pemimpin dan ilmuan yang dzalim karena dilaknat oleh Allah swt.
Golongan pertama termasuk penuntut ilmu yang memahami konsep ilmu dengan benar, niatannya berilmu untuk menghilangkan kejahilan agar mendapat ridla Allah swt. Keilmuannya diamalkan demi kemaslahatan umat, kebahagiaan akhirat bukan untuk kenikmatan duniawi belaka.
Berkaitan dengan itu, disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, semuanya harus menjadikan akidah sebagai asas dasarnya. Sains Islam adalah sains yang secara epistemologis menjadikan akidah sebagai pondasi dalam pembelajarannya. Belajar ilmu kedokteran, ekonomi, biologi, sosiologi dan lain-lain harus menjadikan syariat sebagai basis, dan mengorientasikan tujuan dasarnya untuk mencapai ridha Allah swt, bukan sekedar demi tuntutan materialistik.
Oleh: Kholili Hasib