Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Dari Abu Amr atau Abu Amrah ra; Sufyan bin Abdullah Atsaqafi r.a. berkata, Aku berkata, Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya kepada seorangpun selain padamu. Rasulullah menjawab, “Katakanlah, saya beriman kemudian istiqamahlah.” (HR. Muslim)
Tarjamatur Rawi
Sufyan bin Abdillah Al-Tsaqofi. Nama lengkapnya adalah Sufyan bin Abdillah bin Rabi’ah bin Al-Harits, Abu Amru atau Abu Amrah Al-Tsaqofi. Merupakan salah seorang sahabat Rasulullah saw. Beliau tinggal di Tha’if. Selain mengambil hadits dari Rasulullah saw., beliau juga meriwayatkan hadits dari Umar bin Khatab. Beliau pernah menjadi ‘Amil Umar bin Khatab di Tha’if.
Secara umum, hadits ini memiliki rangkaian sanad yang muttasil dan keseluruhan sanadnya tsiqah, kecuali Hisyam bin Urwah yang dikatakan tsiqah rubbama dallasa (tisqah namun terkadang mentadliskan hadits). Meskipun ulama hadits juga sepakat bahwa beliau merupakan Imam Faqih. Bahkan Imam Abu Hatim Al-Razi sampai mengatakan ‘Ma Ra’aitu Ahfafz Minhu’ (Aku tidak melihat ada orang yang lebih hafidz dari padanya). Dan kendatipun sebagian tidak menerima beliau sebagai perawi yang tsiqah, namun sesungguhnya pada posisi beliau dikuatkan pula melalui jalur sanad yang lain, yaitu oleh Imam Muhammad bin Muslim Al-Zuhri, dan juga melalui jalur Ya’la bin Atha’ Al-Amiri, yang semua sepakat dengan ketsiqahannya.
Gambaran Umum Tentang Hadits
Dilihat dari isi kandungannya, hadits ini menggabungkan dua pokok permasalahan besar dalam Islam, yaitu Iman dan Istiqamah. Iman merupakan implementasi dari tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, sedangkan istiqamah merupakan implementasi dari pengamalan aspek-aspek tauhid dalam kehidupan nyata. Dan kedua hal tersebut terangkum dalam hadits singkat ini, melalui pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah saw.
Makna Hadits
Dari pertanyaan sahabat di atas, yaitu Sufyan bin Abdillah Al-Tsaqafi r.a. tersirat bahwa iman dan istiqamah memiiki urgensitas yang tidak dapat digantikan dengan nilai-nilai lainnya dalam kehidupan. Ini terlihat dari pertanyaan beliau kepada rasulullah saw., ‘Wahai Rasulullah, katakanlah padaku satu perkataan yang aku tidak perlu lagi bertanya pada orang lain selain padamu.’ Kemudian rasulullah saw. menjawabnya dengan dua hal yang terangkai menjadi satu: istiqamah dan iman.
Dua hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam keislaman seseorang. Karena Iman (sebagaimana digambarkan di atas) merupakan pondasi keislaman seseorang bagaimanapun ia. Tanpa Iman semua amal manusia akan hilang sia-sia. Sehingga tidak mungkin istiqamah tegak tanpa adanya nilai-nilai keimanan. Penggambaran Rasulullah saw. dalam hadits ini, seiring sejalan sekaligus menguatkan firman Allah swt. dalam Al-Qur’an tentang istiqamah (QS. Fusshilat/ 41 : 30).
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqomah), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.”
Hakekat Istiqamah
Ditinjau dari segi asal katanya, istiqamah merupakan bentuk mashdar (baca; infinitif) dari kata istaqama yang berarti tegak dan lurus. Sedangkan dari segi istilahnya dan substansinya, digambarkan sebagai berikut :
Abu Bakar al-Shiddiq.
Suatu ketika orang yang paling besar keistiqamahannya ditanya oleh seseorang tentang istiqamah. Abu Bakar menjawab, ‘istiqamah adalah bahwa engkau tidak menyekutukan Allah terhadap sesuatu apapun. (Al-Jauziyah, tt: 331).
Mengenai hal ini, Ibnu Qayim Al-Jauzi mengomentari, bahwa Abu Bakar menggambarkan istiqamah dalam bentuk tauhidullah (mengesakan Allah swt.). Karena seseorang yang dapat istiqamah dalam pijakan tauhid, insya Allah ia akan dapat istiqamah dalam segala hal di atas jalan yang lurus. Ia pun akan beristiqamah dalam segala aktivitas dan segala kondisi. (Al-Jauziyah, tt : 331)
Umar bin Khatab.
Umar bin Khatab pernah mengatakan: Istiqamah adalah bahwa engkau senantiasa lurus (baca; konsisten) dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, serta tidak menyimpang seperti menyimpangnya rubah. (Al-Jauziyah, tt : 331)
Usman bin Affan.
Beliau mengatakan mengenai istiqamah, “Beristiqamahlah kalian yaitu ikhlaskanlah amal kalian hanya kepada Allah swt.”
Al-Hasan (Hasan al-Bashri)
Beliau mengemukakan, “Istiqamahlah kalian melaksanakan perintah Allah, dengan beramal untuk mentaati-Nya dan menjauhi berbuat kemaksiatan pada-Nya.” (Al-Jauzi, tt : 331)
Ibnu Taimiyah
Beliau mengatakan, “Isttiqmahlah kalian dalam mahabah (kepada Allah) dan dalam berubudiyah kepada-Nya. Dan jangalah menoleh dari-Nya (berpaling walau sesaat) baik ke kanan ataupun ke kiri.” (Al-Jauzi, tt : 332)
Ibnu Rajab Al-Hambali
Beliau mengemukakan bahwa istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus, tanpa belok ke kiri dan ke kanan, tercakup di dalamnya ketaatan yang tampak maupun yang tidak tampak, serta meninggalkan larangan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istiqomah adalah implementasi dari nilai-nilai keimanan kepada Allah secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari baik secara lahiriyah maupun bathiniyah. Sehingga jika diimplemenatasikan dalam kehidupan dakwah kontemporer; seorang kader yang istiqomah, ia akan tetap konsisten menekuni jalan da’wah, apapun resiko dan konsekuensi yang harus dihadapinya. Seorang pejuang dakwah di parlemen yang istiqamah misalnya, akan senantiasa memperjuangkan ‘panji-panji’ dakwah, dengan segala kekuatan dan kemampuan yang dimilikinya, tanpa ragu dan bimbang serta tidak tergoda dengan segala godaan duniawi. Dan seorang al-akh yang istiqomah adalah al-akh yang ‘berani’ untuk tetap konsisten memperjuangkan ideologi dakwahnya yang benar, meskipun bertentangan dengan rekan-rekannya yang mungkin lebih senior, lebih struktural ataupun lebih ‘besar’ dalam pandangan manusia.
Adalah Imam Ahmad bin Hambal, yang dikenal sebagai imamnya ahlus sunnah berani mempertahankan keyakinannya mengemukakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah. Beliau menolak ‘kemakhlukan Qur’an’ sebagaimana yang dipropagandakan Mu’tazilah melalui jalur penguasa. Imam Ahmad tetap konsisten, meskipun berbagai siksaan menghujani beliau tanpa mengenal rasa kasihan. Dan yang lebih ironis adalah siksaan dilakukan oleh institusi struktural kekhalifahan yang resmi. Namun beliau tetap menjalaninya dengan penuh ketabahan dan keihlasan kepada Allah swt. Inilah salah satu contoh bentuk keistiqamahan.
Antara Istiqamah dan Istighfar
Terkadang muncul dalam persepsi bahwa orang yang istiqamah adalah orang yang konsisten dalam kebenaran dan tidak pernah sekalipun terjerumus dalam lubang kenistaan. Padalah sesungguhnya manusia tetaplah manusia, kendatipun takwanya ia. Ia pasti pernah berbuat kekeliruan ataupun kesalahan. Oleh karenanya, untuk mengclearkan masalah ini, dalam salah satu ayat-Nya di dalam Al-Qur’an, Allah swt. menggandeng antara istiqamah dengan istighfar kepada Allah swt., yaitu sebagaimana yang terdapat dalam QS. Fushilat/ 41 : 6 :
“Katakanlah: ‘Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan (Nya).”
Ayat di atas menggambarkan, bahwa setiap insan pasti pernah melakukan satu kelalaian atau kesalahan, tanpa terkecuali siapapun dia. Oleh karenanya, seorang muslim yang baik adalah yang senantiasa introspeksi diri terhadap segala kekurangan dan kesalahan-kesalahannya, untuk kemudian berusaha memperbaikinya dengan terlebih dahulu beristighfar dan bertaubat memohon ampunan kepada Allah swt.
Terlebih ketika mengarungi jalan dakwah yang penuh lubang dan duri, serta masafah (baca ; jarak tempuh) yang seolah bagaikan lautan tiada bertepi. Di sana banyak manusia-manusia yang beragam asal-usulnya, berbeda latar belakangnya; baik dalam keilmuan, pengalaman, cara pandang dan lain sebagainya. Tentulah hal ini memerlukan keistiqamahan dalam mengarunginya. Karena benturan, perbedaan ataupun kesilapan diantara sesama aktivis dakwah pasti terjadi.
Mustahil jika manusia sebanyak itu tidak pernah saling salah paham. Sedangkan suami istri yang telah diikat dengan kalimatullah, hidup bersama siang dan malam, pagi dan sore, masih memiliki perbedaan-perbedaan yang sulit dihindarkan. Apatah lagi, bagi sebuah kelompok besar yang masing-masing memiliki interest tersendiri. Namun yang lebih penting adalah, pasca kesalahan tersebut, apa yang ia perbuat kemudian? Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda, Dari Anas bin Malik ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Semua anak cucu adam berbuat kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang berbuat salah, adalah mereka-mereka yang bertaubat.” (HR.Tirmidzi)
Para ulama mengemukakan bahwa proses perbaikan diri dari kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat, adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari istiqomah itu sendiri. (Al-Bugha, 1993 : 175).
Buah Istiqamah
Istiqamah memiliki beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh sifat-sifat lain dalam Islam. Diantara keutamaan istiqamah adalah :
1. Istiqamah merupakan jalan menuju ke surga. “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. 41 : 30)
2. Berdasarkan ayat di atas, istiqamah merupakan satu bentuk sifat atau perbuatan yang dapat mendatangkan ta’yiid (baca ; pertolongan dan dukungan) dari para malaikat.
3. Istiqamah merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah swt.
Dalam sebuah hadits digambarkan : Dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat sesuatu yang tepat dan benarlah kalian (maksudnya; istiqamahlah dalam amal dan berkatalah yang benar/jujur) dan mendekatlah kalian (mendekati amalan istiqamah dalam amal dan jujur dalam berkata). Dan ketahuilah, bahwa siapapun diantara kalian tidak akan bisa masuk surga dengan amalnya. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang langgeng (terus menerus) meskipun sedikit. (HR. Bukhari)
4. Berdasarkan hadits di atas, kita juga diperintahkan untuk senantiasa beristiqamah. Ini artinya bahwa Istiqamah merupakan pengamalan dari sunnah Rasulullah saw.
5. Istiqamah merupakan ciri mendasar orang mukmin.
Dalam sebuah riwayat digambarkan: Dari Tsauban ra, Rasulullah saw. bersabda, ‘istiqamahlah kalian, dan janganlah kalian menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang dapat menjaga wudhu’ (baca; istiqamah dalam whudu’, kecuali orang mukmin.) (HR. Ibnu Majah)
Cara untuk Merealisasikan Istiqamah
Setelah kita memahami mengenai istiqamah secara singkat, tinggallah kenyataan yang ada dalam diri kita semua. Yaitu, kita semua barangkali masih jauh dari sifat istiqamah ini. Kita masih belum mampu merealisasikannya dalam kehidupan nyata dengan berbagai dimensinya. Oleh karena itulah, perlu kiranya kita semua mencoba untuk merealisasikan sifat ini. Berikut adalah beberapa kiat dalam mewujudkan sikap istiqamah:
1. Mengikhlaskan niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah swt. Ketika beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan pikiran kita selain hanya Allah dan Allah. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa ikhlas.
2. Bertahap dalam beramal. Dalam artian, ketika menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujud sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan. Seperti dalam bertilawah Al-Qur’an, dalam qiyamul lail dan lain sebagainya; hendaknya dimulai dari sedikit demi sedikit, kemudian ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.
3. Diperlukan adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersifat kontinyu dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Karena kadangkala sebagai seorang insan, kita terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.
4. Istiqamah tidak dapat direalisasikan melainkan dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah swt. Allah berfirman (QS. 3 : 101) :”Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
5. Istiqamah juga sangat terkait erat dengan tauhidullah. Oleh karenanya dalam beristiqamah seseorang benar-benar harus mentauhidkan Allah dari segala sesuatu apapun yang di muka bumi ini. Karena mustahil istiqamah direalisasikan, bila dibarengi dengan fenomena kemusyrikan, meskipun hanya fenomena yang sangat kecil dari kemusyrikan tersebut, seperti riya. Menghilangkan sifat riya’ dalam diri kita merupakan bentuk istiqamah dalam keikhlasan.
6. Istiqamah juga akan dapat terealisasikan, jika kita memahami hikmah atau hakekat dari ibadah ataupun amalan yang kita lakukan tersebut. Sehingga ibadah tersebut terasa nikmat kita lakukan. Demikian juga sebaliknya, jika kita merasakan ‘kehampaan’ atau ‘kegersangan’ dari amalan yang kita lakukan, tentu hal ini menjadikan kita mudah jenuh dan meninggalkan ibadah tersebut.
7. Istiqamah juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i. Karena dengan kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika kita lalai, tentu yang lain ada yang mengnigatkan. Berbeda dengan ketika kita seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal seorang diri.
8. Memperbanyak membaca dan mengupas mengenai keistiqamahan para salafuna shaleh dalam meniti jalan hidupnya, kendatipun berbagai cobaan dan ujian yang sangat berat menimpa mereka. Jusrtru mereka merasakan kenikmatan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan tersebut.
9. Memperbanyak berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal tersebut tidak akan pernah terwujud.
Hikmah Tarbawiyah
Hadits di atas memiliki hikmah tarbawiyah yang patut untuk dicermati dan diajadikan pelajaran bagi aktivis dakwah masa kini. Diantara hikmahnya adalah:
1. Antusias sahabat dalam “menimba ilmu” dari Rasulullah saw., terutama mengenai hal yang terkait dengan kebahagiaan hakiki di kemudian hari bagi mereka sendiri. Bahkan sahabat tidak segan-segan menggunakan bahasa pertanyaan yang sangat spesifik, yang seolah jawabannya tidak dimiliki oleh siapapun kecuali hanya dari Rasulullah saw.
2. Jawaban yang diberikan Rasulullah saw. kepada sahabat yang bertanya padanya, merupakan jawaban yang singkat, padat, mudah dimengerti serta tidak menggunakan bahasa yang rumit dan sukar dipahami. Hal ini sekaligus memberikan pelajaran bagi para aktivis dakwah, bahwa hendaknya dalam memberikan arahan kepada audiens dakwah, menggunakan bahasa yang sesuai dengan kadar kemampuan mereka, serta jelas dari segi poin-poinnya.
3. Dari segi isi haditsnya, dapat ditarik satu kesimpulan yaitu bahwa sesungguhnya tidak dapat dipisahkan antara iman dan istiqamah. Karena konsekwensi iman adalah istiqomah. Sedangkan istiqomah merupakan keharusan dari adanya keimanan kepada Allah swt. Oleh karenanya dalam keseharian, seorang akh cukup dengan hanya penempaan keimanan melalui sarana-sarana tarbiyah dan ia dapat “bagus” di dalamnya. Hendaknya seorang al-akh juga harus tetap istiqamah kendatipun berada di luar majlis tarbiyahnya. Seperti ketika sedang berbisnis, ia harus “istiqamah” menjaga nilai-nilai tarbawi yang telah didapatnya dalam halaqah, ketika melakukan transaksi bisnis, baik dengan sesama ikhwah maupun dengan pihak lain. Demikian juga dalam aspek-aspek yang lainnya, seperti ketika berpolitik juga harus senantiasa istiqamah dalam implementasinya, kendatipun terdapat perbedaan yang sangat tajam antara lingkungan tarbawi dengan lingkungan siyasi.
4. Namun walau bagaimanapun juga, se-shaleh – shalehnya seorang yang shaleh, ia juga tetap merupakan seorang manusia biasa yang tentunya tidak akan luput dari noda dan dosa. Ketika berinteraksi mengamalkan nilai-nilai tarbawi di “dunia lain”, tentunya banyak lobang menganga yang siap “menelan” langkah-langkah kaki kita. Seperti salah dalam bertindak, sifat emosi dan marah, salah memberikan kebijakan dan lain sebagainya. Namun jika semua kesalahan tersebut “diakui” serta kemudian diperbaiki, maka insya Allah, hal ini merupakan bagian dari istiqamah. Namun sebaliknya, jika kesalahan tersebut semakin menyeretnya pada jurang kemurkaan Allah SWT, maka tentunya ia akan semakin terperosok dalam lembah kenistaan yang mendalam.
5. Istiqamah merupakan satu bentuk “proses pembelajaran” yang harus senantasa dilakukan oleh setiap al-akh. Karena hidup merupakan proses pembelajaran, menuju keridhaan Allah swt. Dan salah satu ciri dari pembelajaran adalah adanya kekeliruan. Dan dengan kekeliruan inilah, kita berupaya memperbaiki diri. Tanpa kesalahan, tidak akan pernah ada keberhasilan.
6. Istiqamah merupakan bentuk “manajemen” diri yang sangat baik dan disarankan oleh berbagai ahli menejemen. Karena istiqomah adalah implementasi dari emotional controlling yang terdapat dalam diri seseorang. Dan paradigma yang populer sekarang ini adalah bahwa kunci keberhasilan yang paling besar adalah dengan kontrol emosi. Seseorang yang memiliki kontrol emosi yang baik, maka prosentase keberhasilannya akan lebih besar, dibandingkan dengan orang yang memiliki kecerdasan intelektual sekalipun.
7. Istiqamah sangat diperlukan, terutama bagi “bekal” dari panjangnya perjalanan dakwah. Ibarat orang yang lari maraton 10 km, maka ia tidak boleh berlari sprint pada 100 m awal, kemudian setelah itu ia kelelahan. (dkwt)
download