Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/alhikma6/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/alhikma6/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/alhikma6/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/alhikma6/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39
Kafir Dzimni atau Warga Negara? - STID DI AL-HIKMAH JAKARTA

Kafir Dzimni atau Warga Negara?

Share to :

Warning: Trying to access array offset on value of type bool in /home/alhikma6/public_html/wp-content/plugins/elementor-pro/modules/dynamic-tags/tags/post-featured-image.php on line 39

alhikmah.ac.id- Syaikh al-Qaradhawī, mengatakan, istilah ahl ad-dzimmah adalah sebutan yang positif. Karena maknanya: mereka di bawah jaminan Allah, rasul-Nya, dan jaminan umat Islam. Padahal, dengan istilah ini, umat Islam ingin menjaga perjanjian dengan Allah, agar tak ada satu bentuk perjanjian pun yang dikhianati. (Syekh Yusuf al-Qaradhawī, Khithābunā al-Islāmī, 46).

Padahal, mendiskusikan istilah ‘kāfir Dzimmī’ atau istilah ahl ad-dzimmāh identik dengan negara Islam. Atau, satu bentuk negara yang modelnya adalah khilāfah. Sedangkan Indonesia bukan negara Islam dan tidak berdasarkan khilāfah, sebagaimana disepakati. Meskipun begitu, Indonesia bukan negara sekular apalagi komunis. Apakah ada semacam ketakutan dari musuh Islam terhadap kaum Muslimin di Indonesia? Jika tidak, berarti usul untuk penggantian istilah ‘kāfir’ dan ahl ad-dzimmah adalah ‘lebay’. Apalagi jika istilah ‘kāfir’ dan ‘Dzimmī’ dipandang sebagai ‘kekerasan teologis’. Atau pertanyaannya dibalik: Tidakkah para pengusul itu menyadari bahwa apa yang mereka lakukan juga dipandang sebagai ‘pemaksaan teologis’? Karena mereka telah memaksa umat Islam, agar mengubah keyakinan mereka selama ini

            Mencermati masalah ini, mengingatkan penulis kepada satu buku penting yang ditulis oleh Syekh Muhammad al-Ghazālī (w. 1997) dari Mesir. Tajuk bukunya at-Ta‘asshub wa at-Tasāmuh baina al-Islām wa al-Masīhiyyah (Kairo: Nahdhah Mishr, 2005). Diantara isinya adalah menyoroti berbagai upaya yang mengkritik ajaran Islam atas nama ‘nasionalisme’ (wathaniyyah). Dan beliau menyatakan, “Kita tegaskan bahwa berbagai bentuk gerakan ‘nasionalisme’ yang membenci Islam merupakan ciptaan Barat. Ini merupakan ekspresi dari kesuksesan serangan besar yang dilancarkan oleh Perang Salib gaya baru terhadap agama kita.” (Syekh al-Ghazālī, at-Ta‘asshub wa at-Tasāmuh, 23).

            Dan serangan yang tersusun rapi ini, tegas Syekh al-Ghazālī bersandar pada dua jenis penulis: Pertama,penulis yang masih menyandang nama Islam, meskipun tidak tahu apa-apa tentang Islam. Pemikirannya diambil dari sumber Eropa.Kerjanya menyerang Islam demi menguntungkan pihak-pihak yang ingin menghabisi Islam saja, kemudian jalan menjadi lempang bagi negara-negara Kristen dan Israel.

            Kedua,penulis Katolik, yang dalam kerjanya ini menyatakan bahwa ini murti gerakan ilmiah. Bukan karena benci kepada Islam, tidak pulak untuk membela Kristen. Namun salah seorang penulisnya malah menuduh Nabi Muhammad Saw. dan para Sahabat sebagai orang-orang yang lapar dan tergiur untuk melakukan ekspansi. Bahkan, dia menyatakan bahwa sepanjang 14 abad, sejarah Islam mengandung kezaliman terhadap pengangut agama lain. Seolah-oleh dia berkata, “Inilah lembaran hitam kalian. Bagaimana bisa kalian ingin menerapkan kembali hukum Islam?” (Syekh al-Ghazālī,at-Ta‘asshub wa at-Tasāmuh, 24).

            Hal di atas, kata Syekh al-Ghazālī, konteksnya di Mesir. Tentu kita tahu mayoritas penduduk Mesir adalah Muslim. Kristen Koptik hanya minoritas. Ini tentu keberhasilan dakwah Rasulullah Saw. di sana. Dimana diawali dengan pernikahan beliau dengan seorang wanita Koptik, Māriah al-Qibthiyyah yang kemudian melahirkan putera beliau bernama Ibrāhīm. Dilanjutkan kemudian dengan Gubernur hebat, ‘Amr ibn al-‘Āsh, yang sampai saat ini masjidnya terus dikenang: Masjid ‘Amr ibn al-‘Āsh.

            Selain itu, di Mesir ada seorang penulis liberal yang bernama Fahmī Huwaidī yang menulis satu karyanya yang bertajuk ‘Muwāthinūn Lā Dzimmiyyūn’ (Warga Negara, BukanKāfir Dzimmī) (Kairo: Dār as-Syurūq, cet. II, 1990). Usulan Fahmī Huwaidī hari ini diamalkan di Indonesia. Orang kāfir akhirnya diganti dengan ‘non-Muslim’. Kemudian, mereka harus setara dengan umat Islam: sama-sama warga negara (muwāthinūn). Seolah-olah selama ini mereka tidak dianggap sebagai warga negara. Padahal, selama ini semua pemeluk agama selain Islam di Indonesia memang ‘warga negara’.

Makna ‘Kufr’ dan ‘Kāfir

            Di dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang makna kata ‘kufr’. Diantara maknanya adalah ‘kufur nikmat’, lawat dari ‘syukur’ (Qs. 76: 3, 11: 68). Kalau kata kerja kafaradisandingkan dengan partikel ‘bi’ (kafara bi), maka artinya ‘lawan dari beriman’ (tidak beriman, Qs. 2: 256). Kemudian jika ia muncul secara mutlak, tidak diikat oleh apapun, maka maknanya adalah ‘tidak beriman’ atau ‘ingkar’ kepada perkara yang semestinya diimani. Di sini kata ‘kafir’ lawannya adalah ‘mukmin’ (Qs. 64: 2).

            Penting dicatat bahwa istilah ‘kafir’ ini merupakan pembahasan kuno, sudah lama sekali. Ia ada dalam rumpun bahasa Semit, seperti kata cover dalam bahasa Inggris yang artinya ‘menghalangi atau menutup’. Dalam bahasa ada kata ‘kawwara’ yang artinya‘laffa’(menolak). Ada juga kata ‘ghafara’ yang maknanya ‘satara’ (menutup). Ada juga kata‘ghamara’ dan ‘ikfaharra’ yang juga maknanya ‘menutup’. (Lihat, Imam ‘Abd al-Hamid al-Farahi, Mufradāt al-Qur’ān, ed. Dr. Muhammad Ajmal Ayyub al-Ishlahi (Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 2002), hlm. 304-306).

            Jadi, maka ‘kufr’ memang tidak satu. Tapi, yang mungkin menjadi diskusi hangat saat ini ‘kufr’ yang menjadi lawan ‘iman’. Tentu ini benar, karena makna ‘kufr’ adalah ‘tidak beriman’ atau ‘ingkar’. Apakah mengingkari keimanan kepada Allah dan rasul-Nya (Nabi Muhammad Saw.) atau mengingkari atau menolak untuk mensyukuri nikmat Allah.

Hakikat ‘Kāfir

            Imam at-Tahanawi dalam Mausū‘ah Kasysyāf Isthilāhāt al-Funūn wa al-‘Ulūmmenjelaskan makna ‘kafir’. Di dalam Syarh al-Maqāshid disebutkan bahwa seorang ‘kafir’ jika menampakkan iman, maka namanya ‘munāfiq’. Bila menampakkan kekufurannya setelah beriman, maka namanya ‘murtad’. Dan jika menyatakan Tuhan punya “teman”, maka dia ‘musyrik’. Jika memeluk sebagian agama dan kitab yang telah mansūkh(dihapus), maka dia namanya Ahli Kitab (kitābī).

            Jika ada yang berpandangan bahwa zaman ini qadīm, maka dia dinamakan duhrī. Jika tidak menegaskan adanya Allah sebagai Pencipta (al-bārī) maka namanya mu‘atthil. Jika mengakui kenabian Nabi Muhammad Saw. sekaligus mengakui keyakinan lain, maka namanya zindīq. Ini adalah pandangan al-Maulawi ‘Abd al-Hakim dalam Hāsiyat al-Khayālī(Lihat, Muhammad ‘Ali at-Tahānawī, Mausū‘ah Kasysyāf Ushthilāhāt al-Funūn wa al-‘Ulūm, ed. Dr. ‘Ali Dahrūj (Beirut-Lebanon: Maktabah Lubnān Nāsyirūn, 1996): 2/1368-1369).

            Dari penjelasan mengenai ‘kufr’ dan ‘kāfir’ sebenarnya sudah tampak jelas bahwa memang istilah keduanya asalnya adalah wahyu Allah, firman Allah. Ini bukan buatan Nabi Muhammad Saw. Dan, kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sejatinya mengenal Nabi Muhammad Saw. sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Meskipun begitu mereka tidak beriman kepada beliau, bahkan kufur kepada beliau dan memusuhi beliau. (al-Imam al-Qadhi ‘Alī ibn ‘Alī ibn Muhammad ibn Abī al-‘Izz al-Hanafī ad-Dimasyqī (w. 792 H), Syarh al-‘Aqīdah at-Thahāwiyah, ed. ‘Abd ar-Rahman Fahmī az-Zawāwī (Kairo: Dār al-Ghad al-Jadīd, 1430 H2009 M), hlm. 260-261).

            Maka, Al-Qur’an dan Sunnah sudah benar ketika menyebut siapa saja yang tak mengimani apa yang diimani oleh umat Islam sebagai ‘kāfir’. Karena Al-Qur’an, Sunnah, dan karya para ulama berbahasa Arab, maka istilah yang digunakan sangat teknis, ‘kāfir’, bukan non-Muslim atau non-Mu’min. Karena istilah ‘kufr-īmān’ dan ‘kāfir-mu’min’ adalah istilah teknis, penggunaannya khusus, tidak mungkin diutak-atik, diubah-ubah. Sama dengan istilah-istilah lain, semisal: ‘rusyd-ghayy’, ‘haq-dhalāl’, atau ‘hidāyah-dhalālah’, ‘thayyib-khabīts’, dan lain sebagainya.Ini bahasa wahyu, bahasa Allah, bahasa Al-Qur’an.Maka, tidak seorang pun yang bisa mengubahnya. Inilah bahasa internal-teologis umat Islam. Tapi dalam mu’amalah, interaksi sosial, habl min an-nās, kata ‘kāfir’ tidak akan pernah digunakan secara vulgar. Karena umat Islam punya kewajiban penting dalam mu’amalah, yaitu perintah Allah ‘wa qūlū li an-nās husnan’ (ucapkanlah kepada manusia hal yang indah-indah, yang baik-baik, Qs. 2: 83).

            Maka, hemat penulis, mengatakan kata ‘kāfir’ kepada pemeluk agama di luar Islam di ruang publik tidak dapat dibenarkan. Dan selama ini pun ini yang berjalan. Sebagaimana penganut agama lain, misalnya Nasrani, juga tak mungkin mengatakan ‘domba tersesat’ secara vulgar maupun di ruang publik kepada orang Islam. Karena jika ini dilakukan akan memicu permusuhan antar-agama. Dan tentu akan membahayakan kerukunan umat beragama dan merusak stabilitas bangsa dan negara Indonesia.

Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter