Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Perinsip iman kepada kehidupan abadi akhirat merupakan salah satu poin penting dalam konsepsi Islam tentang kosmos (alam semesta) dan merupakan ajaran dasar Islam. Iman kepada akhirat merupakan syarat mutlak untuk menjadi Muslim. Tidak beriman kepada akhirat berarti bukan Muslim.
Setelah syahadat (pengakuan akan monoteisme), iman kepada akhirat merupakan ajaran paling penting yang disampaikan semua nabi tanpa kecuali. Para teolog akademis Islam menyebutnya ajaran Kebangkitan.
Dalam Al-Qur’an terdapat ratusan ayat mengenai Hari Pengadilan, kehidupan setelah mad, bangkit dari kematian, buku amal, surga, neraka, keabadian akhirat dan soal-soal lain yang berkaitan dengan alam setelah kematian. Dalam dua belas ayat, iman kepada Hari Terakhir secara formal disebut setelah iman kepada Allah SWT.
Al-Qur’an menggunakan beragam ungkapan untuk menunjukkan Hari Kebangkitan. Satu persatu ungkapan ini penuh dengan makna irfan. Hari Terakhir merupakan salah satunya. Dengan menggunakan ungkapan ini Al-Qur’an ingin kita memperhatikan dua poin:
Bahwa kehidupan manusia, dan sungguh sepanjang waktu eksistensi dunia, dibagi menjadi dua periode. Masing-masing periode dapat disebut hari. Hari Pertama (periode durasi dunia ini) akan berakhir, namun Hari Terakhir (periode durasi akhirat) tak ada akhirnya. Al-Qur’an menyebut kehidupan dunia ini hari pertama dan menyebut kehidupan akhirat hari terakhir. (lihat QS. al-Lail: 3 dan adh-Dhuhâ: 4)
Bahwa sekarang pun ketika kita masih berada dalam periode pertama dan belum mencapai periode kedua dan hari kedua, sukses dan keselamatan kita selama hari ini maupun hari itu tergantung pada iman kita. Dengan iman, kita lalu memperhatikan amal baik dan reaksinya. Kita harus mengerti bahwa seperti kita, pikiran kita, perbuatan kita dan kebiasaan kita juga, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, ada hari pertama dan hari terakhirnya. Kata dan perbuatan kita selama hari pertama tidak sirna, melainkan terus eksis dan akan dimintai pertanggung jawaban pada Hari Pengadilan. Karena itu kita harus berusaha keras agar diri kita, perbuatan kita dan niat kita lurus, agar kita tidak berpikir serta berbuat buruk. Jadi kita harus selalu melangkah ke depan dengan taat hukum dan perilaku yang baik, karena pada iman kita bergantung kebahagiaan kita di hari itu, Perilaku manusia di dunia inilah yang membuat hidupnya di akhirat bahagia atau sengsara. Itulah sebabnya Al-Qur’an memandang iman kepada akhirat atau Hari Terakhir sebagai syarat mutlak kebahagiaan manusia.
Sumber Iman kepada Kehidupan Akhirat
Sumber pokok iman kepada kehidupan abadi akhirat adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para nabi. Setelah mengakui Allah, beriman kepada kebenaran para nabi dan mengetahui dengan pasti bahwa apa yang disampaikan para nabi memang berasal dari Allah SWT dan karena itu benar, lalu manusia beriman kepada Hari Kebangkitan dan kehidupan abadi akhirat. Prinsip keyakinan religius ini digambarkan oleh para nabi sebagai ajaran terpenting setelah tauhid.
Dengan begitu, derajat iman seseorang kepada kehidupan akhirat tergantung, di satu pihak, pada derajat imannya kepada Kenabian dan kebenaran para nabi, dan di pihak lain, pada derajat kebenaran dan rasionalitas konsepsinya mengenai akhirat, dan keterbebasannya dari pikiran-pikiran kotor dan bodoh.
Selain wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh para nabi, ada beberapa metode lain untuk beriman kepada akhirat. Melalui upaya intelektual dan ilmiah, manusia dapat melihat, setidak-tidaknya, beberapa indikasi kuat yang mendukung apa yang dikatakan para nabi tentang akhirat. Metode-metode ini adalah:
(i) dengan jalan mengenal Allah SWT; (ii) dengan jalan mengenal dunia; (iii) dengan jalan mengenal roh dan mentalitas manusia. Untuk saat ini kami tak akan membahas metode-metode ini yang memerlukan deretan panjang argumen filosofis dan ilmiah. Kami hanya akan membahas metode Kenabian dan wahyu saja. Karena Al-Qur’an sendiri, dalam beberapa ayatnya, dengan jelas menyebutkan metode-metode ini, dan dalam beberapa ayat lainnya meng-isyaratkan ke arah metode-metode ini, maka kami akan membahasnya pada bagian selanjutnya di bawah judul Argumen Al-Qur’an tentang Akhirat. Agar soal kehidupan abadi akhirat bisa jelas dari sudut pandang Islam, maka perlu dilihat soal-soal berikut:
(i) Karakter hakiki kematian.
(ii) Kehidupan setelah mati.
(iii) Barzakh.
(iv) Kebangkitan.
(v) Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan setelah kematian.
(vi) Eksistensi abadi amal perbuatan manusia dalam bentuk fisik.
(vii) Karakter umum dan khas kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
(viii) Argumen Al-Qur’an mengenai akhirat.
Karakter Hakiki Kematian
Apa kematian itu? Apakah kematian adalah kehancuran, kemusnahan, dan non-eksistensi, ataukah suatu perubahan, perkembangan dan peralihan dari satu dunia ke dunia lain? Inilah pertanyaan yang selalu menarik perhatian manusia. Setiap orang ingin menemukan sendiri jawabannya atau menerima jawaban yang sudah ada. Karena kita ini Muslim, maka kita ingin memberikan jawaban untuk pertanyaan ini dari Al-Qur’an, dan kita percaya pada apa yang dikatakan Al-Qur’an dalam hal ini.
Al-Qur’an memiliki penjelasannya sendiri mengenai karakter hakiki kematian. Al-Qur’an menggunakan kata “tawaffâ dalam kaitan ini. Arti kata ini adalah menerima penuh. Empat belas ayat Al-Qur’an menggunakan ungkapan ini. Semua ayat ini menunjukkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur’an, arti kematian adalah masuk ke dalam penjagaan. Dengan kata lain, ketika mati manusia memasuki penjagaan otoritas-otoritas ilahiah yang menerimanya tanpa batas. Dari ungkapan ini dapat disimpulkan beberapa poin:
(i) Arti kematian bukanlah kesirnaan dan kemusnahan. Kematian hanyalah peralihan dari satu dunia ke dunia lain, dan dari satu tahap kehidupan ke tahap kehidupan lain. Setelah kematian, kehidupan manusia berlanjut, meski bentuknya berbeda.
(ii) Yang membentuk manusia dan dirinya bukanlah tubuhnya serta sistem fisis dan penunjangnya, yang di dunia ini berangsur-angsur mengalami kerusakan dan kehancuran. Yang sesungguhnya membentuk personalitas dan ego manusia adalah apa yang oleh Al-Qur’an digambarkan sebagai “diri” dan terkadang “jiwa”.
(iii)Jiwa atau diri manusia merupakan konstituen sejati personalitasnya. Manusia tidak mati, karena jiwa atau rohnya tidak mati. Rohnya eksis di sebuah cakrawala yang letaknya di atas cakrawala materi dan hal-hal material. Meskipun ini merupakan hasil dari evolusi esensi fenomena alam yang mengalami transformasi menjadi jiwa atau roh sebagai akibat dari evolusinya, namun cakrawalanya mengalami perubahan dan menjadi sesuatu dari alam lain yang di luar alam semesta. Ketika mati, roh beralih ke kelas lain, yaitu kelas roh. Dengan kata lain, realitas di luar materi ini kini berada dalam penjagaan malaikat. Al-Qur’an mengemukakan poin bahwa manusia adalah sebuah realitas yang kelasnya di luar materi. Mengenai Adam as, manusia pertama, Al-Qur’an mengatakan, “Dan telah meniupkan ke dalamnya roh-Ku.” (QS. al-Hijr: 29)
Soal roh dan kelangsungan hidupnya setelah mati merupakan salah satu ajaran pokok Islam. Separo dari ajaran-ajaran Islam yang tak dapat diingkari itu didasarkan pada doktrin bahwa roh tak bergantung pada tubuh, dan roh masih terus eksis meski manusia telah mati. Semua nilai manusiawi sejati didasarkan pada kebenaran ini. Tanpa kebenaran ini, nilai-nilai tersebut tak lebih dari imajinasi belaka.
Semua ayat yang berbicara tentang kehidupan setelah mati, beberapa contohnya akan kami kutip, membuktikan bahwa roh adalah sebuah realitas yang tak bergantung pada tubuh dan bahwa roh akan terus ada sekalipun tubuh sudah hancur dan sirna.
Sebagian orang mengira bahwa dari sudut pandang Al-Qur’an tak ada roh atau jiwa. Akhir eksistensi manusia adalah ketika manusia mati. Setelah mati, manusia tak memiliki kesadaran dan juga tak merasa senang atau sakit. Pada saat Kebangkitan, manusia akan mendapat hidup baru, dan pada saat ini sajalah dia akan menemukan kembali dirinya dan dunia. Namun teori ini bertentangan dengan ayat-ayat yang menyebutkan kehidupan setelah mad.
Para pendukung teori ini mengira bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh atau jiwa mendasarkan klaimnya pada ayat, “Katdkanlah, roh adalah atas perintah Tuhanku.” Mereka mengatakan bahwa meskipun kata “roh” disebut berulang-ulang dalam Al-Qur’an, namun makna roh adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang disebut jiwa. Dalam ayat ini juga arti roh sama dengan yang dimaksud dalam ayat-ayat lain. Orang-orang ini tidak tahu bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh tidak mendasarkan argumennya pada ayat ini. Ada sekitar dua puluh ayat lagi yang jelas-jelas menyebut roh atau menyebutnya dalam bentuk kata benda dan kata ganti yang mengungkapkan milik, rangkaian kata sifat dan seterusnya seperti roh Kami, roh-Ku, roh suci, roh dengan Perintah Kami. Mengenai manusia, dikatakan “Dan Aku tiupkan he dalamnya roh-Ku.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur’an ada sebuah realitas yang lebih tinggi daripada malaikat dan manusia, dan realitas inilah yang disebut roh. Sebagai nikmat dari Allah SWT, malaikat dan manusia memiliki realitas ini yang digambarkan sebagai “dengan Perintah-Ku”. Ayat “Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku,” bersama ayat-ayat lain menunjukkan bahwa roh manusia memiliki realitas yang luar biasa.
Banyak ayat Al-Qur’an bukan saja menegaskan eksistensi mandiri roh manusia, namun pandangan ini juga diperkuat oleh banyak riwayat mutawatir dalam kitab-kitab hadis dan juga diperkuat oleh banyak kalimat dalam “Nahj al-Balaghah”. (Lihat Peak of Eloquence (Nahj al-Balaghah atau Puncah Kefasihan, I. S. P. 1984) dan Doa Para Imam Suez)
Faktanya adalah bahwa pengingkaran eksistensi roh merupakan pikiran kotor Barat yang diilhami oleh materialisme Barat. Sayangnya, ada sebagian pengikut Al-Qur’an yang berpikiran seperti ini. Sekarang kami kutip, melalui contoh-contoh, tiga dari empat ayat yang menggunakan kata “tawaffi’ untuk kematian. Dalam ayat-ayat ini dikatakan bahwa setelah kematiannya manusia masih melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dilakukannya ketika masih hidup (seperti bicara, berkehendak dan memohon).
(i) Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya din, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu itu?” Mereka menjawab: “Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). ” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburu-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ’: 97)
Ayat ini mertgenai orang-orang yang tunduk kepada tekanan keadaan, karena mereka hidup dalam lingkungan yang buruk, lingkungan yang dikendalikan oleh lawan-lawan mereka. Alasan mereka adalah lingkungan mereka tidak menguntungkan bagi mereka, mereka tak dapat berbuat apa-apa. Bukannya berupaya mengubah lingkungan mereka, dan jika itu tidak mungkin, pindah ke lingkungan yang lebih baik, mereka malah betah tinggal di lingkungan buruk itu. Setelah mencabut nyawa mereka, para malaikat Allah SWT berbicara dengan mereka dan mengatakan bahwa alasan mereka tidak dapat diterima, karena mereka setidak-tidaknya dapat pirtdah ke lingkungan lain. Para malaikat mengingatkan mereka bahwa mereka bertanggung jawab atas perbuatan mereka.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa ketakberdayaan di suatu tempat tertentu tak dapat dijadikan alasan, kecuali bila jalan pindah dari satu tempat ke tempat lain sudah tertutup. Seperti kita ketahui, dalam ayat ini kematian, yang kelihatannya seperti kemusnahan, diungkapkan dengan kata tawaffi yang menunjukkan masuk ke dalam penjagaan. Lagi, ayat ini menyebutkan dialog antara para malaikat dan seseorang setelah kematian seseorang tersebut. Seandainya realitas manusia tidak berlanjut setelah kematiannya, dan seandainya realitasnya semata-mata berupa jasadnya yang tidak sensitif dan tidak sadar, tentu dialog ini tak ada artinya. Ayat ini menjelaskan bahwa manusia, setelah meninggalkan dunia fana ini, dapat bicara dengan makhluk-makhluk yang tak dapat dilihat yang dikenal dengan nama malaikat, meskipun dengan mata, telinga dan lidah yang berbeda.
(ii) Dan mereka berkata: “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru.” Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhan mereka. Katakanlah: “Malaikat mau yang diserahi untuk (mencabut nyawa)-mu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan. ” (QS. as-Sajdah: 10)
Ayat ini menghapus keraguan orang-orang yang mengingkari akhirat. Mereka bertanya bagaimana mereka dapat dibangkitkan lagi padahal setelah mad setiap partikel mereka jadi hancur lebur. Al-Qur’an dengan jelas mengatakan bahwa keraguan yang diungkapkan mereka hanyalah dalih untuk menyembunyikan sikap mereka yang keras kepala. Namun, menjawab pertanyaan mereka, Al-Qur’an mengatakan bahwa bertentangan dengan pernyataan mereka, personalitas sejati dan “diri” sejati mereka bukanlah apa yang mereka duga sebagai partikel-partikel yang hancur lebur. Sesungguhnya mereka, dengan segenap personalitas mereka, dihimpun oleh malaikat maut.
Yang dimaksud orang-orang yang mengangkat keraguan ini dengan hancur lebur di dalam bumi adalah bahwa ketika semua bagian dari tubuh mereka sudah hancur le bur dan setiap partikel tubuh mereka telah musnah, mana mungkin tubuh itu diciptakan dan dihidupkan kembali. Keraguan seperti ini juga disebutkan dalam beberapa ayat lain, dan jawaban untuk pertanyaan ini lain. Dalam ayat-ayat itu ditunjukkan bahwa jasad yang telah mati musnah dan sirna dari sudut pandang manusia saja. Tak diragukan lagi, memang mustahil manusia mengumpulkan kembali semua partikel tubuhnya, namun bagi Allah Mahakuasa, hal itu sangat mudah.
Dalam ayat terdahulu argumen orang-orang yang mengingkari kebangkitan didasarkan pada kemustahilan mengumpulkan kembali partikel-partikel jasad yang telah hancur. Namun di sini argumen mereka berbeda dan itulah sebabnya jawabannya pun berbeda pula. Di sini mereka berargumen bahwa setelah kehancuran partikel-partikel tubuh, maka personalitas nil manusia juga hancur dan sirna sehingga tak ada lagi “aku” atau “kita.” Al-Qur’an mengatakan bahwa tak seperti dugaan mereka, personalitas riil manusia tak pernah musnah, dan karena itu tak perlu mendapatkannya lagi. Manusia maupun personalitasnya justru dihimpun oleh para malaikat pada saat kematiannya.
Ayat berikut ini juga dengan jelas menyebutkan kesinambungan personalitas riil manusia (rohnya) setelah kematiannya, meskipun tubuhnya sudah tak ada lagi:
(iii) Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia tahanlahjiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir. (QS. az-Zumar: 42)
Ayat ini menggambarkan kesamaan antara tidur dan mati, dan di antaranya kesamaan antara bangun dan kebangkitan. Tidur adalah bentuk lemah dari mati, dan mati adalah bentuk kuat dari tidur. Dalam kedua kasus ini, jiwa manusia beralih dari satu keadaan hidup ke keadaan hidup lainnya. Bedanya adalah bahwa dalam kasus tidur manusia biasanya tidak menyadari perubahan, dan ketika bangun dia tidak menyadari bahwa dirinya sesungguhnya baru kembali dari suatu perjalanan. Tak seperti ketika mati, segalanya terlihat jelas olehnya.
Dari ketiga ayat ini dapat disimpulkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur’an, karakter hakiki kematian bukanlah kemusnahan, akhir segalanya dan non-eksistensi. Kematian sesungguhnya hanyalah peralihan dari satu keadaan hidup ke keadaan hidup lainnya. Ayat terakhir juga menjelaskan sudut pandang Al-Qur’an tentang karakter hakiki tidur. Meskipun secara fisis tidur adalah berhentinya fakultas-fakultas alamiah tertentu, namun dari sudut pandang spiritual, tidur adalah peralihan ke kerajaan langit. Seperti soal kematian, soal tidur juga merupakan salah satu hal yang karakter hakikinya tidak diketahui sepenuhnya. Yang diketahui dalam kaitan ini hanyalah satu bagian dari perkembangan fisis yang terjadi di wilayah fisis.
Setelah Mati
Apakah setelah mati manusia langsung ke tahap kebangkitan, dan perihal dirinya kemudian akhirnya ditentukan di sana? Atau apakah manusia, selama periode antara kematian dan kebangkitan, melewati suatu dunia khusus untuk dibangkitkan kembali pada Hari Kebangkitan? Kita tahu bahwa hanya Allah SWT sajalah yang tahu kapan Hari Kebangkitan itu. Bahkan para nabi pun menyata-kan tidak tahu tentang hal itu.
Dari Al-Qur’an dan dari banyak riwayat sahih yang sampai ke kita, dari Nabi saw dan para imam dapat disimpulkan bahwa setelah mati manusia tidak langsung ke tahap kebangkitan, karena pada tahap itu terjadi begitu banyak kehebohan, pergolakan, dan perubahan revolusioner pada segala yang kita tahu, seperti gunung, lautan, bulan, matahari, bintang dan galaksi. Pada saat itu tak ada yang tetap utuh. Lagi, pada saat kebangkitan, semua manusia masa lalu maupun masa sekarang akan dihimpun. Namun kita tahu bahwa dunia ini belum akan hancur dan barangkali akan tetap demikian untuk miliaran tahun lagi. Sementara itu masih akan lahir manusia-manusia yang tak terhingga jumlahnya.
Disimpulkan dari ayat terdahulu dan banyak ayat lainnya bahwa selama periode antara kematian dan Kebangkitan tak ada yang tetap mati dan tak sadar. Dengan kata lain, manusia tetap aktif, dia dapat merasa senang dan sakit. Setelah mati, manusia memasuki tahap baru kehidupan, dalam tahap baru ini manusia dapat merasakan segala sesuatu. Hal-hal tertentu membuatnya senang, dan hal-hal tertentu lainnya membuatnya sakit. Namun senang dan sakitnya berkaitan dengan perilakunya di dunia fana. Tahap ini akan berlanjut sampai terjadinya kebangkitan. Pada saat itu dunia akan dilanda sedemikian banyak kehebohan, pada saat itu dari bintang-gemintang paling jauh sampai bumi kita segalanya akan mengalami revolusi. Dengan terjadinya tahap ini maka alam yang merupakan tahap perantara antara dunia ini dan kebangkitan akan berakhir.
Jadi dari sudut pandang Al-Qur’an, alam pasca-kematian memiliki dua tahap atau, lebih tepatnya, setelah kematiannya manusia melalui dua alam. Alam yang akan berakhir seperti dunia fana ini disebut barzakh. Alam lainnya yaitu alam pasca-kebangkitan yang tak akan pernah berakhir. Man kita bahas dua alam ini secara ringkas.
Barzakh
Sesuatu yang menjadi perintang di antara dua benda dan memisahkan dua benda itu disebut barzakh. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk menunjukkan kehidupan antara kematian dan Kebangkitan. Al-Qur’an mengatakan: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu):
Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. ” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. al-Mukminun: 99-100)
Inilah satu-satunya ayat yang menyebut barzakh untuk interval antara kematian dan kebangkitan. Para ulama meminjam kata ini dari sini dan menyebut barzakh untuk alam antara kematian dan kebangkitan. Mengenai kesinambungan kehidupan setelah mati, ayat ini hanya mengatakan bahwa manusia setelah mati menyesal dan minta dikembalikan ke dunia fana, namun permintaan mereka ditolak. Ayat ini menunjukkan bahwa ada semacam kehidupan bagi manusia setelah matinya. Itulah sebabnya manusia minta dikembalikan ke dunia fana, meskipun permintaannya ditolak.
Banyak ayat yang menunjukkan bahwa manusia selama periode ini, yaitu periode antara kematiannya dan Kebangkitan, berada dalam suatu kehidupan. Dalam kehidupan ini dia bicara, merasa senang dan sakit, dan dapat hidup bahagia. Ada sekitar lima belas ayat yang bicara tentang suatu proses kehidupan. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa antara periode kematian dan kebangkitan manusia berada dalam suatu kehidupan .yang matang. Ayat-ayat ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan.
(i) Ayat-ayat yang mengutip percakapan antara orang takwa atau orang keji di satu pihak, dan para malaikat di lain pihak. Percakapan ini terjadi setelah kematian. Ayat seperti ini banyak jumlahnya. Sudah kami kutip ayat 97 dari Surah an-Nisâ’ dan ayat 100 dari Surah al-Mukminun.
(ii) Menurut beberapa ayat lainnya, para malaikat berbicara dengan orang takwa, dan mengatakan kepada mereka bahwa sejak saat itu mereka menikmati karunia-karuni Allah SWT. Para malaikat tidak membuat mereka menunggu Hari Kebangkitan. Dua ayat berikut ini mengandung poin ini:
Mereka diterima oleh para malaikat rahmat dengan ucapan: “Salamun ‘alaikum! Masuklah, surga sebagai balasan untuk amal baikmu.” (QS. an-Nahl: 32)
Dikatakan kepadanya (setelah kematiannya): “Masuklah surga.” Katanya: “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku, dan menjadikan aku termasuk orang yang dimuliakan.” (QS. Yasin: 26-27)
Dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutip percakapan orang beriman ini dengan kaumnya. Dia mengajak kaumnya untuk mengikuti para nabi yang menyeru mereka kepada tauhid di Antiochia (Antakiyah). Dia mempermaklumkan imannya, dan minta kaumnya untuk mendengarkan dan mengikuti langkahnya. Namun kaumnya tidak mau mendengarkannya sampai dia meninggal (pergi ke alam lain). Ketika dia tahu bahwa dirinya mendapat ampun dari Allah SWT dan dimuliakan-Nya, dia berharap kaumnya yang masih di dunia tahu betapa bahagia dirinya di alam lain. Jelaslah, semua ini terjadi sebelum kebangkitan, karena setelah kebangkitan tak ada apa-apa lagi di muka bumi.
Dapat dicatat bahwa bagi orang saleh, setelah dia mati, ada beberapa surga, bukan hanya satu surga. Di akhirat surga itu beragam sesuai tingkat kedekatan kita dengan Allah SWT. Selain surga-surga ini, ada beberapa surga lagi, seperti diriwayatkan oleh orang-orang pilihan keturunan Nabi saw, yang berkaitan dengan alam barzakh, bukan dengan Hari Pengadilan. Karena itu surga yang disebutkan dalam dua ayat di atas tentunya bukan surga yang berkaitan dengan Hari Pengadilan.
(iii) Kelompok ayat ketiga tidak memberitakan percakapan antara para malaikat dan manusia. Ayat-ayat ini hanya menggambarkan kehidupan bahagia orang saleh dan kehidupan sengsara orang jahat selama periode antara kematian dan Kebangkitan. Dua ayat berikut ini termasuk dalam kelompok ini:
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakangyang belum menyusul mereka. (QS. Ali ‘Imran: 169-170)
Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. Dikatakan kepada malaikat: “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. al-Mukmin: 45-46)
Ayat ini menyebutkan dua jenis hukuman terhadap pengikut Fir’aun. Jenis pertama adalah hukuman pra-kebangkitan yang digambarkan sebagai azab yang amat buruk. Kepada para pengikut Fir’aun dinampakkan neraga dua kali setiap hari. Hukuman lainnya adalah hukuman pasca-Kebangkitan yang digambarkan sebagai azab yang sangat keras. Pada Hari Pengadilan orang-orang ini akan diperintahkan untuk dilemparkan ke dalam neraka. Hanya mengenai hukuman pertama, disebutkan waktu pagi dan petang.
Menafsirkan ayat ini Imam Ali as mengatakan bahwa hukuman pertama diberikan di barzakh, di barzakh berlaku sistem yang sama dengan di dunia seperti ada pagi, petang, bulan dan tahun. Hukuman kedua berkaitan dengan alam pasca-kebangkitan, di alam ini tak ada pagi, tak ada petang, tak ada minggu, tak ada bulan dan tak ada tahun.
Dalam riwayat-riwayat yang sampai ke kita dari Nabi saw, Imam Ali as dan para imam lainnya mengenai barzakh, banyak digaris-bawahi soal kehidupan orang beriman dan orang keji selama mereka berada di banakh.
Selama Perang Badar sejumlah pemimpin terkemuka Quraisy terbunuh. Ketika pertempuran usai, Nabi saw memerintahkan agar tubuh-tubuh mereka dimasukkan ke dalam sumur dekat Badar. Kemudian Nabi saw sendiri menuju ke sumur itu, lalu melongok ke dalam sumur itu untuk berkata kepada mayat-mayat di sana, “Kami mendapati bahwa janji Allah kepada kami telah terbukti. Apakah kalian juga mendapatkan apa yang sudah dijanjikan Allah kepada kalian?” Sebagian sahabat Nabi saw berkata, “Wahai Nabi Allah, apakah Anda bicara dengan mereka yang terbunuh dan sudah mati? Apakah mereka mendengar apa yang Anda katakan?” Nabi saw menjawab, “Sekarang ini mereka lebih mendengar dari-pada kalian.” Dari riwayat ini dan riwayat lain serupa dapat kita lihat bahwa meskipun dengan terjadinya kematian maka tubuh dan jiwa jadi terpisah, namun jiwa tidak sepenuhnya putus hubungan dengan tubuh yang sudah bertahun-tahun bersatu dengannya.
Pada 10 Muharam Imam Husain as salat subuh berjamaah. Kemudian Imam Husain as berpaling ke sahabat-sahabatnya, dan menyampaikan pidato pendek. Imam Husain as mengatakan:
“Tenang dan sabarlah sebentar. Kematian tak lain adalah jembatan, lewat jembatan ini kalian meninggalkan tepi kepedihan menuju tepi kebahagiaan, kemuliaan dan surga yang amat luas.”
Ada sebuah riwayat yang mengatakan bahwa orang hidup itu sebenarnya tengah terlelap. Begitu mereka mati, sesungguhnya mereka terbangun. Itu artinya bahwa tahap kehidupan setelah mati lebih tinggi dibanding tahap kehidupan sebelum mati. Selama terlelap, kesadaran manusia jadi lemah. Tidur merupakan keadaan antara hidup dan mati. Ketika manusia bangun tidur, hidupnya lebih sempurna. Kehidupan di barzakh pada tingkat tertentu juga lebih sempurna dibanding kehidupan di dunia. Ada dua poin yang patut disebutkan di sini:
(i) Menurut riwayat-riwayat dari para imam, di barzakh manusia ditanya tentang imannya saja. Pertanyaan lainnya ditanyakan pada Hari Kebangkitan.
(ii) Amal saleh yang dilakukan keluarganya dengan niat supaya pahalanya diberikan kepada si almarhum, membuat si almarhum jadi bahagia dan membawa keuntungan baginya. Jika sedekah dan amal saleh, entah bentuknya wakaf atau lainnya, dilakukan dengan niat agar pahalanya diberikan kepada si almarhum ayah, ibu, sahabat, guru atau lainnya, maka alam saleh ini dapat dianggap sebagai pemberian kepada si almarhum bersangkutan. Amal saleh tersebut membuat si almarhum jadi bahagia. Begitu pula dengan doa memohonkan ampunan Allah SWT, berhaji, tawaf dan berziarah ke tempat suci lainnya, yang dilakukan atas nama si almarhum. Anak, yang ketika kedua orang tuanya masih hidup berbuat tidak menyenangkan kedua orang tuanya, dapat berbuat sesuatu yang menyenangkan mereka setelah mereka jadi almarhum. Yang sebaliknya juga bisa terjadi.
Kebangkitan
Tahap kedua dari kehidupan abadi adalah kebangkitan yang, tak seperti barzakh, bukanlah urusan individual melainkan melibatkan seluruh manusia dan alam semesta. Dengan kebangkitan, alam semesta memasuki tahap baru dan fase baru kehidupan. Seluruh sistem mengalami perubahan.
Kalau Al-Qur’an berkata tentang peristiwa luar biasa ini, dikatakannya bahwa pada waktu Kebangkitan bintang-gemintang akan pudar dan hilang, matahari akan berhenti bersinar, lautan akan jadi kering, segalanya akan hancur, gunung akan hancur, dan semuanya akan menjerit, berteriak dan akan terjadi ledakan dahsyat di seluruh dunia yang diikuti perubahan-perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Yang dapat diketahui dari Al-Qur’an adalah bahwa alam semesta akan hancur, dan segalanya akan musnah. Kemudian akan lahir sebuah dunia baru yang pada dasarnya beda dengan dunia yang ada ini. Hukum dan sistem dunia baru itu mutlak beda, dan dunia baru itu akan terus eksis untuk selamanya.
Dalam Al-Qur’an, kebangkitan disebutkan dengan berbagai nama, masing-masing nama menunjukkan karakteristik tertentunya. Karena Kebangkitan merupakan masa ketika seluruh umat manusia dikumpulkan, maka disebut Hari Berkumpul dan Hari Pertemuan. Karena pada hari itu semua rahasia akan disingkapkan dan semua realitas akan dibeberkan, maka disebut hari penyingkapan dan hari ketika pikiran-pikiran rahasia akan diperlihatkan. Karena merupakan masa yang akan berlangsung selamanya, maka disebut hari keabadian. Karena merupakan masa ketika manusia kecewa dan menyesal, maka disebut hari kepedihan dan hari kekecewaan. Dan karena kebangkitan merupakan peristiwa dan berita paling besar, maka disebut “Kabar Besar”.
Hubungan Kehidupan Dunia dan Akhirat
Kitab-kitab wahyu mengajak kita memperhatikan satu poin yang sangat rhendasar. Poin itu adalah hubungan antara kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan akhirat tak dapat dipisahkan dari kehidupan dunia. Benih kehidupan setelah kematian ditebarkan di dunia oleh manusia sendiri. Manusia menentukan di kehidupan ini apa yang akan terjadi pada dirinya di kehidupan akhirat. Iman scjati, keyakinan yang benar, konsepsi realistis mengenai dunia, kebiasaan baik, tidak iri had dan tidak dengki, tidak menipu, tidak membenci dan tidak curang, dan juga perbuatan baik yang mem-bantu pengembangan individu dan masyarakat yang dilakukan dengan ikhlas, merupakan hal-hal yang menjamin kehidupan abadi yang bahagia. Sebaliknya, kekufuran, penindasan, kemunafikan, praktik riba, berdusta, memfitnah, mengumpat, mencari-cari kesalahan, menciptakan perpecahan, tidak beribadah kepada Sang Pencipta dan kualitas serta kebiasaan serupa lainnya merupakan hal-hal yang membuat pelakunya hidup sengsara di akhirat. Ada sebuah sabda Nabi saw yang menarik. Nabi saw bersabda:
“Dunia ini adalah lahan akhirat. Kalau kamu menanam di dunia ini, kamu akan menuainya di akhirat.”
Karena mustahil menanam rumput lalu yang dipanen padi, menanam duri lalu yang dipetik bunga, maka begitu pula mustahil orang yang buruk perilakunya di dunia akan bahagia di akhirat.
Perwujudan dan Keabadian Perbuatan Manusia
Dari Al-Qur’an dan sabda-sabda para imam dapat dipahami bahwa bukan saja manusia akan terus hidup setelah kematiannya, namun perbuatan manusia juga terlestarikan sedemikian sehingga tidak hilang. Dalam kehidupan pasca-kebangkitan, manusia akan melihat semua perbuatannya di masa lalu. Perbuatan baik wujud atau bentuknya sangat indah, menarik dan menyenangkan. Perbuatan baik menjadi sumber kebahagiaan. Wujud perbuatan dosa sangat mengerikan, menjijikkan dan sangat buruk. Perbuatan dosa menjadi sumber kepedihan, penderitaan dan ketersiksaan. Di sini kami sebutkan saja tiga ayat dan dua sabda Nabi saw dalam hubungan ini.
(i) Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebaikan dihadapkan, begitu (pula) kejahatan yang telah dikerjakannya. la ingin kalau sekiranya antara ia dan hari itu ada masa yang jauh. (QS. Ali ‘Imran: 30)
Ayat ini dengan jelas mengatakan bahwa manusia akan mendapati di hadapannya perbuatan baik dan buruknya. Perbuatan baik akan berupa bentuk yang menarik dan menyenangkan, sedangkan perbuatan buruk akan berupa bentuk yang begitu menjijikkan lagi mengerikan, sehingga manusia ingin menjauhkannya dari pandangannya atau menjauh darinya. Namun manusia tak akan mampu berbuat demikian, karena di alam itu perbuatan manusia hampir merupakan bagian dari eksistensinya dan tak dapat dipisahkan dari dirinya.
(ii) Mereka akan mendapati di hadapan mereka apa pun yang mereka perbuat di dunia ini. (QS. al-Kahfi: 49)
Ayat ini dengan jelas mengatakan apa yang dikatakan ayat sebelumnya.
(iii) Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepadanya (balasan) pekerjaannya. Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat atom pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula. (QS. az-Zilzâl: 6-8)
Manusia abadi. Begitu pula perbuatan dan pekerjaannya. Di akhirat dia akan hidup bersama perbuatan yang menemaninya dalam kehidupannya di dunia. Perbuatan manusia merupakan aset baik atau aset buruknya. Kehidupan abadi manusia di akhirat ada yang bahagia dan ada yang menderita, tergantung pada perbuatan manusia itu sendiri.
Hadis
Beberapa Muslim yang datang dari tempat yang jauh diterima oleh Rasulullah saw. Dalam perbincangan mereka dengan Rasulullah saw mereka minta kepada beliau saw untuk memberikan beberapa pedoman yang bermanfaat. Antara lain Nabi saw menasihati mereka untuk segera memilih teman yang baik untuk akhirat, di mana teman hidup setiap orang nantinya adalah perwujudan perbuatannya sendiri. Orang yang percaya kehidupan abadi akhirat selalu sangat hati-hati dalam berpikir dan berbuat, karena dia tahu bahwa perbuatan tidak boleh dianggap sebagai urusan sementara. Perbuatan merupakan paket yang dikirimnya ke akhirat. Dia akan hidup dengan paket itu.
Kesamaan dan Perbedaan Kehidupan Dunia dan Akhirat
Kesamaan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah keduanya nyata dan eksis. Dalam kedua kehidupan ini manusia sadar akan dirinya dan apa pun yang berkaitan dengan dirinya. Dalam dua kehidupan ini manusia merasa senang dan sedih, bahagia dan sengsara. Dalam dua kehidupan ini perbuatan manusia diatur oleh nalurinya, baik naluri hewaniah maupun naluri manusiawi. Dalam dua kehidupan ini manusia hidup dengan tubuhnya. Namun ada juga beberapa perbedaan yang mendasar.
Di dunia ini ada sistem reproduksi dan sistem anak-anak, remaja, dewasa dan usia lanjut yang diikuti kematian. Sistem seperti ini tak ada di akhirat. Di dunia ini bekerja, menanam, dan mempersiapkan lahan adalah perlu. Di akhirat akan dipanen apa yang ditanam di dunia. Dunia merupakan tempat bekerja, sedangkan akhirat merupakan tempat memperoleh hasil. Di dunia manusia dapat mengubah nasibnya dengan mengubah kebiasaannya. Di akhirat kemungkinan seperti itu tak ada. Di dunia ada hidup ada mati. Selain itu, yang mati berasal dari yang hidup, dan yang hidup berasal dari yang mati. Materi mati, dalam keadaan tertentu, berubah menjadi organisme hidup, dan organisme hidup berubah menjadi materi mati. Namun di akhirat, yang ada adalah murni kehidupan. Materi di alam itu juga hidup. Bumi dan langit di alam itu hidup. Taman dan buahnya hidup. Api dan siksa di alam itu juga hidup dan sadar. Di sini segalanya diatur oleh kondisi ruang dan waktu serta sebab-sebabnya. Alam itu adalah alam gerak dan berkembang. Di alam itu yang ada hanya “kehendak dan ke-daulatan Allah SWT.” Di sana penglihatan dan kesadaran manusia lebih kuat, dan daya lihat dan daya dengar manusia lebih tajam dibanding di dunia fana. Dengan kata lain, di sana tidak ada tabir, dan manusia akan lebih melihat kebenaran. Al-Qur’an mengatakan:
Maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS. Qaf: 22)
Di dunia manusia selalu merasa capek, jenuh, dan sedih, khususnya merasa monoton. Kelihatannya seakan-akan dia kehilangan sesuatu dan tengah mencari sesuatu itu. Dia berusaha mendapatkan sesuatu, lalu merasa senang sebentar. Namun segera dia sadar bahwa itu bukan yang diinginkannya. Dia mulai lagi merasa sedih dan mengejar sesuatu yang lain. Manusia selalu ingin sesuatu yang belum dimilikinya dan belum membuatnya jenuh. Namun di akhirat, di mana manusia akan mendapatkan apa yang diinginkan lubuk hatinya dan apa yang sebenarnya belum dimilikinya, yaitu kehidupan abadi dalam kedekatan dengan Allah SWT, tak ada capek, tak ada jenuh, tak ada sedih. Al-Qur’an mengisyaratkan ke arah hal ini ketika mengatakan:
Mereka tidak inginpindah darinya. (QS. al-Kahfi: 108)
Beda dengan di dunia, di akhirat manusia tidak menginginkan perubahan. Meskipun tinggal di surga untuk selamanya, namun penghuninya tidak akan membosankan. Karena segala yang mereka inginkan tersedia bagi mereka, mereka tidak akan terganggu atau jadi susah oleh keinginan yang tak terpuaskan.
Argumen Al-Qur’an
Meskipun iman kita kepada Kebangkitan merupakan konsekuensi alamiah dari iman kita kepada Al-Qur’an dan ajaran para nabi dan karena itu tak perlu mengemukakan argumen atau bukti ilmiah mengenai hal ini, namun kalau melihat fakta bahwa Al-Qur’an sendiri, agar poin ini diterima pikiran kita, mengemukakan beberapa argumen, maka kami paparkan argumen-argumen itu di sini meskipun secara ringkas.
Argumen Al-Qur’an berupa serangkaian jawaban untuk orang-orangyang mengingkari Kebangkitan. Sebagian jawaban ini untuk menunjukkan bahwa tak ada salah dengan konsepsi kebangkitan. Jawaban tersebut diberikan untuk mereka yang mengklaim bahwa kebangkitan mustahil terjadi. Sebagian ayat lain bahkan mengatakan bahwa di dunia ini pun ada fenomena tertentu yang me-nyerupai kebangkitan, dan karena itu tak ada alasan memandang mustahil kebangkitan. Beberapa ayat bahkan mengatakan bahwa kebangkitan merupakan hasil alamiah dan tak terelakkan dari skema logis penciptaan alam semesta. Jadi ayat-ayat ini dapat dibagi menjadi tiga kelompok:
Pertama; Al-Qur’an mengatakan:
Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa akan kejadiannya, ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?” Katakanlah: “la akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin: 78-79)
Ayat ini menjawab orang kafir yang da tang kepada Nabi saw dengan membawa tulang yang sudah busuk dan rusak. Dia menghancurleburkannya jadi bubuk. Lalu dia menebarkan bubuk itu ke udara. Setelah itu dia bertanya, “Siapa yang akan menghidupkan kembali partikel-partikel yang berserakan ini.” Al-Qur’an menjawab, “Dia yang menciptakan tulang belulang kali pertama.”
Terkadang manusia menilai segala sesuatu dengan ukuran kapasitasnya sendiri. Berdasarkan ini manusia membagi segala sesuatu itu menjadi yang mungkin dan yang mustahil. Kalau dia merasa sesuatu itu di luar kemampuannya, lalu dia menyatakan bahwa sesuatu itu mustahil. Al-Qur’an mengatakan bahwa mungkin manusia merasa mustahil melakukan sesuatu, namun itu tidak mustahil bagi Yang Mahakuasa yang telah menciptakan kehidupan pada mated mati untuk kali pertama. Yang Mahakuasa dapat juga menghidupkan yang mati.
Kedua; Ada ayat-ayat yang menyebutkan peristiwa tertentu di masa lalu ketika jasad yang mati dihidupkan kembali, seperti ayat-ayat yang menyebutkan kisah Nabi Ibrahim as yang berkata kepada Allah:
Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati, Allah berfirman: “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Aku telah percaya, namun agar bertambah tetap hatiku. ” Allah berfirman: “(Kalau demikian) arnbillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu, kemudian letakkanlah tiap-tiap ekornya di atas tiap-tiap bukit. Sesudah itu panggillah, niscaya ia akan datang kepadamu dengan segera.” (QS. al-Baqarah: 260)
Ada ayat-ayat lain yang tidak didasarkan pada peristiwa adialami. Ayat-ayat itu mengutip sistem yang ada yang dikenal setiap orang. Rumput yang layu dan mati selama musim gugur dan dingin, hidup lagi selama musim semi. Sebagaimana dilihat setiap orang, bumi setelah menghijau dan penuh kehidupan kehilangan vitalitasnya dan mati, dan ketika kondisinya berubah dengan berubahnya musim, bumi hidup lagi, dan tetumbuhan, pepohonan dan rumput mulai tumbuh subur dan berbunga. Akan datang suatu masa ketika segenap sistem dunia akan layu dan kering kerontang. Matahari dan bintang-gemintang akan meledak. Alam semesta akan mati, namun bukan untuk selamanya. Segalanya akan hidup lagi, meski bentuknya lain dan dengan kondisi yang lain.
Sekarang kita, umat manusia, hidup di muka bumi. Kita tahu bahwa dalam 365 hari bumi melewati siklus mati dan hidup. Normalnya kita hidup sampai 50, 60 atau 70 tahun dan terkadang sampai 100 tahun atau bahkan lebih. Selama periode ini kita melihat siklus hidup dan mad ini lusinan kali. Itulah sebabnya kita tidak heran kalau bumi mati dan hidup lagi. Misal saja durasi kehidupan kita hanya beberapa bulan saja seperti yang terjadi pada serangga, dan misal saja kita tidak tahu bagaimana membaca dan tidak tahu revolusi tahunan bumi, tentu kita tidak akan percaya bahwa bumi yang mati hidup lagi, karena kita tidak pernah melihat fenomena ini. Tentu saja bagi nyamuk yang muncul di musim semi dan mati di musim gugur dan dingin, konsepsi ten tang taman yang hidup kembali tak pernah terbayangkan.
Dapatkah cacing yang hidup di pohon atau nyamuk yang hidup di taman, yang dunianya adalah pohon atau taman itu, membayangkan bahwa pohon atau taman itu merupakan bagian dari sebuah sistem yang lebih tinggi yang disebut rumah, bahwa perkebunan pada gilirannya adalah bagian dari sistem lain yang disebut distrik, bahwa distrik merupakan bagian dari sistem lain yang disebut provinsi, bahwa provinsi merupakan bagian dari sistem lain yang disebut negara, bahwa negara merupakan bagian dari sistem lain yang disebut sistem bumi, dan bahwa bumi merupakan bagian dari sistem tata surya kita?
Mana mungkin kita yakin bahwa sistem tata surya kita, bintang-gemintang dan galaksi-galaksi bukan bagian dari sebuah sistem yang lebih besar? Mungkin saja berjuta-juta tahun eksistensi alam semesta yang kita tahu hanya setara dengan hanya satu bagian atau satu hari dari sebuah musim. Mungkin saja musim kehidupan sekarang ini akan diikuti oleh musim lain yang suram dan sepi, dan setelah itu sekali lagi sistem ini termasuk sistem tata surya kita, bintang-gemintang dan galaksi-galaksi akan memperoleh prospek hidup yang lebih baik yang bentuknya lain.
Para nabi telah menyebutkan atas nama Allah SWT tentang kehancuran total dan kesunyian yang diikuti suatu hidup baru dan kebangkitan orang-orang yang sudah mati dengan sistem baru. Karena kita yakin bahwa mereka benar, maka kita percaya bahwa yang mereka sampaikan itu benar, termasuk apa yang mereka katakan tentang pembaruan hidup yang universal.
Al-Qur’an menyebut contoh sistem hidup-mati di muka bumi agar kita melihatnya sebagai contoh kecil sistem universal kehidupan dan tidak beranggapan bahwa kebangkitan mustahil dan bertentangan dengan sistem total penciptaan.
Al-Qur’an mengatakan bahwa kebangkitan merupakan pembaruan kehidupan, dan pembaruan kehidupan merupakan sesuatu yang contoh kecilnya kita lihat di muka bumi. Nabi saw bersabda, “Bila engkau melihat musim semi, maka berpikirlah bahwa kebangkitan itu ada.” Dengan kata lain, musim semi merupakan contoh kebangkitan. Rumi berkata, “Musim semi setelah bergugurannya dedaunan dari pepohonan merupakan bukti tentang kebangkitan. Api, udara, mendung, air dan matahari menghalau banyak ilusi. Di musim semi banyak misteri tersibak. Bumi mengeluarkan apa yang telah diserapnya.”
Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sistem hidup-mati yang ada sebagai bukti:
Dan Allah, Dialah yang mengirimkan angin. Lalu angin itu menggerakkan awan. Maka Kami halau awan itu he suatu negeri yang matt, lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu. (QS. Fathir: 9)
Dan kamu lihat bumi ini hering, kemudian apabila telah Kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah. Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah Dialah yang benar dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati, dan sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan sesungguhnya harikiamat itupastilah datang, tak ada keraguan tentangnya, dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur. (QS. al-Hajj: 5-7)
Banyak ayat lain yang melihat kebangkitan sebagai bagian dari sistem hidup-mati yang berlaku di alam semesta. Kita melihat contoh kecil kebangkitan di muka bumi. Di sini hanya kami kutipkan dua ayat saja. Ayat-ayat ini beda dengan ayat-ayat kelompok pertama, karena ayat-ayat ini tidak hanya bersandar pada kemampuan Allah SWT. Ayat-ayat ini juga menyebutkan contoh yang menyerupai kebangkitan untuk menunjukkan bahwa di dunia fana ini Kuasa Allah SWT terejawantahkan dalam pola yang sama.
Ayat-ayat kelompok ketiga menggambarkan kebangkitan sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Kalau tak ada kebangkitan, berarti ada yang tidak beres pada Allah SWT. Poin ini dibahas dengan dua cara: (i) Berdasarkan Keadilan Allah SWT, Allah SWT menganugerahkan kepada setiap makhluk-Nya apa yang patut didapat makhluk-Nya, dan apa yang sesuai dengan makhluk itu; (ii) Berdasarkan Kearifan Allah SWT, Allah SWT menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Kearifan Allah SWT menuntut agar segala sesuatu dipandu ke kesempurnaan dan sasarannya.
Al-Qur’an mengatakan bahwa tentu saja tidak adil kalau tak ada kebangkitan, kehidupan abadi, kebahagiaan abadi dan balasan Allah SWT, dan Allah SWT mustahil tidak adil karena hal itu bertentangan dengan prinsip keadilan Allah SWT. Al-Qur’an juga mengatakan bahwa jika tak ada kehidupan abadi, maka alam semesta akan sia-sia, dan salah kalau mengatakan bahwa Allah SWT melakukan sesuatu dengan sia-sia.
Banyak sekali ayat yang menggambarkan kehidupan abadi dan kembali kepada Allah SWT sebagai pasti dan tak terelakkan, karena keadilan Allah SWT atau karena kearifan Allah SWT. Di sini kami kutipkan ayat-ayat yang berargumen dengan berdasarkan keadilan Allah SWT atau kearifan Allah SWT atau keduanya. Al-Qur’an, setelah menyatakan bahwa orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran dan lalai akan Hari Perhitungan akan mendapat hukuman yang keras, mengatakan:
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? (QS. Shad: 27-28)
Kita melihat bahwa pada ayat pertama argumennya didasarkan pada kearifan dan kepekaan Allah SWT berkenaan dengan ciptaan-Nya. Dan dalam ayat kedua, argumennya didasarkan pada keadilan Allah SWT:
Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu. Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri alas apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan. (QS. al-Jâtsiyah: 21-22)
Dalam ayat pertama disebut-sebut prinsip keadilan, dan dalam ayat kedua disebut-sebut prinsip kearifan. Kemudian dalam ayat kedua juga disebut sekali lagi keadilan Allah SWT yang digambarkan sebagai maksud utama kebangkitan.
Penjelasan: Di sini perlu dijelaskan mengapa dua prinsip (keadilan dan kearifan Allah SWT) ini mengharuskan adanya kehidupan abadi, dan mengapa kalau kehidupan terbatas dunia diasumsikan tidak diikuti kehidupan abadi maka penciptaan manusia tak dapat dijustifikasi baik dari sudut keadilan Allah SWT maupun dari sudut kearifan Allah SWT.
Keadilan Allah SWT: Dalam arti lebih luasnya, keadilan berarti tanpa diskriminasi memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Diskriminatif dalam hal ini berarti bertentangan dengan keadilan, begitu pula memberikan kepada sebagian apa yang menjadi hak mereka dan tidak memberikan kepada sebagian lain apa yang menjadi hak mereka. Guru berarti tidak adil kalau dia memberikan nilai ujian yang tidak sesuai dengan apa yang semestinya didapat murid. Sedikit banyak keadilan seiring dengan persamaan, yang artinya adalah memperlakukan sama terhadap semuanya dan tidak mempercayai diskriminasi. Persamaan seperti itu melahirkan keadilan, yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Namun persamaan yang tidak memperhatikan apa yang menjadi hak, apa yang menjadi kewajiban, atau apa yang semestinya, berarti ketidakadilan. Dengan demikian, arti keadilan Allah SWT adalah nikmat Allah SWT yang diberikan kepada segala yang ada selaras dengan tingkat kemampuan dan kapasitas potensialnya untuk menerima nikmat itu. Jika sesuatu tidak memiliki kualitas tertentu, itu artinya bahwa dengan kondisi yang ada sesuatu itu tidak mempunyai kapasitas untuk memilikinya. Lagi, dapat kami katakan bahwa bertentangan dengan keadilan Allah SWT kalau nikmat yang sesuai dengan kapasitas potensial sesuatu tidak diberikan kepada sesuatu itu untuk selamanya. Keadilan menuntut agar nikmat, kalau sesuai dengan kemampuan segala sesuatu dan patut didapat segala sesuatu itu, harus diberikan kepada segala sesuatu itu tanpa diskriminasi.
Di antara apa yang ada, tingkat kapasitas dan potensialitas manusia khususnya tinggi. Manusia tidak termotivasi semata-mata oleh kecenderungan dan naluri hewaniahnya. Hewan hanya memiliki naluri yang berkaitan dengan kehidupan materialnya. Di pihak lain, manusia, seperti sudah dijelaskan terdahulu, juga memiliki naluri tertentu yang lebih tinggi yang tingkatannya akhirat bukan tingkatan dunia fana ini. Manusia memiliki alasan keagamaan, estetika, ilmiah dan moral. Dia melakukan banyak sekali hal karena alasan-alasan ini, dan terkadang bahkan mengorbankan kehidupan hewaniah dan materialnya demi tujuan-tujuan tinggi manusiawinya.
Manusialah yang membuat, dalam kata-kata Al-Qur’an, sistem perbuatannya berdasarkan iman dan amal saleh, dan bertujuan mencapai kehidupan abadi dan keridaan Allah SWT. Konsepsi kehidupan abadi di akhirat dan hasrat untuk mencapainya. Nalurinya mendorongnya ke arah itu. Semua ini menunjukkan bahwa manusia dapat menjadi abadi, dan bahwa jiwanya bukan material. Ini artinya bahwa di dunia fana ini manusia bagaikan embrio. Janin di dalam rahim ibu mendapat sistem dan kemampuan tertentu, seperti jalan pernapasan, sistem peredaran darah, sistem saraf, sistem reproduksi, sistem pendengaran dan sistem penglihatan. Semua sistem ini hanya cocok untuk kebutuhan dunia pasca-kelahiran, dan tidak cocok untuk kehidupan sembilan bulan di dalam rahim.
Di dunia fana ini manusia memang memperoleh manfaat dari sistem iman dan amal saleh. Namun arti penting manfaat ini sekunder. Sesungguhnya sistem ini sama dengan benih yang hanya dapat tumbuh dan berbuah di kehidupan abadi yang bahagia. Dengan kata lain, arti sejati dari sistem ini hanya berkaitan dengan kehidupan akhirat.
Bukan saja dalam sistem iman dan amal saleh manusia mencapai tingkat tinggi dan menebarkan benih-benih hubungan alami, namun juga dalam sistem sebaliknya yang oleh Al-Qur’an disebut sistem kekufuran dan kemaksiatan, perbuatan manusia keluar dari wilayah kalkulasi alamiah dan kebutuhan fisis, dan memperoleh aspek spiritual dan abadi, meskipun dengan jalan yang tidak lurus. Dengan demikian orang kafir dan orang jahat sedikit banyak juga dapat mencapai kehidupan abadi, namun celakanya kehidupan abadinya memberi mereka kepedihan dan kesengsaraan dan, dalam bahasa agama, memasukkannya ke neraka.
Kalau manusia tidak bergerak dalam orbit iman dan alam saleh, bukan saja dia hanya bergerak dalam orbit binatang, namun juga jatuh ke titik di bawah nol. Dalam bahasa Al-Qur’an, orang seperti itu lebih rendah derajatnya dan lebih salah dibanding binatang.
Kalau tak ada kehidupan abadi, maka orang yang berbuat dalam sistem iman dan alam saleh dan orang yang berbuat dalam sistem sebaliknya akan seperti pelajar yang sebagiannya menjalankan tugas dengan baik, dan yang sebagiannya lagi membuang-buang waktu dengan bergurau dan ngerumpi, namun guru memperlakukan mereka sama dan tidak memberikan nilai kepada siapa pun. Sikap guru seperti ini jelas jahat dan bertentangan dengan prinsip keadilan. Untuk menjelaskan poin ini dengan lebih sederhana maka dapat dikatakan bahwa Allah SWT telah mengajak manusia untuk beriman dan bertakwa. Sebagian manusia menerima ajakan ini dan memperbarui perilaku mereka, cara berpikir mereka dan sistem moral mereka. Sebagian lagi tidak menanggapinya dan melakukan perbuatan jahat dan kerusakan. Namun di dunia ini kita tidak melihat sistem seperti itu di mana segala perbuatan baik mendapat pahala dan semua pendosa diberi hukuman. Karena itu tentu harus ada alam lain di mana orang saleh dan orang keji dapat diberi balasan setimpal dengan perbuatannya. Kalau tidak, berarti tak ada keadilan Allah.
Kearifan Allah SWT: Perbuatan kita, yaitu perbuatan umat manusia, ada dua macam: (i) Perbuatan sia-sia. Perbuatan seperti ini sesungguhnya tak memberikan keuntungan kepada kita, dan tak dapat membantu kita menggali dan mengembangkan kebajikan yang terpendam dalam diri kita; (ii) Perbuatan yang arif dan rasional. Perbuatan ini memberikan hasil yang positif dan membantu kita mencapai kebajikan yang tepat.
Perbuatan jenis pertama tak ada artinya, dan jenis perbuatan kedua arif, logis, moderat, objektif dan filosofis. Jadi perbuatan arif kita membawa kita ke kesempurnaan yang pas dengan kita. Sekarang bagaimana dengan tindakan arif Allah SWT? Apakah kalau Allah SWT bertindak arif maka Allah SWT akan sempurna dan kalau bertindak seenaknya Allah SWT tidak akan sempurna? Tidak, itu tidak berlaku untuk Allah SWT. Allah SWT tak mem-butuhkan apa-apa, Allah Mahasempurna. Apa pun yang dilakukan-Nya merupakan karunia, nikmat dan kebaikan-Nya. Dia tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhan-Nya atau untuk mendapatkan sesuatu bagi diri-Nya. Tindakan arif-Nya membawa ciptaan-Nya mencapai kesempurnaan yang pas bagi ciptaan-Nya itu. Tindakan sia-sia dapat disifatkan kepada-Nya hanya dalam pengertian bahwa Dia menciptakan sesuatu dan tidak memandu sesuatu itu untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya. Jadi, konsepsi tentang kearifan Allah beda dengan konsepsi tentang kearifan manusia.
Manusia baru disebut arif kalau dia melangkah ke arah kesempurnaan manusiawi. Kearifan Allah SWT berupa memandu ciptaan-Nya untuk mencapai kesempurnaan yang pas baginya atau, dengan kata lain, menciptakan sesuatu atas dasar untuk mendorong sesuatu itu mencapai tujuan yang pas bagi sesuatu itu.
Karena arti kearifan manusia adalah dia melakukan sesuatu dengan tujuan mencapai kondisi dirinya yang lebih baik, maka antara apa yang dilakukannya dan hasil yang diinginkannya tidak perlu ada hubungan riil. Dengan kata lain, hasil yang diinginkan tidak harus merupakan konsekuensi alamiah dari perbuatannya atau tidak mesti dipandang sebagai jasa atau kebaikan perbuatannya itu. Misal, orang membuat sedemikian banyak benda bermanfaat dari tanah liat, kayu, batu, logam, kulit, bulu domba, kapas dan sebagainya dan mendapatkan hasil yang praktis dan fungsional. Misal, dia membuat kursi, rumah, mobil atau pakaian. Namun kursi tak mungkin dianggap sebagai jasa kayu, rumah sebagai jasa batu, bata dan adukan semen, motor sebagai jasa sejumlah logam yang beragam dalam pembuatannya, karena benda-benda ini sendiri tidak bergerak menuju bentuk final mereka. Tentu saja, hasil yang didapat manusia dari produk-produk ini seperti duduk di kursi, tinggal di rumah, pergi dengan mobil atau mengenakan pakaian, dapat dianggap sebagai jasa manusia atau setidak-tidaknya sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Mengenai Allah SWT, di pihak lain, ada hubungan natural dan riil antara tindakan-Nya dan hasil yang diwujudkan tindakan tersebut. Dengan kata lain, hasil dari setiap tindakan-Nya sungguh merupakan jasa dari tindakan itu. Seperti kita tahu, setiap benih dan setiap biji-bijian di dunia ini bergerak menuju tujuannya dan bentuk terbaiknya.
Kini posisinya adalah bahwa dunia ini dan segala isinya tidak mandek dan tunduk kepada perubahan. Bentuk final dari apa saja yang dapat kita pertimbangkan bukan final, dan pada gilirannya akan mengalami perubahan. Dengan kata lain, segala sesuatu sifatnya sementara dan akan ada akhirnya. Semua tahap merupakan tema yang tidak berhenti di tengah perjalanan, dan tahap-tahap itu bukanlah tujuan akhir. Tapi, sebagian orang berpendapat bahwa alam semesta tidak ada tujuan dan rencananya yang pasti. Dunia merupakan kafilah yang selalu bergerak dari satu tahap ke tahap lain. Jelas, perjalanan dapat berarti kalau ada tujuannya. Perjalanan tidak akan ada artinya kalau semua tujuan tak lebih daripada tempat berhenti dan kalau tak ada kemungkinan untuk pada akhirnya sampai di tempat tertentu. Karena setiap eksistensi di dunia ini diikuti non-eksistensinya, dan setiap pembangunan diikuti kehancurannya, maka segenap sistem yang mengatur dunia ini tak lain hanyalah kekacauan dan mengulang apa yang sudah diulang. Dengan demikian, segenap sistem kehidupan dan eksistensi didasarkan pada kesembronoan. Al-Qur’an menjawab, argumen yang kedengarannya bagus ini tentu benar kalau yang ada hanya dunia ini saja, semua yang lahir pada akhirnya mati dan nasib semua yang tumbuh dan berbunga pada akhirnya layu dan musnah. Namun pandangan seperti itu dangkal dan didasarkan pada anggapan bahwa kehidupan itu hanya di dunia ini saja, padahal fakta menunjukkan bahwa kehidupan tidak hanya di dunia ini saja. Dunia fana ini adalah Hari Pertama, dan akan diikuti Hari Terakhir. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan:
“Dunia ini merupakan tempat lewat, sedangkan akhirat merupakan tempat tinggal.”
Akhiratlah yang membuat dunia fana ini berarti. Akhiratlah yang merupakan tujuan dan yang membuat hiruk pikuk aktivitas di dunia ini jadi bermakna. Seandainya tak ada akhirat yang abadi itu, tentu tak ada tujuan akhir, sehingga dunia fana ini tentu akan menjadi semacam labirin, sedangkan alam semesta, dalam bahasa Al-Qur’an, tentu akan sia-sia dan hanya main-main saja. Namun para nabi datang untuk menghilangkan keraguan dalam hal ini, dan untuk memperkenalkan kita dengan kebenaran, yang kalau kita tidak tahu kebenaran ini maka alam semesta ini akan tak ada artinya di mata kita. Kalau kita menganut konsepsi kesembronoan ini, maka eksistensi kita sendiri jadi tak ada artinya dan tak ada tujuannya. Efek dari iman kepada akhirat adalah kita jadi berpikiran bahwa eksistensi kita ada tujuannya dan memberikan arti bagi kita, pikiran dan kehidupan kita. (dkwt)