Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Predikat taqwa yang menjadi tujuan diperintahkannya ibadah shaum Ramadhan dan ibadah-ibadah lain -baik ibadah yang berhubungan Vertikal langsung dengan Allah swt maupun ibadah horisontal- ternyata tidak menjadi prestasi puncak lalu berhenti, setelah itu selesai, bahkan mati.
Meraih predikat taqwa membutuhkan proses perjuangan panjang dalam hidup. Sehingga taqwa berarti sesuatu yang hidup, aktif, berkembang dan berkesinambungan. Madal hayah –seumur hidup-.
Mari kita renungkan panggilan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang dicintai. Allah swt berfirman:
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
Katakanlah: “Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.
Dan Aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”.
Katakanlah: “Sesungguhnya Aku takut akan siksaan hari yang besar jika Aku durhaka kepada Tuhanku”.
Katakanlah: “Hanya Allah saja yang Aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. QS. Az Zumar : 10-14.
Kontinyu dalam Bertaqwa
Perhatikan, Allah swt memanggil orang beriman dengan panggilan kecintaan, kedekatan dan kehangatan; Wahai hamba-hamba-Ku, ini menunjukkan panggilan itu disukai Allah swt. Persis seperti sabda Nabi saw, ”Nama dan panggilan yang paling Allah sukai adalah Abdullah (nisbat penghambaan kepada Allah) dan Muhammad (yang terpuji).”
Setelah itu Allah swt memerintahkan hamba-hamba-Nya yang benar tauhidnya agar bertaqwa. Ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan derajat taqwa di sisi Allah swt memerlukan perjuangan terus-menerus dan proses madal hayah (Tafsir Ibnu Katsir).
Dengarlah ungkapan sahabat Abu Bakar, ”Demi Allah, seandainya salah satu kaki saya berada di surga, sedangkan kaki yang lain masih di luarnya, maka aku tidak merasa aman dari makar Allah swt.”
Semua kosa kata dan terminologi yang berarti ketaatan, kebaikan, manfaat, amal shaleh, produktifitas adalah bagian dari taqwa. Sisi lain yang berarti keburukan, kesia-siaan, kemunkaran, pemborosan dan maksiat adalah yang merusak taqwa.
Lanjutan ayat ini berbunyi, ”Bagi orang-orang yang ihsan atau berbuat baik dalam kehidupan dunia akan mendapatkan kebaikan.”
Akar kata ihsan berikut turunannya (ahsanu, muhsinin dan ihsan) di dalam Al Qur’an sedikitnya terdapat di lima puluh tempat, yang kesemuanya bermakna kebaikan, amal positif, menuju proses sempurna, dan membawa manfaat.
Sebagaimana ihsan dalam terminologi Rasulullah saw adalah ”Anda beribadah kepada Allah, seakan-akan Anda melihatnya. Jika Anda tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah Ia melihat Anda.” . Ihsan disini bermakna kesungguhan dalam kebaikan dan ta’at.
Dalam kesempatan lain Rasulullah saw mendefinisikan ihsan dengan berbuat baik secara optimal. ”Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kamu menyembelih, maka sembelihnya dengan sebaik-baiknya.”.
Ihsan juga berarti profesional, tepat waktu, dan proses menuju sempurna. Rasulullah saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila melaksanakan sesuatu atau pekerjaan, ia laksankan dengan sempurna.”
Sukses Sampai Akhir Ramadhan
Kalau kita hubungkan dengan konteks Ramadhan, maka bagaimana kita akhirnya terus bersemangat mengisi Ramadhan sampai selesai selama sebulan penuh, bukan hanya semangat di awalnya saja. Padahal hari-hari terakhir Ramadhan menjadi penentu kesuksesan kita dalam bulan ini.
Saudaraku, Rasulullah saw adalah menjadi bukti konkrit untuk kita teladani. Adalah beliau dalam hidupnya tidak pernah meninggalkan i’tikaf di masjid. Selama delapan atau sembilan kali beliau terus melaksanakan i’tikaf tersebut. Bahkan di tahun di mana beliau meninggal dunia, beliau i’tikaf dua puluh hari akhir Ramadhan.
Rasulullah saw adalah seorang Nabi, kepala negara, suami, ayah dan otomatis tanggung jawab beliau sangat besar mengurus ummatnya, namun beliau tidak pernah meninggalkan ibadah ini, dengan alasan apapun termasuk pulang kampung. Ya, Rasulullah saw tidak pernah pulang kampung di hari-hari nan mahal di mata Allah swt ini.
Rasulullah saw menyibukkan diri dengan taqarrub ilallah, munajat, tilawah Al Qur’an, do’a, istighfar, muhasabah dan lainnya. Gambaran menghidupkan malam-malam itu beliau istilahkan sendiri dengan ungkapan ”Syaddul mi’zar. Mengencangkan ikat pinggang”. Beliau juga membangunkan keluarganya untuk begadang di malam-malam akhir Ramadhan. Rahasianya adalah untuk meraih lailatul qadar. Sunnah ini dilanjutkan oleh para istri-istri Rasulullah saw dan para sahabatnya radliyallahu ajma’in.
Rasulullah saw, istri-istrinya dan para sahabat radliyallahu ajma’in mengajarkan kepada kita untuk pandai mengambil prioritas amal, mana yang harus di dahulukan dan mana yang harus di akhirkan.
Lanjutan ayat ini menekankan kembali untuk bisa mengambil prioritas amal itu, ”Dan bumi Allah itu luas . Para ahli tafsir sepakat yang dimaksud ayat ini adalah perintah untuk berhijrah dan berjihad. Salah satu bentuk hijrah dan jihad dalam konteks kita, yang tidak ada peperangan adalah meningkatkan ketaatan dan mujahadah dalam kebaikan. Memburu lailatul qadar adalah bagian dari hijrah dan jihad ini, sebagaimana dicontohkan para salafus shaleh.
Dunia tidak secekak daun kelor, ternyata peribahasa ini dinukil dari firman Allah swt ini.
Di manapun kita menginjakkan kaki, di tempat kelahiran atau di rantau, adalah sama saja di mata Allah swt. Artinya adalah jangan sampai kita melewatkan hari-hari dan malam-malan mahal itu dengan alasan pulang kampung, antri panjang di loket, macet di jalan dan seterusnya, hanya karena mengejar, ”saya harus kumpul keluarga di hari raya”.
Bukan itu yang dicontohkan nabi saw. Beliau orang yang tidak pernah memutus hubungan tali silaturahim, dengan siapa pun apalagi dengan keluarga dan kerabat. Namun beliau sangat tahu persis bahwa malam lailatul qadar itu harus di raih dengan cara mengoptimalkan sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Untuk melaksanakan i’tikaf di masjid memang membutuhkan perjuangan yang besar, membutuhkan keseriusan yang tinggi dan kesungguhan dalam melaksanakannya. Banyak godaan dan tantangn untuk melakukan i’tikaf ini. Apakah karena alasan persiapan lebaran lah, atau bahkan animo dan persepsi masyarakat yang tidak benar, bahwa ”lebaran harus kumpul dengan keluarga”.
Saudaraku, permasalahannya adalah karena kita belum mempersiapkan ibadah ini jauh-jauh hari, serta belum memahamkan anggota keluarga kita bahwa ibadah sepuluh hari terkahir ini meskipun hukumnya sunnah muakkadah, namun tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Kalau toh pulang kampung bisa setelah shalat idul fitri. Sehingga kedua hasanah atau keutamaan bisa diraih sekaligus. Hasanah lailatul qadar dan silaturahim lebaran.
Kuatkan Kesabaran
Bagi orang yang mampu melawan godaan dan tantangan itu akan mendapatkan balasan tak terhingga. Allah swt menepati janjinya, ”Balasan orang yang sabar dalam ketaatan adalah pahala tanpa batas.” Sesuatu yang masih bisa dibilang dengan secanggih alat apapun, masih terhitung sedikit. Namun bagi orang yang sabar dalam ketaatan mendapatkan balasan bighairi hisab –tak terhitung-.
Saudaraku, balasan bagi orang yang sungguh-sungguh menghidupkan malam-malam sepuluh akhir Ramadhan akan mendapatkan kebaikan tak ternilai harganya. lailatul qadar bagian dari kebaikan tak ternilai harganya itu.
Saudaraku, pengorbanan dan keseriusan itu justru menjadi bukti kesungguhan peribadatan kita kepada Allah swt. Ayat selanjutnya Allah swt menyeru:
”Katakanlah, saya diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan ketundukan total dalam agama.”
Bahkan kita disuruh Allah swt agar menjadi orang muslim pertama dalam ketaatan. Bangga menjadi muslim yang taat. Allah swt berfirman: ” Dan Aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”.
Menjadi Insan Rabbani
Saudaraku, Allah swt menginginkan dari kita, agar menjadi insan Rabbani, bukan insan ramadhani. Yang taqwa kepada Allah swt di bulan Ramadhan, juga di luar bulan Ramadhan. Karena itu kita dipesan untuk takut berbuat dosa dan maksiat lagi pasca Ramadhan. Allah swt berfirman:
Katakanlah: “Sesungguhnya Aku takut akan siksaan hari yang besar jika Aku durhaka kepada Tuhanku.
Katakanlah: “Hanya Allah saja yang Aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. Allahu A’lam (dkwt)