alhikmah.ac.id – Di antara adab-adab membaca Al-Qur’an sebagaimana yang sudah disepakati ialah membaguskan suara bacaan. Tidak diragukan bahwa Al-Qur’an adalah baik, dan bahkan merupakan puncak kebaikan, sehingga suara yang bagus bisa menambah kebaikan Al-Qur’an, agar ia lebih dapat menggetarkan hati dan jiwa.
Tapi di sana ada perbedaan pendapat seberapa jauh seorang qari’ bisa melakukannya. Ada orang yang bersikap keras, ada yang memberi keringanan, ada yang sedang-sedang, dan sebaik-baik urusan ilah yang sedang-sedang atau pertengahannya. Sebab tidak ada baiknya mengabaikan dan tidak pula berlebih-lebihan.
Asy-Syuyuthy berkata, “Disunahkan membaguskan suara bacaan Al-Qur’an dan menghiasinya, yang didasarkan kepada hadits Ibnu Hibban dan lain-lainnya,
زينوا القرآن بأصواتكم
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian.” (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud)
Dalam lafazh Ad-Darimy disebutkan,
“Baguskanlah Al-Qur’an dengan suara kalian, karena suara yang bagus itu menambah kebagusan Al-Qur’an.”
Al-Bazzar dan lain-lainnya mentakhrij sebuah hadits.
“Suara yang bagus (merdua) adalah hiasan Al-Qur’an.”[1])
Tentang masalah ini ada beberapa hadits shahih. Kalau memang seseorang tidak memiliki suara yang bagus dan merdu, maka dia dapat melakukannya menurut kesanggupannya, asal tidak berlebih-lebihan hingga sedemikian rupa.
Sedangkan bacaan dengan menggunakan style (cengkok, logat), disinggung Asy-Syafi’y di dalam Al-Mukhtashar, bahwa hal itu tidak apa-apa. Sedangkan menurut riwayat dari Ar-Rabi’ AL-Jizy, hukumnya makruh.
Ar-Rafi’y berkata, ‘Menurut Jumhur ulama, tidak sama dengan pendapat ini, bahwa yang dimakruhkan ialah jika membacanya secara berlebih-lebihan dalam mad dan penekanan harakat, sehingga fathah dibaca menyerupai alif, dhammah menyerupai wau, kasrah menyerupai ya’, atau dibaca idgham di tempat yang mestinya tidak dibaca idgham. Selagi tidak dibaca dengan cara ini, maka hukumnya tidak makruh.’
Di dalam kitab Zawa’idur-Raudhah disebutkan, yang benar bahwa mengabaikan hal-hal itu adalah haram, yang membacanya dianggap fasik dan yang mendengarnya berdosa, karena yang demikian itu melenceng dari jalannya yang lurus, dan inilah yang dimaksudkan dengan makruh menurut Asy-Syuyuthy.
Asy-Syuyuthy berkata, “Dalam masalah ini ada sebuah hadits, ‘Bacalah Al-Qur’an dengan logat dan suara orang Arab. Hindarilah oleh kalian logat Ahli kitab dan orang-orang fasik, karena akan dating orang-orang yang mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an seperti yang dilakukan para penyanyi dan rahib, yang membacanya tidak melewati tenggorokannya, hati mereka mendapat cobaan, begitu pula hati orang-orang yang kagum terhadap keadaan mereka.” (Ditakhrij Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy).
Menurut An-Nawawy, dianjurkan mencari jenis qira’ah dari suara yang bagus, yang didasarkan kepada hadits shahih, dan tidak ada salahnya beberapa orang membacanya secara kolektif, satu orang membaca sebagian, kemudian dilanjutkan orang lain.
Al-Qurthuby Memperdebatkan Masalah Lagu dan Pengulangan dalam Qira’ah
Al-Imam Al-Qurthuby menyebutkan didalam Mukadimah tafsirnya, masalah tata cara membaca Kitab Allah, apa yang dimakruhkan dan apa yang diharamkan. Dia juga menyebutkan perbedaan pendapat di antara manusia, dan apa yang disebutkannya itu cukup panjang lebar. Inilah, uraiannya :
“Al-Bukhary meriwayatkan dari Qatadah, dia berkata, “Aku bertanya kepada Anas tentang bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka Anas menjawab, “Beliau memanjangkan yang panjang. Apabila beliau membaca Bismillahir-rahmanir-rahim, maka beliau memanjangkan Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim.”
At-Tirmidzy meriwayatkan dari Ummu Salamah, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam biasa memutus bacaan (ayat demi ayat). Beliau mengucapkan, ‘Alhamdulillah rabbi-‘alamin’, berhenti, ‘Arahmanir-rahim, berhenti. Dan Beliau membaca ‘ maliki yaumid-di-n.” menurut At-Tirmidzy, ini hadits gharib. Abu Daud juga meriwayatkan yang serupa dengan ini.
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa Beliau bersabda, “Orang yang paling baik suaranya ialah yang apabila membaca, maka engkau melihatnya takut kepada Allah Ta’ala.”
Diriwayatkan dari Ziyad An-Numairy, bahwa bersama-sama dengan para qari’ dia mendatangi Anas bin Malik. Ada seseorang yang berkata kepada An-Numairy, “Bacalah”. Maka dia pun membaca dengan suara keras sambil berlagu, karena memang suaranya keras. Anas menyikap kain hitam yang biasa dia kenakan untuk menutup wajahnya, sambil berkata, “Ada apa ini? Mereka tidak pernah berbuat seperti itu.” Begitulah yang biasa dilakukan Anas jika melihat sesuatu yang diingkarinya, yaitu dengan menyingkap kain di mukanya.
Diriwayatkan dari Qais bin Ibad, dia berkata, “Para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyukai suara yang keras saat dzikir.”
Diantara mereka yang meriwayatkan ketidaksukaan mengeraskan suara saat membaca Al-Qur’an ialah Sa’id bin Al-Musayyab, Sa’id bin Jubair, Al-Qasim bin Muhammad, Al-Hasan, Ibnu Sirin, An-Nakha’y dan lain-lainnya. Sementara yang memakruhkannya adalah Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, dan mereka semua memakruhkan mengeraskan suara saat membaca Al-Qur’an dan berlagu. Diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyab, bahwa dia pernah mendengar Umar bin Abdul-Aziz mengimami orang-orang dan melagukan bacaannya. Maka Sa’id mengirim utusan kepadanya untuk menyampaikan pesannya, “Semoga Allah memperbaiki Anda. Sesungguhnya para imam tidak membaca seperti itu,” Maka setelah itu Umar tidak lagi melagukan bacaannya. Diriwayatkan dari Al-Qasim bin Muhammad, bahwa ada seorang laki-laki yang membaca Al-Qur’an di masjid Nabawy dengan berlagu. Maka Al-Qasim mengingkari hal itu, seraya dia menukil firman Allah.
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,”(Fushshilat : 41-42)
Diriwayatkan dari Malim, bahwa dia pernah ditanya tentang mengeraskan suara bacaan Al-Qur’an sewaktu shalat. Maka dia mengingkari hal itu dan memakruhkannya dengan sangat. Ibnu Al-Qasim meriwayatkan darinya, bahwa dia pernah ditanya tentang berlagu dalam shalat. Maka yang biasa dilantunkan untuk mendapatkan imbalan.”
Sementara ada golongan lain yang memperbolehkan mengeraskan suara dan berlagu. Sebab jika suaranya merdu, tentu akan lebih mengensankan di hati, lebih enak di dengar dan dan lebih merasuk ke dalam jiwa. Mereka berhujjah dengan sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalin.” (Diriwayatkan Ahmad dan Abu Daud).
ليس منا من لم يتغن بالقرآن
“Bukan termasuk golongan kami yang tidak berlagu dengan Al-Qur’an” (Ditakhrij Muslim).
Begitu pula dengan perkataan Abu Musa kepada Nabi SHallalllahu Alaihi wa Sallam, “Sekiranya aku tahu engkau mendengarkan bacaanku, tentu aku akan membaguskan suaraku sedemikian rupa.”(Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).
Begitu pula riwayat dari Abdullah bin Mughaffal, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca surat Al-Fath dalam perjalanan di atas hewan tunggangannya, dan beliau mengulang-ulang bacaan.” (Diriwayatkan Al-Bukhary).
Yang berpendapat seperti ini ialah Abu Hanifah dan rekan-rekannya, Asy-Syafi’y, Ibnu Mubarak, AN-Nadhr bin Syamil, Abu Ja’far Ath-Thabary, Abul-Hasan bin Baththal, Al-Qadhy Abu Bakar Ibnul Araby dan lain-lainnya.
Al-Qurthuby menekankan pendapat Malik dan orang-orang setuju dengannya, serta menolak hujjah yang disampaikan golongan lain. Tapi dia seperti memaksakan diri dalam penyanggahan hujjah itu dan tidak memuaskan. Dia menyebutkan berbagai penakwilan tentang hadits melagukan Al-Qur’an dan hadits menghiasi Al-Qur’an dengan suara. Dia berkata, “Yang dimaksudkan bukan menurut zhahirnya, tapi dengan cara dibalik, sehingga berbunyi : Hiasilah suara kalian dengan Al-Qur’an. Menurut Al-Khaththaby, memang begitulah yang ditafsiri beberapa imam hadits, yaitu hiasilah suara kalian dengan Al-Qur’an. Menurut mereka, ini termasuk pengertian yang harus dibalik. Yang demikian ini juga diriwayatkan Ma’mar dari Manshir, dari Thalhah, bahwa dia memdahulukan suara atas Al-Qur’an, dan inilah yang benar.
Al-Qurththuby menguraikan panjang lebar berbagai penakwilan tentang hadits berlagu dengan Al-Qur’an ini, diantaranya ada yang bisa diterima da nada yang dipaksa-paksakan. Sedangkan yang tidak bisa diterima seperti yang dinyatakan Ibnu Uyainah dan Waki’, bahwa makna yataghanna (berlagu) di sini ialah yastaghni (membutuhkan).
Di antara yang bisa diterima ialah penafsiran taghanni (berlagu) dengan tahazzun (menampakkan kesedihan), seperti yang dinyatakan Ibnu Hibban dan segolongan orang.
Mereka berhujjah dengan riwayat Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syakhir, dari ayahnya, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mendirikan shalat dan di dalam dada beliau terdengar suara bergolak seperti bergolaknya periuk yang mendidih, karena tangis. Menurut mereka, di sini jelas bahwa yang dimaksudkan dengan hadits itu adalah menampakkan kesedihan. Mereka juga menguatkannya dengan riwayat para imam dari Abdullah, dia berkata, “ Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Bacalah untukku!”Maka aku membaca surat An-Nisa’, hingga aku sampai ke ayat, “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu?” (An-Nisa : 41). Aku melihat ke arah beliau, dan ternyata kedua mata beliau berlinag air mata.
Inilah tiga penakwilan yang semuanya tidak menunjukkan terhadap bacaan dengan berlagu atau diulang.
Menurut Abu Sa’id bin Al-A’raby tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Bukan termasuk golongan kami yang tidak berlagu dengan Al-Qur’an”, bahwa orang-orang Arab sangat gemar kepada lagu dan tembang menurut banyak pendapat. Sehingga mereka suka jila Al-Qur’an itu menjadi kebiasaan mereka sebagai ganti dari lagu. Maka beliau bersabda sepert itu.
Takwil yang bisa diterima ialah takwil orang yang menjadikannya sebagai dalil untuk pengulangan dan pelaguan. Umar bin Syabbah berkata, “Aku menyebutkan kepada Abu Ashim An-Nabil penakwilan Ibnu Uyainah tentang yataghanna menjadi yastaghni. Maka dia berkata, “Ibnu Uyainah tidak berbuat apa-apa. Kami lebih tahu tentang masalah ini. Jika yang dimaksudkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah yastaghni, tentunya beliau akan mengucapkan kata ini dan bukan kata yataghanna. Maka kami pun tahu bahwa yang dimaksudkan memang adalah berlagu.” Ath-Thabary berkata, “Menurut yang kami ketahui tentang perkataan dalam Bahasa Arab, bahwa makna yataghanna adalah berlagu, yang suaranya bagus dan merdu. Seorang Penyair berkata,
Berlagulah dengan syair apa apun yang kau katakan
Karena lagu dari syair itu ibarat paku yang tajam
Adanya anggapan bahwa makna yataghanna adalah yastaghni, sama sekali tidak dikenal dalam perkataan Bahasa Arab, tidak pula dalam syair-syair mereka serta tak seorang pun di antara ulama meerka yang berkata seperti itu.
Yang dekat dengan hal itu ialah apa yang disebutkan di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah tidak mengizinkan bagi sesuatu pun seperti yang diizinkan-Nya bagi seorang nabi kebagusan suara untuk melagukan Al-Qur’an dan menyaringkannya,” Menurut Ath-Thabary, sekiranya yang benar seperti yang dikatakan Ibnu Uyainah, tentunya tidak ada maknanya beliau menyebutkan kebagusan suara dan menyaringkannya.
Abul- Hasan bin Baththal berhujjah dengan madzhab Asy-Syafi’y, dia berkata, “Kerumitan dalam masalah ini bisa diselesaikan dengan apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, yang menyatakan, ‘Kami diberitahu Zain bin Al-Habbab, dia berkata, ‘Kami diberitahu Musa bin Ali bin Rabbah, dari ayahnya, dari Uqbah bin Amir, dia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Pelajarilah Al-Qur’an dan berlagulah dengannya serta tulislah ia. Demi yang jiwaku ada di Tangan-Nya, yang demikian itu lebih mudah lepas dari onta yang terikat.”
Al-Qurththuby menyatakan, kalaupun sanad hadits ini shahih, maka yang demikian ini tertolak oleh apa yang sudah diketahui secara pasti dari berbagai macam qira’ah yang sampai kepada kami secara mutawatir, dari seluruh syaikh, generasi demi generasi hingga sampai ke masa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa dalam qira’ah itu tidak ada lagu, meskipun banyak muncul orang-orang yang mendalami makhraj huruf-huruf, dalam masalah mad, idgham, izhhar dan lain-lainnya tentang tata cara qira’ah. Sedangkan dalam pengulangan terkadung kerancuan, yaitu ketika satu alif diulang menjadi beberapa alif, satu wau diulang menjadi beberapa wau, sehingga yang demikian itu akan memberikan tambahan terhadap Al-Qur’an, yang tentunya tidak diperkenankan.
Menurut Al-Qurththuby, perbedaan pendapat ini terjadi hanya karena tidak ada pemahaman yang memadai tentang makna Al-Qur’an, dengan mengulang-ulang suara, yang jika melebihi takaran tentu akan sulit dipahami maknanya. Tentu saja hal ini haram hukumnya, seperti yang banyak dilakukan para qari’ di Mesir, yang biasanya mereka itu membaca Al-Qur’an di hadapan raja-raja atau jenazah, dan setelah itu mereka mendapatkan imbalan. Apa yang mereka lakukan itu sesat dan amal meeka sia-sia. Karena dengan begitu mereka bisa mengarahkan kepada perubahan Kitab Allah dan mendorong diri sendiri untuk berbuat lancang terhadap Allah, karena menambah-nambahi wahyu yang diturunkannya, disebabkan kebodohan tentang agama, menyimpang dari Sunnah Rasul-Nya, menolak kebiasaan salah yang shalih, condong kepada apap yang dimaui syetan-syetan. Mereka menganggap apa yang dilakukannya itu baik, padahal pada hakikatnya mereka mempermainkan Kitab Allah.
Para ulama kita berkata, ‘Yang demikian itu menyerupai perbuatan para qari’ pada zaman sekarang, yang membacakan Al-Qur’an di hadapan acara-acara pertemuan dengan orang-orang asing, mereka melakukan apa yang dilarang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Adapun makna mengulang bacaan ialah mengulang huruf-hurufnya seperti bacaan orang-orang Nasrani. Sementara tartil dalam bacaan ialah bacaan secara berlahan-lahan dan pelan, jelas dan terperinci huruf perhurufnya, begitu pula harakatnya, menyerupai permukaan gigi yang rata dan tersusun rapi. Inilah yang dituntut ketika membaca Kitab Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Al-Muzammil :4).
Ummu Salamah pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dan shalat beliau. Maka dia menjawab, “Ada apa dengan shalat beliau?” Lalu dia meniru bacaan beliau. Jika dia mengambarkannya, seperti dia sedang menafsiri huruf perhurufnya. (Ditakhrij An-Nasa’y, Abu Daud dan At-Tirmidzy. Menurutnya, ini adalah hadits hasan shahih gharib).
Yang tak jauh berbeda dengan hal ini ialah apa yang diingkari Al-Imam As-Sakhawy tentang bacaan pada masanya, bahwa mereka menciptakan bacaan Al-Qur’an dengan suara berlagu. Dia berkata, “Mereka juga menciptakan model yang disebut tar’id, yaitu menggetarkan suara seperti orang yang gemetar karena kedinginan atau karena sakit, yang ditimpali dengan logat tertentu dan lagu. Model lain disebut tarqish, yaitu berhenti beberapa lam, lalu melanjutkan lagi seperti sedang menghadapi musuh. Yang lain lagi disebut tarhrib, yaitu membuat cengkok dan lekukan suara, sehingga muncul mad pada huruf yang mestinya bukan mad, sementara yang mad lebih dipanjangkan lagi, agar terpenuhi kriteria tathrib yang dimaksudkan itu. Maka tidak heran jika muncul bacaan yang sama sekali tidak diperbolehkan dalam Bahasa Arab. Yang lain lagi disebut tahzin, yaitu membaca dengan nada yang sedih sambil menangis. Para syaikh tidak melakukan hal ini karena dianggap riya’. Sedangkan bacaan yang kami lakukan ialah bacaan yang mudah dan secara tartil, jelas lafazh-lafazhnya, tidak keluar dari tabiat orang Arab dalam perkataan orang-orang yang fasih.”
Kekerasan Al-Imam As-Sakhawy, Al-Imam Al-Qurththuby, para ulama Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka dalam masalah pengulangan dan berlagu, patut mendapat perhatian para qari’ pada zaman sekarang tentang pentingnya mengambil jalan tengah dalam qira’ah, tidak berlebih-lebihan dalam berlagu. Al-Qur’an bukanlah perkataan biasa sehingga bisa diiringi dengan tabuhan alat musik, tapi ia merupakan kalam Allah. Maka selayaknya jika ia harus diagungkan dan dihormati.
download
[1] Al-Haitsamy menyebutkan di dalam Az-Zawa’id, 7/171, dan dia menyatakan bahwa Ath-Thabrany juga meriwayatkan, dan di dalamnya ada Sa’id bin Abu Rizq, dia adalah dha’iff.