Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (Ibrahim:32-34)
Makna Taskhir
Dalam ayat di atas kita temukan kata sakhkhara berulang-ulang. Dari kata sakhkhara kata taskhir diambil. Imam Al-Asfahani menyebutkan makna taskhir adalah “pemberdayaan sesuatu untuk tujuan tertentu secara paksa (tanpa alternatif). (lihat Ar-Raghib, Mufradaat alfadzil Qur’an, (Damaskus, Darul Qalam 1992) h. 402). Dikatakan secara paksa (qahran) karena bagi sesuatu yang ditundukkan as-sukhriy tidak ada pilihan kecuali mengikuti kehendak dan keinginan yang memberdayakannya. Dengan mengikuti terjemahan Al-Qur’an versi Depag kata sakhkhara diartikan menundukkan. Dalam Al-Qur’an setiap kali disebut kata sakhkhara, hampir selalu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa segala ciptaan Allah di langit dan di bumi ditundukkan untuk mengikuti system “sunnatullah” yang telah Allah letakkan.
Kerapian alam semesta yang demikian mengagumkan ini, menunjukkan bahwa segala sesuatu di alam ini telah Allah tundukkan, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang” (Al-Mulk:3) Allah mengajak dengan ayat ini agar manusia benar-benar menyaksikan dengan mata kepalanya betapa ciptaan Allah tidak ada yang main-main. Perhatikan dan perhatikan sekali lagi jika masih ragu. Kau tidak akan pernah menemukan kerancuan dan ketidakseimbangan. Kalau masih ada sebagian sisi yang belum kamu lihat, coba lihat sekali lagi dan sekali lagi. Sungguh tidak akan pernah ada yang tidak seimbang.
Gaya ungkap yang sangat menantang dan meyakinkan tersebut, setidaknya mengindikasikan gambaran taskhir Allah yang sangat sempurna terhadap alam semesta dan segala isinya. Pun setidaknya ini membuat manusia semakin terhentak akan kelemahan dirinya. Apa lagi ilmu pengetahuan yang dicapainya kian menampakkan kenyataan dari sebagian sisi yang sangat luar biasa itu. Tidak ada pilihan sebenarnya bagi manusia kecuali harus tunduk secara total kepada Allah sebagai hamba-Nya. Allah berulang-ulang menegaskan hakikat taskhir ini dalam Al-Qur’an, pada hakikatnya untuk menguatkan makna kehambaan ini. Bahwa manusia diciptakan bukan untuk menandingi kemahadahsyatan Allah, sebab ia dengan segala yang terdahsyat dari kemamampunnya tidak lebih dari hanya karunia-Nya. Dengan menyaksikan keagungan ciptaan ini, hati manusia secara perlahan akan terbuka, untuk kelak bisa menerima cahaya keimanan secara sempurna.
Dengan kata lain, taskhir adalah sunnatullah dalam segala wujud. Tanpa taskhir kehidupan di alam ini dipastikan telah berakhir. Tak terkecuali manusia, ia harus mengikuti proses taskhir ini secara sekasama. Dan tidak ada aturan taskhir yang paling sempurna dan menentukan bagi keselamatan hidup manusia kecuali aturan Allah SWT. Sebab Dialah Sang Pencipta, maka Dialah yang paling berhak menentukan aturan sesuai dengan tujuan yang diinginkan-Nya.
Beberapa Bukti Keharusan “Taskhir”
Ada beberapa bukti dalam ayat di atas bahwa Allah memberdayakan ciptaannya di langit dan di bumi untuk kebutuhan hidup manusia:
(a)“Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu”. Di sini ditegaskan bahwa langit yang demikian agung ini, ditegakkan tanpa tiang, bumi dengan segala isinya, pun hujan yang sedemikian sistematis Allah turunkan, semuanya tidak lain sebagai rezki bagi manusia.
Kata rezki sering kali dipahami sebatas hasil usaha yang dilakukan seseorang. Ayat di atas menggambarkan bahwa rezki meliputi setiap nikmat yang kita terima dari Allah SWT. Penciptaan langit, bumi dan semua galaksi, termasuk perputarannya secara sistematis, yang menyebabkan turunnya hujan dan tumbuhnya pohonan, adalah rezki yang sangat agung tapi sering manusia lalaikan. Di antara rezki yang paling nampak di mana manusia tidak akan pernah mampu membuatnya dengan alat teknologi yang paling canggih sekalipun, adalah buah-buahan “tsamaraat”. Buah yang dihasilkan dari pohonan ini hanya Allah-lah yang mengatur prosesnya secara alamiyah. Tidak ada seorang pun yang mampu bisa mendatangkannya tanpa proses alamiyah tersebut.
(b) Di antara yang Allah tundukkan adalah kendaraan manusia di lautan, “Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak–Nya”, benar manusia dengan kemampuannya bisa membuat bahtera. Tetapi bahtera tersebut Allah yang menundukkannya sehingga ia bisa terapung. Bila Allah berkehendak untuk menenggelamkannya, bahtera tersebut akan tenggelam kapan saja. Sebuah kapal laut raksasa “Titanic” yang diyakini pembuatnya tidak akan pernah tenggelam, pada akhirnya ia harus mengalami kondisi yang sangat mengenaskan. Air laut menelannya di luar kemampuan segala upaya yang telah dilakukan para awak untuk menyelamatkannya. Tidak hanya kendaraan di lautan, di udara pun Allah yang menundukkannya. Kecanggihan teknologi yang dicapai manusia modern dalam pembuatan kapal udara memang telah memperlihatkan bukti yang sangat mengagumkan. Tetapi itu semua harus tetap diyakini sebagai bukti kekuasaan Allah, bukan semata kehebatan manusia. Mengapa? Sebab Allahlah yang menundukkan kendaraan udara tersebut. Dan banyak bukti dari pesawat udara yang jatuh karena kehendak Allah. Padahal menurut perhitungan manusia ia sudah diupayakan secara maksimal untuk tidak jatuh.
(c) Sungai-sungai juga Allah tundukkan, “dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai”. Dari bumi dan batu-batu bila Allah berkehendak memancarlah air sungai. “di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya” (Al-Baqarah:74). Perhatikan bagaimana Allah menceritakan kenyataan ini dengan sangat gambling. Manusia dengan kehebatan ilmunya belum pernah mampu menciptakan air. Apalagi memancarkan air sungai yang demikian banyaknya dari batu-batu, yang secara akal tidak mungkin ada air di dalamnya. Dengan air sungai tersebut manusia bisa memberi minum binatang ternak yang mereka pelihara, bisa menyiram pohon yang mereka tanam dan seterusnya yang pada intinya dengan air tersebut kehidupan manusia bisa berlanjut. “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup” (Al-Anbiya:30).
(d) Allah juga menundukkan matahari dan bulan, “dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya)”. Matahari dan bulan tersebut berputar pada porosnya. Seperti juga galaksi yang lain yang jumlahnya jutaan bahkan milyaran. Semua itu Allah ciptakan untuk mendukung kehidupan di bumi. Jika semuanya itu tidak Allah tundukkan niscaya kehidupan di bumi sudah berakhir, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Berbagai penemuan ilmu pengetahuan membuktikan bahwa perjalanan matahari dan bulan benar-benar telah tertata rapi dengan jarak yang sangat tepat. Bila terjadi pergeseran barang 1cm, itu akan menyebabkan kehancuran kehidupan di bumi. Allah tidak pernah main-main dalam menegakkan kehidupan di ala mini. Hanya sayangnya manusia selalu melalaikan hakikat ini. “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”. (Yasin:40)
(e) Allah juga tundukkan siang dan malam, “dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. Dengan adanya siang dan malam manusia bisa menjalani hidupnya secara seimbang. Seandainya hidup ini siang saja, atau malam saja, bisa dipastikan manusia akan stress. Imam Syafi’I menyebutkan dalam syairnya, “andaikan matahari berhenti di ufuk timur selamanya, niscaya manusia akan bosan (stress) di manapun berada”. Pernyataan Imam Syafi’e menggambarkan tabiat manusia. Bahwa manusia selalu menginginkan perubahan. Ia tidak bisa hidup di satu titik. Ia membutuhkan siang untuk mencari nafkah hidupnya, sebagaimana juga membutuhkan malam untuk istirahat. “Dan Kami jadikan malammu sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” (An-Naba:10-11) Dan karena rahmat–Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia–Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada–Nya. (Al-Qashash:73) Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan–Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah–Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. (Al-A’raf:54) Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Luqman:29)
Tugas Utama Manusia: Memberdayakan Diri Untuk Allah
Kata rizqan lakum (sebagai rezki untukmu) dan sakhkhara lakum (menundukkan untukmu) seperti pada ayat di atas telah mengesankan beberapa makna: (1) Bahwa manusia adalah makhluk yang sangat Allah muliakan. Artinya ketika Allah menciptakan matahari, menurunkan hujan, menyediakan laut, sungai dan seterusnya itu semua tidak lain hanyalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Karenanya yang Allah panggil dalam Al-Qur’an, untuk menjalankan tugas-tugas di bumi adalah manusia. Para Nabi Allah utus dari golongan manusia. Seruan yaayyuahannas atau yaayyuhalladzinan amanuu yang demikian banyak dalam Al-Qur’an itu maksudnya manusia. Termasuk dhamir “kum” dalam ayat di atas arahnya kepada manusia. Dari segi bentuk fisik pun penciptaan manusia juga Allah pilihkan yang terbaik “ahsanu taqwiim”. Semua ini mengindikasikan pentingnya posisi manusia di atas bumi. Maka sungguh celaka manusia yang mengabaikan kemuliaan posisi ini lalu memilih posisi yang sangat rendah “asafala saafiliin”. Tunduk semata pada tuntutan hawa nafsunya sehingga ia terjerembab dalam gaya hidup seperti binatang atau lebih rendah lagi “ulaaika kal an’aam balhum adhallu waulaaika humul ghaafiluun”.
(2) Bahwa amanah penciptaan langit dan bumi diserahkan kepada manusia. Terserah untuk ia manfaatkan. Sebagai sarana pengabdian kepada Allah atau kepada setan? Manusia diberi dua pilihan: jalan syukur atau kufur. Bila jalan syukur ia tempuh ia akan menjadi selamat di dunia dan akhirat. Sebaliknya bila jalan kufur yang dipilih ia akan menuai kecelakaan. Dalam surat Al-Jatsiyah Allah menegaskan, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada–Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS. 45:13) Perhatikan bahwa proses pemberdayaan ciptaan Allah ini sebagai rahmah (kasih sayang Allah) yang tak terhingga kepada manusia. Untuk apa? Supaya manusia beriman dan tunduk hanya kepada-Nya. Dalam rangka ini manusia harus menggunakan akalnya. Itulah makna dari ayat: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Surat Al-Hajj lebih tegas lagi menggambarkan eratnya pemberdayaan ciptaan alam dengan keharusan sikap syukur, Allah berfirman, “Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. 22:36). Mensyukuri nikmat yang sedemikian agungnya adalah bagian dari tugas utama manusia. Syukur artinya merasakan agungnya nikmat Allah dan menampakkannya sebagai amanah yang harus dipikul sesuai dengan kehendak Pemberinya. Kebalikan syukur adalah kufur. Kufur artinya melupakan nikmat yang diterimanya dan berusaha untuk mengingkarinya (lihat Ar-Raghib, h. 461). Perhatikan ayat “”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku)”kafartum”, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Ibrahim:7)
(3) Allah selalu mengajak manusia dengan pendekatan yang sangat mendidik dan persuasif. Kepada rasul-Nya pun mengajarkan “lasta alaihim bimusaithir”. Tidak ada unsur paksaan, melainkan dengan mengingatkan akan keagungan nikmat yang diberikan kepadanya. Itulah cerminan dari makna rizqan lakum dan sakhkhara lakum. Seakan ditampakkan di depan matanya bukti-bukti yang sangat dekat dengan dirinya dan begitu akurat, sehingga akalnya tidak bisa membantah. Karenanya pada ayat selanjutnya Allah berfirman: Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghinggakannya. Ungkap seperti ini terus diulang-ulang dengan gaya yang sangat indah, variatif dan menggelitik. Siapapun yang membaca Al-Qur’an dengan mata hatinya akan tunduk bersujud, mempersaksikan dirinya sebagai hamba-Nya dan akan berkata seperti yang direkam dalam ayat, “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imran:191) “Maha Suci Dia yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal sebelumnya kami tidak mampu menguasainya (Az-Zukhruf:13)
(4) Bahwa setelah nikmat-nikmat yang terjangkau jumlahnya itu, sekalipun dihitung dengan kalkulator yang paling canggih, ada tugas yang harus dipikul oleh manusia. Bahwa manusia kelak di Hari Kiamat, akan mempertanggungjawabkan sekecil apapun dari nikmat-nikmat tersebut. Kepada apa saja nikmat-nikmat itu di gunakan? Karenanya selalu diingatkan dengan kata rizqan lakum dan sakhkhara lakum. Supaya tersadar bahwa semua itu diberikan bukan sekadar pemberian tanpa makna. Bahwa semua itu diterima dengan segala konsekuensi yang harus direalisasikan. Bila proses realisasinya salah, ia akan menuai siksaan. Dan bila realisasinya sejalan dengan aturan Sang Pemberi ia akan menuai pahala yang setimpal. Dengan kata lain, setelah nikmat-nikmat itu diberdayakan untuk manusia secara maksimal, maka tidak ada pilihan bagi manusia kecuali memberdayakan dirinya untuk Allah semata. Sekecil apapun yang ia lakukan hendaknya selalu dalam rangka menegakkan ajaran-Nya, dalam diri, rumah, masyarakat dan negaranya.
Hanya saja, sangat sedikit manusia yang menyadari hakikat “waqalilum min ibadiyasy syakuur”. Mereka lebih suka mengutamakan kepentingan dunia dari pada akhirat, “bal tu’tsiruunal hayatad dunya”. Karena itulah pada penutup ayat di atas Allah berfirman, “Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” Wallahu a’lam (dkwt)