Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
Menumbuhkan Perasaan Kolektif
alhikmah.ac.id – Seusainya perang Badar petugas logistik mengamati pejuang-pejuang Islam yang terluka. Sambil diobati juga diberikan makan atau minum yang dibutuhkannya. Saat sedang melayani orang-orang yang memerlukan bantuannya. Petugas ini mendengar ada suara orang yang meminta air karena rasa haus yang mencekik. Petugas tersebut mendatanginya. Namun ketika akan dituangkan pada mulut orang itu terdengar pula suara orang yang juga berhajat pada air. Lalu orang pertama yang membutuhkan air itu berujaar pada petugas logistik itu. “Berikan air itu padanya, dia lebih membutuhkannya ketimbang diriku!”. Maka petugas itu segera menemui orang kedua itu. Akan tetapi ketika akan diminumkan air, orang kedua ini mendengar ada arang lain yang juga membutuhkannya. Orang keduapun mengatakan, “Berikan air itu padanya dia lebih butuh daripada saya”. Petugas itupun segera mencari-cari sumber suara tadi. Rupanya orang ketiga yang membutuhkan air ketika ia jumpai sudah meninggal dunia. Secepat kilat peetugas itu mendatangi orang kedua tadi. Akan tetapi keduapun telah meninggal dunia. Iapun berlari menjumpai orang pertama. Begitupun orang pertama, ia dapati telah meninggal dunia.
Itulah kisah manusia yang diabadikan sepanjang sejarah. Mereka ditautkan oleh perasaan kolektif pada dirinya masing-masing. Perasaan bahwa saudaranya adalah dirinya. Merasa sakit apabila saudaranya sakit. Dan bahagia bila saudaranya bahagia. Saudaranya adalah cermin sejati bagi dirinya. Perasaan kolektif ini bagaikan saraf yang memadukan aneka ragam organ dalam tubuh. Dengan itu setiap organ mempunyai investasi pada satu gerakan organ lainnya.
Ukhuwah merupakan wujud perasaan kolektif dalam bermuamalah antar manusia. Ia menyatukan irama hati dari bermacam-macam orang. Ia akan menjadi harmonika yang merdu dalam sebuah simponi. Alunan simponi yang indah ini dapat menjadi suatu kekuatan besar dalam membangun umat.
Umar bin Khathab menangis terisak-isak tatkala ia mengetahui ada rakyatnya dirundung kelaparan. Umar mengangkat sendiri bahan pangan untuk rakyatnya yang sedang menderita.
Khalifah Sulaiman Al-Manshur tidak bisa berdiam diri ketika ia mendengar ada seorang muslimah yang teraniaya di Byzantium. Khalifah mengajak rakyat untuk membebaskan wanita tersebut.
Hasan Al-Banna memberikan sokongan yang besar atas perjuangan bangsa Indonesia mengusir kolonial Belanda. Al-Imam menerima kunjungan para diplomat Indonesia dengan antusias dan mengajak para pemimpin Mesir untuk turut mendukungnya. Demikianlah pengakuan M. Hasan Zein penulis Diplomasi Revolusi di Luar Negeri.
Itulah perasaan kolektif menjadi gelombang besar yang dapat menggerakkan sebuah kekuatan umat. Akan tetapi perasaan kolektif ketika manusia hidup dengan sikap dan gaya individualistik. Sikap ini menjadi barang langka yang jarang ditemukan.
Sikap individualistik mendorong manusia bersikap acuh tak peduli pada urusan orang lain. Bahkan pada urusan yang bersifat hidup matinya seseorang. Tidak mengherankan pada pergaulan masyarakat di hari ini tidak lagi mempedulikan apa yang dialami orang lain. Sebelah rumahnya sedang kesusahan ia tidak mengetahuinya. Tetangganya sedang merenggang nyawa ia tidak mendengarnya.
Tidaklah aneh saat ini apabila orang mengenal tetangganya bukan ketika bercengkerama di rumahnya, melainkan ia mengetahui tetangganya itu di tempat yang jauh dan terjadi pada kurun waktu yang cukup lama setelah bertetangga.
Dalam sebuah pesta besar, ada seorang pria terheran-heran pada kenalannya di pesta itu. Pasalnya, kenalan barunya itu adalah tetangga sebelah rumahnya. Padahal mereka telah lama hidup saling bertetangga. Aneh memang tapi begitulah gaya hidup masa kini.
Islam memandang buruk sikap demikian. Karena perasaan kolektif menjadi bukti keimanan. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu menjalin perasaan kolektif ini. Ia adalah nadi dari geliat umat ini
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantaramu apabila tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Bagi kader dakwah perasaan kolektif ini tidak boleh berhenti denyutnya. Berhentinya akan berdampak pada lambannya mobilitas kader untuk mengemban tugas mulia. Juga akan kehilangan kendali arah sehingga alur roda itu berputar tanpa arah. Setiap kader wajib merawat dan meningkatkan perasaan kolektif ini agar ia tumbuh, berkembang dan berbuah.
Ukhuwah, Bahasa Amal
Abdullah Ibnul Mubarak rahimahullah menceritakan kisah tentang tukang sol sepatu yang menunda pergi hajinya karena uang yang dipersipakan untuk berangkat ke Baitullah Al-Haram diberikan pada tetangganya yang kelaparan. Namun banyak teman-temannya yang berangkat menunaikan ibadah haji melihat tukang sol sepatu itu berada di tanah suci. Dalam mimpi Ibnul Mubarak rahimahullah, tukang sol sepatu itulah orang yang termasuk diterima ibadah hajinya oleh Allah SWT.
Kisah diatas tentu bukan persoalan maqbulnya ibadah haji yang dilakukannya. Akan tetapi yang saya maksudkan disini adalah sikap arif tukang sol sepatu itu. Sikapnya yang penuh perhatian pada nasib tetangganya, nasib saudaranya sesama muslim. Ia rela menyerahkan harta yang ia kumpulkan dari jerih payahnya berbulan-bulan kepada saudaranya sesama muslim.
Begitulah bahasa amal. Ia merupakan amalan bukan sekedar teori. Artinya sikap itu dilakukan secara refleks tidak perlu kalkulasi yang amat teliti. Tukang sol sepatu itu tahu betul apa yang mesti diputuskan pada saat-saat yang tepat.
Ukhuwah adalah bahasa amal bukan bahasa teori atau konsep. Sikap ini pancaran kebiasaan yang berasal dari sinar keimanan. Sinar keimanan yang lahir dari pembiasaan watak dan prilaku para pemiliknya. Karena itu, sikap ini tidak dapat dihambat oleh berbagai kalkulasi material. Ia begitu lancar untuk bertindak cepat memutuskan pilihan-pilihan sulit baginya. Ia tidak mempedulikan keuntungan apa yang bakal diperoleh malah ia rela mendapatkan kerugian bagi dirinya asalkan saudaranya meraih kebahagian atas sikapnya. Subhanallah, teramat indah bahasa amal itu.
Dari Mana Kita Memulainya
Seorang teman berbinar-binar matanya menyiratkan rasa haru dalam hatinya. Ia mengatakan baru saja menerima telepon dari kawannya yang menanyakan kabar berita tentang diri dan keluarganya. “Saya senang dan terharu, sekian lama saya tidak pernah mendengar berita kawan saya. Tiba-tiba, kali ini dia menyampaikan kabar beritanya dan menanyakan keadaan saya. Rasanya tali yang putus kembali tersambung”. Ungkapnya gembira.
Bila kita melihat cerita pengalaman seorang teman tadi. Sepertinya sederhana sekali untuk menyambung lagi tali persaudaraan yang nyaris putus. Dengan menanyakan kabar teman di seberang telepon hubungan itu kembali hangat. Kehambaran itu sirna dengan segera.
Rasulullah SAW. memberikan resep sederhana untuk dapat mengikat kembali tali-tali yang putus hingga dapat menghimpun hati-hati yang retak. Beliau mengatakan: “Sebarkanlah salam, berikanlah makan dan dirikanlah shalat malam”. Resep ini memang terkesan sangat simple.
Pertama, menyebarkan salam. Dalam kegiatan ini bisa dijabarkan dengan bermacam-macam perlakuan, diantaranya bertanya bagaimana kabarnya, keluarganya, istri dan anaknya? Baik-baikkah mereka. Bagaimana mereka selama ini. Adakah yang sakit. Adakah yang mendapatkan musibah atau adakah diantara mereka yang telah dianugerahi Allah kebaikan yang dapat menyenangkan orang banyak. Dapat saling mendoakan keadaan masing-masing agar meraih kemudahan dalam menjalani aktifitas hariannya serta mendapatkan karunia dari Allah sehingga meredam rasa berat dalam menerima ujian dan cobaan hidup. Dan banyak lagi segudang ungkapan untuk memulai menyebarkan salam antar sesama kader.
Inti masalahnya adalah bagaimana menyebarkan salam itu menjadi sebuah media komunikasi antar sesama kader agar tetap terjalin dengan baik, sehingga mereka tidak kehilangan informasi dan kendali arah. Komunikasi yang harmonis dibangun atas dasar hubungan manusiawi yang utuh dari berbagai dimensi bukan pada hubungan formalitas apalagi hiasan bibir semata.
Menjalin komunikasi yang harmonis ini menjadi kebutuhan asasi masyarakat modern, karena dengan komunikasi ini manusia menemukan eksitensi dirinya sebagai makhluk yang multi dimensional. Makhluk yang dihargai oleh lingkungan sekitarnya. Saat ini banyak kita temukan orang yang kehilangan rasa, termasuk rasa dalam berkomunikasi ketika bergaul antar sesama. Makanya banyak orang berupaya mencari tempat kongkow-kongkow hanya sekedar mendapatkan sebuah tali komunikasi yang tidak diikat oleh formalitas kehidupan. Sehingga mereka bisa berbicara dan tertawa lepas yang selama ini tidak mereka temukan karena masih dirasakan terdapat dinding pembatas hati mereka.
Komunikasi yang harmonis bagi masyarakat barat amat mahal, karena selama ini mereka menjalani kehidupan ini secara mekanik. Melakoni satu babak kehidupan ke babak berikut bagai mesin yang rutin berputar. Tanpa seni yang menyentuh ruang hati manusia yang paling dalam. Kondisi ini membuat mereka berupaya untuk menemukan format baru dalam berkomunikasi dengan sesama. Diantaranya mereka mengadakan pasar loakan setiap hari libur sebagai sarana mereka berkomunikasi. Mereka bisa saling tawar menawar suatu harga barang yang selama ini mereka jualbelikan dengan mesin atau robot. Mereka dapat saling menyapa untuk menanyakan dimana tinggalnya, dari mana asalnya, sudah berapa lama tinggal di daerah itu dan sapaan lainnya. Dari saling menyapa itulah hubungan yang kaku diantara mereka mencair seketika, akhirnya mereka begitu akrab satu sama lainnya.
Abbas Asisi salah seorang murid Hasan Al-Banna selalu membuka komunikasi dengan banyak orang yang ia jumpai. Melalui komunikasi itulah ia membuka peluang dakwah di hati mitra bicaranya. Bahkan pernah ia kesulitan dengan apa memulai berkomunikasi kepada orang yang ada di hadapannya. Namun ia menemukan juga jalan ke arah itu. Yakni ia menginjak kaki orang tersebut sehingga orang itu memarahinya. “Apa matamu buta? mengapa kamu injak kaki saya”, hardik orang tersebut. Abbas Asisi menjawab, “Maaf tuan, mata saya memang rabun sehingga saya tidak begitu jelas melihatnya”. Dengan pengakuan itu orang tersebut malah meminta maaf atas ucapannya tadi lalu perbincangan akhirnya berlanjut pada tema-tema lainnya yang kemudian menyentuh tema-tema dakwah.
Begitulah mumpuninya komunikasi dalam bergaul antar sesama yang dapat meluluhkan hati-hati yang keras membatu. Orang bijak mengatakan, ‘berkomunikasilah karena ia seni kehidupan‘.
Seorang sahabat merasa tersanjung ketika Rasulullah SAW jalan beriringan di sampingnya sambil beliau menanyakan keadaannya. Sikap ini menunjukkan betapa manisnya pergaulan yang dilakukan Rasulullah SAW. kepada sahabatnya begitupun sebaliknya.
Media berkomunikasi saat ini sangat banyak apalagi kemajuan teknologi dapat menunjang pelaksanaannya. Berkomunikasi dapat dilakukan melalui silaturrahmi atau mengunjunginya. Dengan mengunjungi kita dapat menuangkan berbagai suasana hati. Dapat saling bertatap muka, saling bertegur sapa dan saling mengekspresikan ruat wajah yang dapat disaksikan oleh mitra bicara.
Berziarah atau mengunjungi saudaranya yang muslim merupakan sebagian tanda keimanan. Karena ia adalah hak sesama muslim. Dengan mengunjungi kita dapat berkomunikasi dan berbagi perasaan, pengalaman, pelajaran serta berbagi lainnya.
Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia silaturrahim”. (H.R. Muslim)
Dan komunikasi dapat pula dilakukan lewat piranti teknologi canggih sekarang ini, bisa melalui telepon, internet, email, surat atau media-media lainnya.
Kedua, memberi makan (hadiah). Hadiah pertanda penghargaan dan kasih sayang. Ia wujud atensi yang dalam. Karenanya hadiah jangan dipandang dari nilai nominalnya akan tetapi lihatlah bahwa adalah ekspresi kecintaan.
Rasulullah SAW. bersabda: “Salinglah berbagi hadiah niscaya kalian akan saling mencintai”. (H.R. Tirmidzi)
Hadiah sebagai media mengungkapkan kata hati pada seseorang dalam kondisi tertentu. Maka tidaklah naif memberikan hadiah yang sepertinya tidak begitu bernilai. Sebab ia adalah bentuk visualisasi dari atensi yang besar. Oleh karena itu tidak perlu merasa malu untuk memberikan hadiah yang tidak mewah atau mahal. Malah dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ada seorang sahabat Nabi SAW. yang memberikan hadiah berupa sekerat kurma kepada saudaranya, Nabi SAW. mendengar berita itu tersenyum bahagia. Duhai mulianya ia yang mau memberikan hadiah meski kondisi hidupnya dalam kesulitan.
Memang alangkah bagusnya bila mampu memberikan hadiah yang menarik serta bernilai lebih. Apalagi hadiah yang diberikan kepada saudaranya sangat ia sukai.
Firman Allah SWT.
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Ali Imran: 92)
Ketiga, melaksanakan shalat malam (doa). Persoalan hati manusia adalah persoalan yang penuh misteri. Hati merupakan ruang yang luas lagi dalam. Ia bagaikan samudera lepas. Sedikit sekali manusia yang dapat menyelami samudera hati.
Muamalah antar manusia juga bagian dari gerakan hati. Ia akan terkait tatkala hatinya sudah tertambat. Ia akan terurai ketika hatinya liar. Permasalahannya tampaknya rumit dan jelimet. Akan tetapi menjadi sederhana ketika conecting langsung pada pemiliknya. Dialah Allah Pemilik hati manusia yang mampu membolak-balikan gerakan hati secara dratis.
Menjalin hubungan langsung pada si Empunya hati manusia secara rutin dapat menjadi sebuah kekuatan besar yang mampu menghimpun aneka ragam hati manusia. Bahkan Dia dapat mengendalikan hati-hati yang liar. Hubungan dengan Sang Penakluk Hati diantaranya dapat diwujudkan dengan panjatan doa untuk diri dan saudaranya.
Doa menjadi media perantara untuk merajut hati yang retak. Melancarkan sumbatan-sumbatannya. Untuk mencapai sasaran tersebut, Hasan Al-Banna mengajak para pengikutnya untuk membaca doa Rabithah selepas mengikuti majelis pertemuannya. Sebagai upaya mendayagunakan kekuatan doa untuk mengikat dan menyatukan hati manusia. Disamping itu agar hati yang kering lagi tandus menjadi basah dan subur.
Semua resep sederhana di atas akhirnya berpulang pada satu kalimat. Ibda’ binafsik. Mulailah dari darimu sendiri. Artinya setiap individu segera untuk memulainya, menjadi pelopor. Tidak perlu menunggu orang lain memberi aba-aba untuk memulainya. Apalagi menanti siapa yang akan memulainya. We are first begining. Wallahu a’lam. (dkwt)