Oleh : Gilang ( Alumni STID DI Al-Hikmah ’49)
Hari itu Yatsrib (sebutan Madinah di masa lalu) berbahagia. Bukan tanpa alasan, kebahagiaan itu bersumber dari kabar akan datangnya seorang manusia mulia, manusia yang menjadi penutup dari para pembawa risalah sebelumnya, manusia yang diutus oleh Allah untuk seluruh ummat manusia, ialah Rosulullah, Muhammad ﷺ. Kedatangan beliau ﷺ ke Madinah bukan sekedar untuk mampir atau rehat dari perjalanan, tapi untuk tinggal dalam waktu yang cukup lama dan membangun pusat dakwah baru setelah mendapatkan banyak penolakan, pengusiran dan ancaman pembunuhan atas risalah yang beliau ﷺ bawa di Mekah. Allah perintahkan untuk hijrah ke tanah yang mulia, Madinah.
Ditengah euforia kebahagiaan Madinah yang dipenuhi keberkahan dan kedamaian, bersahutan takbir dan kalimat talbiyah atas hadirnya sang Rosulullah ﷺ . Ada sosok lelaki yang tampak tidak ikut senang seperti penduduk lainnya. Padahal Rosulullah ﷺ bukanlah seorang raja sewenang-wenang yang mendatangi rakyatnya. Bukan seorang kaya yang menyombongkan hartanya. Bukan pula pemberontak yang merampas hak dan kedamaian. Beliau ﷺ hanyalah seorang Nabi dan Rosul utusan Allah untuk memperbaiki ummat. Namun lelaki ini, memilih untuk menatapnya dengan kebencian. Ia memendam sesuatu yang tidak bisa ia katakan. Lelaki itu Abdullah bin Ubay bin Salul.
Abdullah bin Ubay bin Salul adalah seorang tokoh dari suku Khazraj. Jika dideskripsikan kala itu, Abdullah bin Ubay bin Salul merupakan orang yang baik, mulia dan santun sehingga banyak yang menyukainya. Bahkan setelah peperangan panjang yang dialami oleh dua kaum besar Yatsrib (Madinah) Aus dan Khazraj. Keduanya bersepakat damai dan memilih Abdulah bin Ubay bin Salul untuk memimpin Yatsrib (Madinah).
Lalu apa yang membuat Abdullah bin Ubay bin Salul berubah, bahkan menjadi tokoh munafik yang dikenal sepanjang sejarah. Bukankah kedatangan beliau ﷺ merupakan sebuah kehormatan yang tidak didapatkan oleh kaum atau tempat lain. Tidak lain ialah kekuasaan.
Bisa kita bayangkan, seorang Abdullah bin Ubay dari kaum Khazraj setelah menanti sekian lama melewati konflik dengan Kaum Aus. Puluhan tahun dan turun menurun bahkan setiap hari disuguhi konflik dan konflik. Sampai pada akhirnya Aus dan Khazraj sepakat untuk menghentikan ketegangan antara mereka dengan mengangkat seorang pemimpin, dan terpilihlah calon pemimpin dua kubu tersebut, Abdullah bin Ubay. Selang beberapa waktu, mahkota sebagai simbol kepemimpinannya sudah siap untuk dipasangkan, perayaan sudah siap diselengggarakan. Tersiarlah kabar bahwa seorang Rosul akan datang. Maka penduduk Madinah yang sudah beriman, mengalihkan perhatiannya kepada Rosulullah ﷺ yang tentu lebih baik dari Abdullah bin Ubay bin Salul karena beliau ada seorang Rosulullah ﷺ. Hal ini bukanlah yang diinginkan Rosulullah ﷺ, apalagi perihal kekuasaan, karena Rosulullah ﷺ hijrah ke Madinah pun adalah atas perintah Allah ﷻ. Namun, begitulah sebuah keimanan selalu menarik perhatian siapapun yang sudah tersentuh oleh Islam.
Abdullah bin Ubay bin Salul menganggap Rosulullah ﷺ merampas haknya, mengambil kekuasaannya. Namun disisi lain ia tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Tidak ada yang dia tolak dari kehadiran Rosulullah, kecuali kenyataan dia tidak bisa memiliki kekuasaan yang sudah tampak didepan matanya. Kekuasaan itu pula yang membuatnya menjadi orang yang terlihat tunduk pada Islam dan mengikrarkannya. Namun, hatinya penuh dengan kebencian. Ia tidak senang jika melihat umat Islam mendapatkan kemenangan. Bahkan di kehidupannya, dia membelot dan bersekutu dengan musuh-musuh Islam dibalik keIslaman yang dia tampakkan.
Di sinilah kita mengenal Abdullah bin Ubay bin Salul beserta pengikutnya sebagai orang munafik. Padahal jika kita berandai-andai Abdullah bin Ubay bin Salul mau menerima dengan suka rela kedatangan dan risalah yang Rasulullah ﷺ bawa. Tentu mungkin kita bisa beranggapan, ia akan menjadi seorang pejuang Islam yang tangguh seperti halnya para sahabat yang lain yang sebelum Islam seorang tokoh pejuang, setelah Islam pun menjadi pejuang. Sebelum Islam lemah, setelah Islam menjadi kuat. Tentu kita memiliki gambaran seperti itu. Namun, takdir berkata lain. Tersebab hatinya yang condong pada kekuasaan, ia terhalang untuk menerima kebenaran, terhalang untuk mendapat hidayah dari Allah, karena hidupnya ia orientasikan untuk kekuasaan.
Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah bagian dari perintah syariat yang sangat penting dan menjadi potensi ladang amal kebaikan yang berbuah pahala yang sangat besar. Tapi bukan kekuasaan yang jadi tujuan utama. Karena kekuasaan jika disalahgunakan akan mendapat murka Allah dan siksa neraka. Maka menghalalkan segala cara untuk mencapai kekuasaan bukanlah hal yang dibenarkan oleh Islam, terlebih jika kekuasaan itu membutakan dirinya dari kebenaran Islam.
Kita mencari sosok seorang pemimpin bukan hanya berkapasitas pemimpin dan hanya orientasi kekuasaan juga kekayaan pribadi atau kelompoknya. Tapi juga berkapasitas untuk menerima suatu kebenaran dan memiliki orientasi Islam yang baik. Bukan membuat pembenaran untuk setiap yang ia bisa lakukan. Karena penguasa yang berorientasi Islam tidak semata membangun negerinya untuk di dunia, tapi juga membangun masyarakatnya untuk selamat, hidup dan bahagia sampai kelak di akhirat. Wallahu’alam.