alhikmah.ac.id – Harta bukan simbol keberhasilan, karenanya banyak orang kaya raya justru gagal dalam hidupnya. Ia semakin menderita ketika di tangannya banyak harta. Pikirannya semakin terbebani sehingga seluruh pikiran dan perasaan tertuju ke sana. Dan sehebat apapun manusia mempertahankan hartanya ia pasti akan meninggalkannya. Tidak ada cerita bahwa orang-orang kaya tetap bertahan hidup selama hartanya masih ada. Bahkan sudah tak terhitung para raja dan para konglomerat yang meninggal dunia. Padahal istana mereka masih megah. Dan harta mereka masih banyak. Maka sungguh salah orang-orang yang mempunyai persepsi bahwa semakin banyak harta semakin berhasil. Semakin banyak harta semakin tinggi derajatnya. Perhatikan apa yang mereka alami justru di saat-saat mereka hidup nyaman? Sungguh banyak orang yang hidup di negara maju, dengan fasilitas kemewahan yang lengkap, malah justru mereka stress. Banyak para artis justru menderita setelah memiliki harta yang banyak. Bukankah ini semua adalah bukti bahwa harta bukanlah simbol keberhasilan.
Harta bukan simbol ketinggian derajat. Banyak orang salah paham, sehingga mengira bahwa dengan banyak harta ia akan semakin terhormat. Lalu dia segera merasa di atas. Dengan banyak pegawai dan pembantu ia semakin merasa tinggi. Lidahnya hanya main perintah. Orang-orang di sekitarnya dianggap budak. Lebih dari itu mereka merasa gengsi duduk dengan pegawai rendahan. Dan yang sangat memalukan mereka merasa tidak pantas datang ke masjid untuk shalat berjamaah bersama orang-orang umum yang tidak se level jabatannya. Akibatnya ia memilih tetap di kantornya, tidak mau turun ke masjid, dan merasa tidak berdosa sekalipun ia sengaja meninggalkan shalat berjamaah, karena rapat dan pertemuan bisnis. Apakah sampai sejauh ini mereka merasa tinggi, karena harta dan jabatan yang dimiliki, sehingga secara bertahap lupa daratan, dan tidak mau turun ke bawah. Lalu sedikit demi sedikit memposisikan dirinya seperti Tuhan yang harus dipatuhi, dan siapapun yang melanggar aturannya diancam dengan PHK. Bahkan ada seorang pegawai yang karena saking takutnya minta izin untuk shalat sehingga ia rela tidak shalat demi pekerjaan kantornya.
Dalam sebuah kesempatan, pernah seorang pegawai bercerita, bahwa ia suatu hari minta izin kepada bosnya untuk shalat. Pada waktu itu rapat sedang berlangsung. Lalu seketika bosnya menjawab: ”akhirkan saja shalatnya. Apa gunanya Allah bikin akhir waktu”. Mendengar jawaban tersebut, sang pegawai segera bertanya kepada saya: ”bagaimana cara menjawabnya?”. Saya jelaskan: ”coba saja bapak besok datang ke kantor di akhir-akhir waktu. Kira-kira bos itu marah gak? Kalau marah jelaskan, apa gunanya bos bikin akhir waktu”. Perhatikan, betapa manusia baru diberi harta sedikit lalu segera dirinya merasa hebat dan merasa berhak mengatur Allah. Bahkan tidak takut dengan sengaja berlawan dengan Allah.
Harta bukan sarana untuk bersikap sombong. Sungguh tidak pantas seseorang sombong dengan harta yang diberikan Allah. Benar, harta itu pemberian Allah. Tidak ada di dunia ini seseorang kaya karena kehebatannya, kecerdasannya atau keahliannya. Dia kaya karena nasib yang Allah tentukan. Sungguh banyak orang yang cerdas dan mempunyai keahlian yang hebat, tetapi karena nasib dia tidak menjadi kaya. Dan sungguh banyak orang yang tidak cerdas dan tidak punya keahlian tetapi karena nasib ia menjadi kaya. Karena itu, ketika seseorang mendapatkan kekayaan harta, seharusnya ia segera merasa bahwa itu pemberian sekaligus titipan Allah. Bahwa di sekitarnya banyak orang yang secara nasib miskin, maka mereka harus segera dibantu dengan harta yang dititipkan Allah tersebut. Sayangnya banyak orang salah paham. Begitu mendapatkan harta, lalu segera merasa bahwa itu adalah buah jerih payahnya, karena kehebatan dirinya. Bahwa di dalamnya tidak ada campur tangan Allah. Sehingga dengan pemahaman tersebut ia menjadi kikir dan pelit.
Ingat, harta itu tidak mungkin kau pertahankan di tanganmu. Ia mempunyai tabiat datang dan pergi. Begitu ia datang kepadamu, suatu saat – cepat atau lambat – ia pasti akan pergi darimu. Berapa banyak orang berusaha mempertahankan hartanya, namun ternyata tiba-tiba kebutuhan segera mendesak sehingga ia harus mengeluarkannya. Hanya saja cara mengeluarkannya ada banyak bentuk alasan: ada yang keluarkan harta karena kebutuhan makan dan minum, ada pula yang keluarkan karena sakit dengan biaya mahal, ada pula yang karena harus membayar biaya pendidikan anaknya dan sebagainya. Yang jelas bahwa harta itu tidak mungkin dipertahankan. Toh sekalipun ia berhasil mempertahankannya, ujung-ujungnya ia pasti akan meninggalkannya. Dan kita semua sudah tahu pasti bahwa kematian akan datang tanpa kenal kompromi. Siapapun ketika tiba saatnya mati, tak peduli kaya atau miskin, ia pasti mati. Masihkah kau –wahai sahabat- akan mengagung-agungkan harta sehingga kewajiban kepada Allah diabaikan demi mengurus harta. Bahkan lebih dari itu, banyak orang yang tidak sempat menghadiri majelis ta’lim untuk mengokohkan iman, hanya karena alasan sibuk mengurus harta. Sungguh sudah saatnya seorang mukmin segera memperbaiki persepsinya tentang harta. Bahwa harta hanya keperluan bukan tujuan. Wallahu a’lam bishshawab