alhikmah.ac.id – Suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan, dia berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, sehingga melelahkannya.
Ketika orang Syam itu melihat laki-laki yang berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya, ia berpikir hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan imbalan yang pantas sesampainya di tempat tujuan. Orang Syam itu memanggil lelaki tersebut, dan Si lelaki mendekat.
Orang Syam itu berkata kepadanya, “Tolong bawakan barangku ini.” Maka Si lelaki mengangkat barang yang disuruh oleh orang Syam, dan mereka berdua berjalan bersama-sama.
Di tengah perjalanan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Si Lelaki berpenampilan biasa itu mengucapkan salam kepada rombongan, mereka berhenti dan menjawab salam, “Kesejahteraan juga untuk walikota.” Orang Syam yang bersama Si lelaki bertanya dalam hatinya, “Juga kepada walikota? Siapa yang mereka maksud?” Keheranannya semakin bertambah ketika beberapa orang dari rombongan bergegas mendekat dan berkata, “Biarkan kami yang membawanya.”
Barulah orang Syam itu sadar, bahwa kuli panggulnya itu adalah seorang walikota Madain. Orang Syam itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya. Dia mendekat hendak mengambil beban yang di bawa Si lelaki suruhannya, tetapi Sang walikota menolak dan berkata, “Tidak, biar kuantar sampai rumahmu.”
Sepenggal kisah ini adalah cuplikan dari sebagian sirah perjalanan kehidupan seorang sahabat Rasulullah saw yang sangat terkenal di dalam pencariannya terhadap kebenaran. Siapakah walikota yang berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya tersebut?
Dialah Salman Al-Farisi seorang sahabat Rasulullah yang rela meninggalkan negerinya dan mengalami perjuangan berat demi mencari kebenaran. Kisah sahabat yang mulia ini di dalam pencariannya terhadap suatu kebenaran sudah tidak asing lagi di telinga para aktivis dakwah, bahkan sering sekali kisahnya ini dijadikan taujih pembangkit semangat untuk para aktivis dakwah di dalam menempuh jalan panjang ini.
Sahabat yang mulia ini tak kalah zuhudnya dibandingkan sahabat Rasulullah lainnya di dalam menjalani kehidupannya. Karena beliau sadar betul, bagaimana kesederhanaan itu sangat berpengaruh di dalam dakwah ilallah, sehingga hatinya selalu teringat akan pesan Rasulullah kepadanya dan kepada semua sahabat, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil dunia kecuali, sekedar bekal seorang musafir. Ternyata inilah yang telah mengisi hati seorang Salman Al-Farisi, sehingga ia tidak mau mendekati kekayaan dan jabatan.
Sekalipun ia menerima jabatan sebagai walikota Madain pada saat itu, apakah kehidupannya dan karakternya berubah? Tidak, sama sekali tidak ada yang berubah di dalam kehidupannya dan karakternya. Ia sama seperti yang biasa para sahabat Rasulullah lihat sebagai Salman yang memiliki penampilan sederhana, sesederhana penampilannya sebelum diangkat sebagai walikota.
Bahkan ia sampai disangka kuli oleh seseorang yang berasal dari Syam, karena melihat Salman berpenampilan biasa dan tampak dari golongan orang tak punya, karenanya orang Syam itu tak segan-segannya menyuruh membawakan barang-barangnya kepada sahabat Rasulullah yang mulia ini, yang ternyata dia adalah seorang walikota. Sahabat yang mulia ini seketika identitasnya sebagai walikota diketahui oleh orang Syam yang menyuruhnya, ia menolak untuk barang yang sudah ia bawakannya di ambil kembali oleh orang Syam tersebut, namun apa yang dikatakan sahabat yang mulia ini kepada orang Syam tersebut, ketika ia mendekat hendak mengambil barang bawaannya yang dibawakan oleh walikota Madain itu? Ia berkata, “Tidak, biar kuantarkan barang bawaanmu sampai pada rumahmu.”
Betapa mulianya sahabat Rasulullah ini, kesederhanaannya mengalahkan ambisi akan kenikmatan dunia. Lihatlah gamisnya yang pendek, hanya sampai lutut. Padahal saat itu ia orang yang dihormati dan disegani. Gaji yang diterimanya juga tidak sedikit: antara 4.000-6.000 dinar setahun. Namun, semuanya ia bagikan. Tidak sedikit pun ia ambil untuk kepentingan dirinya. Lalu mengapa setelah memegang jabatan itu, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan secara halal?
Hisyam bin Hisan menyebutkan bahwa Hasan pernah mengatakan bahwa tunjangan Salman sebesar lima ribu dinar setahun. Namun demikian, ketika dia berpidato di hadapan 30 ribu orang, separuh baju luarnya (aba’ah) ia jadikan alas duduk, dan separuhnya lagi untuk menutupi badannya. Tunjangan hidup yang ia terima, ia bagi-bagikan sampai habis, sedangkan untuk nafkah keluarganya dia peroleh dari hasil usahanya sendiri.
Wahai para pengikut Muhammad SAW.!
Wahai para aktivis dakwah!
Wahai para pemimpin muslim!
Wahai kalian yang mengagungkan kemanusiaan!
Bukankah Rasulullah mengajarkan kesederhanaan di dalam perjuangan ini?
Bukankah Sahabat Rasulullah yang mulia ini sudah kita membacanya di dalam sirahnya?
Bukankah Salman Al-Farisi seorang walikota Madain sudah mencontohkan kesederhanaan di dalam perjuangan dakwah ini?
Ketika mendengar kehidupan generasi sahabat yang amat bersahaja seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar dan lainnya, sebagian kita menyangka bahwa itu disebabkan karakter hidup di Jazirah Arab saat itu, karakter hidup yang bersahaja. Istighfarlah jika ada berprasangka seperti ini.
Akan tetapi, sepenggal kisah ini adalah kisah seorang sahabat Rasulullah yang ia adalah seorang putra Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan hidup. Dan ia bukan dari golongan miskin. Ia dari golongan kaya. Mengapa dia sekarang menolak kekayaan dan kesenangan, bertahan dalam kehidupan bersahaja, merasa cukup dengan satu dirham untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya? Satu dirham itu pun ia peroleh dari hasil jeri payahnya sendiri.
Dengarkanlah perkataannya jikalau hati ini masih ragu, “Aku membeli daun kurma seharga satu dirham. Daun itu kubuat keranjang. Kemudian kujual dengan harga tiga dirham. Satu dirham kugunakan untuk modal usaha, satu dirham untuk nafkah keluargaku, dan satu dirham lagi untuk sedekah. Meskipun Khalifah Umar ra. melarangku berbuat demikian, aku tidak mau menghentikannya.”
Selayaknya kita sebagai aktivis dakwah harus mencontoh dan meneladani kesederhanan para sahabat Rasulullah di dalam perjuangan ini, sebab fitnah itu muncul bisa jadi karena kita berlebih-lebihan di dalam memperjuangkan dakwah ini dan dalam menyikapi nikmat kehidupan dunia yang diberikan Allah untuk kita.
Rasulullah dan para sahabatnya mencontohkan kesederhaanan dalam menyikapi nikmat kehidupan di dunia agar menjauhkan diri serta menjaga dari fitnah-fitnah yang senantiasa ada di setiap kehidupan para pejuang dakwah di dalam meneggakan panji-panji Islam di seluruh belahan dunia, karena musuh yang kita hadapi sekarang adalah para syaithan yang berwujud manusia yang memiliki sistem, strategi dan teknologi yang kuat dan canggih.
Ingatlah ketika sahabat yang mulia ini, Salman menjawab pertanyaan Sa’ad bin Abi Waqqash saat ia menjenguk sahabatnya yang mulia ini terbaring di atas tempat tidur, sesaat sebelum ajal menjemputnya, sesaat sebelum jiwa mulianya bertemu dengan Tuhan Yang Maha Tinggi dan Maha Penyayang. Saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya. Tiba-tiba Salman menangis.
“Apa yang kamu tangiskan, wahai Abu Abdillah (panggilan Salman)? Padahal saat Rasulullah saw. wafat, beliau ridha kepadamu?”
Salman menjawab, “Aku menangis bukan karena takut mati atau mengharap kemewahan dunia. Rasulullah saw telah menyampaikan suatu pesan kepada kita, “Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang musafir.” Padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom. Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami nasihat yang akan selalu kami ingat.”
Dia berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu ingin sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, dan ketika membagi.”
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi karena air itu; di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya adzab Kami pada waktu malam dan siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” (QS. Yunus [10]: 24)
Wallahu a’lam bishshowwab.