Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Sebagaimana kita perhatikan dalam daftar di atas, sebagian besar orang-orang Palestina yang tinggal di luar mayoritasnya tinggal di negara-negara yang memiliki perbatasan langsung dengan Palestina, khususnya Yordania, Lebanon dan Suriah. Secara umum orang-orang Palestina mirip dan serupa dengan warga negara-negara ini dalam hal karakteristik kependudukan dan sosial, itu karena mereka semua berakar pada apa yang dikenal secara geografis dan historis sebagai negeri Syam. Bahwa batas-batas yang memisahkan mereka sekarang ini adalah akibat dari konspirasi-konspirasi imperialisme internasional terutama perjanjian Sykes Picot tahun 1916 antara Inggris dan Perancis. Di ketiga negara ini tinggal sebanyak 3 juta 215 ribu 158 jiwa atau sekitar 76,1% dari total orang Palestina yang tinggal di luar Palestina, itu menurut data tahun 1998. angka prosentase yang tinggi ini mencerminkan keinginan besar orang-orang Palestina untuk tetap tinggal di dekat tanah mereka yang diharamkan kembali ke sana oleh penjajah dengan menggunakan kekuatan, juga mencerminkan upaya mereka untuk dapat kembali kapan saja bila kondisi mengizinkan.
Di Yordania kita dapati orang-orang Palestina secara resmi telah mendapatkan kewarganegaraan Yordania dan hak-hak kewarganegaraan. Mulai dari tinggal, bekerja, membeli tanah, mendirikan bangunan, ikut pemilu dan menjadi calon di parlemen serta ikut serta dalam pemerintahan. Itu paska penyatuan wilayah Tepi Barat dan Tepi Timur sungai Yordan dalam satu negara tahun 1950, di bawah pemerintahan Raja Abdullah bin Husain. Sejumlah orang Palestina telah menerima jabatan perdana menteri semisal Samir al Rifai, Sulaiman al Nablusi dan Thaher al Misri. Hanya saja hubungan antara system pemerintah dengan orang-orang Palestina atau orang yang mewakilinya mengalami penikungan dan pembelokan utamanya adalah masalah perwakilan resmi bagi orang-orang Palestina khususnya sejak pendirian Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) tahun 1964, yang secara resmi telah menjadi wakil legal satu-satunya bagi rakyat dan bangsa Palestina sesuai dengan keputusan Liga Arab di Ribath tahun 1974, hal yang mengakibatkan terjadinya keterwakilan ganda (dualisme perwakilan). Kejadian yang sangat menyakitkan adalah pendudukan penjajah Zionis Israel atas wilayah Tepi Barat sungai Yordan pada Juni 1967 dan kerugian Yordania dari sisi dominasi dan kekuasaan secara praktis atas wilayah tersebut. Yordania masih tetap menganggap wilayah Tepi Barat sebagai bagian dari wilayahnya secara geografis hingga Raja Malik bin Thilal, pada musim panas tahun 1988, mengeluarkan keputusan memutus hubungan dengan Tepi Barat, untuk diserahkan kepada PLO untuk mewakilinya, yang secara praktis masih berada dalam pendudukan penjajah Zionis Israel. Peristiwa September 1970 telah mendewasakan antara pemerintah Yordania dengan faksi-faksi di PLO. Di mana perang besar yang meletus antara kedua belah pihak telah menyebabkan pasukan Yordania melakukan pemberangusan terhadap gerakan-gerakan perlawanan Palestina dan pengaruhnya di Yordania. Hal itu berbalik menjadi negatif dengan satu bentuk atau dengan yang lainnya lewat interaksi yang dilakukan pemerintah terhadap orang-orang Palestina secara umum. Di mana pengaruh mereka mulai menurun terhadap instansi-instansi pemerintah dan negara, meskipun hak-hak mereka secara hukum masih tetap ada dari sisi legalitas resmi.
Sebagian analis berbicara bahwa perbaikan secara positif mulai nampak belakangan salah satu pilarnya adalah pembentukan pemerintah Abu Raghib pada Juni 2000, turut di dalamnya 10 menteri asal Palestina atau bisa dibilang 1/3 anggota cabinet (orang Palestina). Tidak ada data detail di Yordania tentang orang-orang Palestina yang memegang kewarganegaraan Yordania, hanya saja taksiran yang ada menyebutkan sekitar 60% dari jumlah seluruh warga Yordania, data ini didukung oleh sumber-sumber Eropa dan Amerika. Hanya saja pembagian wilayah pemilihan tidak mengizinkan kepada mereka pembentukan mayoritas mutlak di parlemen. Pada pemilu tahun 1997, wakil Palestina di parlemen 13 orang dari jumlah total anggota parlemen 80 orang atau sekitar 16,25%. Sumber-sumber Eropa dan Amerika telah mengkritik masalah ini dan menyerukan pemilihan ulang yang mencerminkan, secara lebih baik lagi, hakikat komposisi penduduk. Namun kita tidak mungkin menyerah dengan etikad baik sumber-sumber ini, karena yang mereka inginkan hal itu menjadi bagian dari rencana pemukiman (penempatan) dan tanah air alternative bagi pengungsi Palestina di Yordania. Padahal kita pada waktu yang sama meyakini bahwa orang-orang Palestina dan Yordania adalah satu bangsa satu tubuh, bahwa realisasi keadilan untuk semua pihak adalah hak alami, bukan berarti melepaskan hak-hak yang lain (untuk kembali ke Palestina).
Di Yordania sendiri ada sekitar 10 kamp pengungsi Palestina:
- Kamp Pengungsi al Husain
- Kamp Pengungsi al Thalibiya
- Kamp Pengungsi Irbid
- Kamp Pengungsi Suf
- Kamp Pengungsi al Buq’ah
- Kamp Pengungsi al Zarqa’
- Kamp Pengungsi al Hishn (Azmil Mufti)
- Kamp Pengungsi al Wahadat
- Kamp Pengungsi Marika
- Kamp Pengungsi Jirsy
Yang paling terbesar dari kamp-kamp pengungsi di atas adalah Kamp Pengungsi al Buq’ah dan selanjutnya adalah Kamp Pengungsi al Wahadat. Jumlah mereka yang tinggal di kamp-kamp tidak lebih dari 18,2% atau sekitar 247816 jiwa dari jumlah total pengungsi Palestina di Yordania yang terdaftar di UNRWA tahun 1999 dengan jumlah mencapai 1 juta 612 ribu 742 jiwa.140
Di Lebanon kondisi para pengungsi Palestina bisa dibilang lebih sulit dan menderita. Mereka dipaksa keluar dari wilayah utara Palestina ke Lebanon saat berlangsung perang tahun 1948 sekitar 2 ribu orang Palestina dengan dibangunkan 15 kamp resmi buat mereka. Kondisi politik dan tabiat komposisi penduduk kala itu belum mengizinkan para pengungsi Palestina mengambil peran seperti yang terjadi di Yordania. Sistem politik di Lebanon dibangun di atas dasar keturunan dan keseimbangan kelompok tertentu antara kelompok Masehi (Nasrani) khususnya al Marunia, Sunnah, Syi’ah dan Durz. Masuknya orang-orang Palestina, yang notabenenya adalah kaum sunnah, tidak disambut baik di dalam komposisi penduduk Lebanon, khususnya dari kaum Marunia yang menikmati pengaruh politik istimewa yang didapat dari kepemimpinan negara dan sejumlah posisi strategis. Apapun kondisinya, orang-orang Palestina tidak ingin berasimilasi dan menetap, namun mereka ingin hidup mulia dalam kondisi kerja dan penghidupan rasional yang memungkinkan mereka berdiri di atas kaki sendiri, mengkonsentrasikan daya dan upaya mereka untuk membebaskan tanah mereka yang terampas. Hanya saja pemerintah Lebanon masih saja terus mengadopsi kebijakan politik yang melihat bahwa kondisi penderitaan dan penghidupan para pengungsi Palestina menjadi penghalang kebijakan menetap di luar, sementara mata para pengungsi masih saja tertuju untuk kembali ke Palestina sebagai solusi kesulitan-kesulitan mereka. Oleh karena itu orang-orang Palestina diberikan dokumen (passport) Lebanon yang menjamin mereka memiliki hak tinggal, namun melarang mereka mendapatkan hak-hak politik. Mereka juga tidak boleh memiliki kewarganegaraan Lebanon meski mereka sudah tinggal sangat lama dan bahkan lahir di Lebanon. Pada tahun 50-an dan 60-an pemerintah Lebanon pernah memberikan kewarganegaraan Lebanon kepada sekitar 50 ribu pengungsi, namun pada dasarnya mereka adalah orang-orang Masehi (Nasrani), atau karena adanya hubungan nasab sebelumnya dengan keluarga-keluarga Lebanon. Orang-orang Palestina juga tidak diperkenankan menjadi pegawai di 70 jenis bidang profesi di Lebanon yang kesemuanya di bawah naungan pemerintah, ditambah larangan berprofesi di bidang kedokteran, keperawatan, apoteker, arsitektur, pengacara dan lain sebagainya. Tingkat pengangguran orang-orang Palestina di Lebanon mencapai lebih 40%, orang-orang Palestina juga tidak berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dan asuransi social dan pemerintah, meski ada yang diterima di bekerja sekolah-sekolah pemerintah namun jumlah mereka sangat sedikit sekali. Orang-orang Palestina juga dilarang mengatapi rumah-rumah mereka kecuali dengan lembaran Zenko, terlebih lagi membangun tingkat rumah mereka. Hal ini semakin menambah padat dan sesak di kamp-kamp mereka bersamaan dengan berjalannya waktu, yang kemudian mendorong banyak dari mereka untuk keluar dari Lebanon. Sampai tahun 1970, rumah-rumah orang Palestina tidak dilengkapi dengan aliran air. Bahkan sampai tahun 1980 separuhnya masih belum ada perlakukan yang sehat dalam masalah pembagian air. Tingkat kemiskinan orang-orang Palestina di Lebanon mencapai 79% di tengah-tengah keluarga yang jumlah anggotanya hanya 3 orang atau kurang, prosentase itu meningkat hingga 96% – 98% di keluarga-keluarga yang lebih besar dari itu.141
Kebijakan-kebijakan semacam ini tidak membuahkan apa-apa kecuali kepedihan dan kepahitan di dalam diri para pengungsi Palestina, yang diperlakukan oleh saudara-saudara mereka, setidaknya sesama Arab, seperti perlakukan yang dialami siapapun yang tinggal di Negara asing. Oleh karena itu, prosentase migrasi (hijrah) di antara pengungsi Palestina ke luar seperti ke Eropa, Australia dan Amerika terus meningkat. Hal yang menghadapkan mereka kepada berbagai rintangan peleburan dan kehilangan identitas lebih besar lagi.
Setelah perang tahun 1967 serta jatuhnya Tepi Barat dan Jalur Gaza ke tangan penjajah Zionis Israel, gerakan perlawanan Palestina mulai beraktivitas di tengah-tengah kamp-kamp pengungsi di Lebanon. Secara praktis faksi-faksi perlawanan berhasil menguasai kamp-kamp pengungsi, mereka mulai melakukan aksi-aksi militernya dari selatan Lebanon ke target-target penjajah Israel dan berhasil memaksakan kehendaknya kepada pemerintah Lebanon setelah berlangsung sejumlah bentrokan dan baku senjata. Meskipun “kesepakatan Kairo” pada November 1969 memberikan kepada orang-orang Palestina hak mempersenjatai diri dan menyerang target-target Zionis Israel di perbatasan Lebanon, namun situasi genting masih menjadi racun utama hubungan antara kedua belah pihak (perlawanan Palestina dan pemerintah Lebanon). Penjajah Zionis Israel selalu berupaya membuat genting hubungan ini dengan melakukan serangan-serangan udara dan gempuran terhadap fasilitas-fasilitas Lebanon serta membunuh warga sipil, juga dengan melakukan aksi-aksi militer sistematis dan pendudukan sebagian wilayah Lebanon pada tahun 1978 untuk mendirikan sabuk keamanan. Kemudian pendudukan tahun 1982 untuk menghancurkan infrastruktur PLO dan faksi-fraksinya. Memberikan dukungan terhadap kekuatan-kekuatan anti Palestina terutama Hizbul Kataib al Maruni dan pasukan Lebanon selatan yang bekerja untuk Zionis Israel di bawah pimpinan Sa’adalah Hadad kemudian Anton Lahd. Perang saudara di Lebanon tahun 1985 – 1990 turut menambah krisis dan ketegangan kondisi. Maka Palestina masuk dalam perang yang terus berkesinambungan dengan seluruh pihak yang berkonflik, kadang tingkat permusuhan meningkat dan kadang upaya-upaya koalisi dilakukan dengan pihak yang satu dan yang lainnya sesuai dengan perkembangan peristiwa.
Di antara contoh penderitaan yang dialami para pengungsi Palestina adalah 3 ribu aksi serangan udara yang dilakukan pihak penjajah Zionis Israel ke lokasi-lokasi warga Palestina dan Lebanon selama periode tahun 1968 – 1974. Pada tahun 1974 pesawat tempur penjajah Zionis Israel menghancurkan Kamp Pengungsi Nabthiya secara total. Pada tahun 1976 pasukan detasemen dan sekutunya mengepung Kamp Pengungsi Tel Za’tar selama 53 hari yang berakhir dengan penghancuran kamp dan pengusiran warganya setelah menelan korban 3 ribu orang gugur yang sebagian besarnya adalah warga sipil. Pada waktu terjadi aksi pendudukan Israel atas wilayah Lebanon selatan pada Maret tahun 1978 lebih dari 2 ribu warga Palestina dan Lebanon dibantai yang sebagian besarnya adalah warga sipil. Kemudian aksi pendudukan Israel atas Lebanon pada tahun 1982 mengakibatkan terbunuhnya 19 ribu warga Palestina dan Lebanon. Tiga minggu setelah aksi serangan ini penjajah Israel menghancurkan 70% Kamp Pengungsi Rasyidiya dan seluruh Kamp Pengungsi Ain Halwa (kamp pengungsi Palestina terbesar) secara total, tak satupun rumah yang tersisa kecuali buldoser-buldoser penjajah Zionis Israel pasti menghancurkannya rata dengan tanah. Pasukan penjajah Zionis Israel melarang orang-orang Palestina membangun kembali rumah-rumah mereka untuk mendekatkan kamp-kamp mereka ke Palestina, pasukan penjajah Zionis Israel justru mendorong mereka ke arah utara. Namun upaya ini gagal karena prang-orang Palestina membangun kembali rumah-rumah mereka di tempat yang sama (bekas rumah-rumah mereka yang telah rata dengan tanah). Sejak tahun 1982 kepemimpinan (komando) PLO dan ribuan pejuang berani mati (fedaeyen) Palestina terpaksa menarik diri dari Lebanon di bawah tekanan agresi Zionis Israel. Ini mengakibatkan mereka melepaskan perlindungannya terhadap kamp-kamp yang ada hingga menyebabkan terjadinya pembantaian Sabra dan Satila yang sangat terkenal dalam sejarah pembantaian atas warga Palestina di Lebanon. Di mana warga Palestina dan Lebanon yang sudah terisolasi mengalami pembantaian secara sistematis selama dua hari tanggal 16 – 17 September 1982, lebih dari 3000 orang yang tak berdosa dibantai habis. Dan dalam perang kamp-kamp yang dilancarkan Gerakan Amal terhadap kamp-kamp pengungsi di wilayah Beirut dan selatan Lebanon, mereka mengepung kamp-kamp tersebut selama dua tahun dari Mei 1985 – April 1987 dan berhasil menghancurkan 80% rumah di Kamp Pengungsi Shatila dan 50% rumah di Kamp Pengungsi Burjul Barajina serta membunuh sebanyak 2500 orang tak berdosa. Ini merupakan penderitaan besar yang dialami para pengungsi Palestina yang memaksa mereka memakan belalang dan kucing, banyak dari mereka yang kemudian meninggal dunia karena kekurangan obat-obatan. Meski demikian Gerakan Amal gagal menguasai kamp-kamp.142
Dengan harga yang sangat mahal itulah yang dibayar oleh para pengungsi Palestina di Lebanon demi mempertahankan kehormatan, kemanusiaan dan hak mereka dalam membela diri mereka dan sebagai upaya membebaskan tanah mereka. Usai nya perang saudara di Lebanon pada tahun 1990 telah memberi peluang dan kesempatan kepada orang-orang Palestina untuk menemukan diri mereka. Demikian juga intifadhah al mubarakah (yang diberkati) yang terjadi tahun 1987 – 1993 telah menjadi elemen dan unsure penyemangat dan pendorong maknawiyah yang besar. Terbuka area yang lebih besar bagi menyebarnya arus Islam di antara mereka, terutama setelah pengalaman negative sebagian besar mereka dengan faksi-faksi perlawanan sekuler dan aliran kiri. Hanya saja kesepakatan Oslo pada September 1993 yang ditandatangani antara PLO dengan entitas penjajah Israel telah menambah ketakutan dan kekhawatiran orang-orang Palestina melupakan persoalan mereka atau dimukimkannya mereka di Lebanon, Yordania, Irak atau di negara lainnya. Keterikatan mereka dengan Palestina dan keinginan kembali ke sana masih menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi semua orang Palestina di Lebanon, dengan berbagai perbedaan orientasi pada mereka.
Jumlah pengungsi Palestina yang terdaftar di Lembaga Batuan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada tahun 1999 di Lebanon mencapai 370.133 jiwa. Berdasarkan pertumbuhan alami warga Palestina, maka jumlah mereka pada tahun 2001 adalah 395.742 jiwa dan pada tahun 2002 mencapai 409.197 jiwa. Pada tahun-tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah pengungsi Palestina di Lebanon yang hijrah ke Eropa Barat, terutama ke negara-negara Skandinavia, Kanada dan Australia setelah negara-negara ini memberi kemudahan bagi mereka untuk hijrah dengan tujuan pembauran mereka dan demi penempatan (pemukiman) mereka.
Orang-orang Palestina di Lebanon saat ini tinggal di 12 kamp pengungsi resmi, ditambah keberadaan mereka yang tinggal di komunitas-komunitas yang tidak didata secara resmi oleh UNRWA, atau di kota-kota dan desa-desa di berbagai wilayah Lebanon. Sebanyak 54,4% pengungsi Palestina yang terdaftar di UNRWA tinggal di kamp-kamp pengungsi. Kamp-kamp ini adalah kamp pengungsi Rasyidiya, al Burju asy Syimali, al Bash di daerah as Shuwar, Ain Halwa, al Miya wa Miya di daerah Shaida. Sedang di daerah Beirut dan al Jabal adalah kamp pengungsi Burjul Barajina, Shatila, Mar Ilyas, Wadhbiya, Waifal (al Jalil) dan di daerah utara al Badawi dan Nahrul Barid.
Kamp terbesar dari kamp-kamp ini adalah kamp pengungsi Ain Halwa yang ditempati sekitar 80 ribu pengungsi yang disusul kamp pengungsi Nahrul Barid sekitar 30 ribu pengungsi.143
Kondisi di Suriah berbeda dengan di Yordania dan Lebanon. Pemerintah Suriah mengizinkan para pengungsi Palestina di negara tersebut dengan mendapatkan semua hak kewarganegaraan biasa (seperti warga Suriah lainnya), kecuali hak-hak politik. Mereka juga tidak diberi kewarganegaraan Suriah, tapi cukup diberi dokumen bepergian (semacam passport). Orang-orang Palestina di Suriah mempunyai hak bekerja dan kepemilikan serta wajib militer. Secara umum mereka hidup dalam kondisi yang tidak berbeda dengan orang-orang Suriah pada umumnya.
Meski hubungan pemerintah Suriah dengan PLO dan faksi-fraksinya tidak menentu (diliputi keragu-raguan), terjadi pasang surut pada masa-masa lalu, namun pemerintah Suriah khususnya di bawah pemerintahan Hafidz al Asad dan Hizbul Ba’ats tetap memegang kendali berbagai urusan (para pengungsi), tidak membiarkan kamp-kamp pengungsi di Suriah lepas dari kekuasaannya. Demikian juga kerja perjuangan Palestina lewat perbatasan Suriah terhadap entitas Zionis Israel menjadi referensi utama yang mendapat perhatian dan restu dari pemerintah Suriah untuk itu.
Di Suriah sendiri ada 10 kamp resmi untuk pengungsi Palestina. Yaitu Khan Syaikh, Dzu Nun, Sabina, Handarat, Jurmana, Nairab, kamp al Aidin (Himsh), kamp al Aidin (Hima), kamp al Aidin (Dar’a) dank amp al Aidin (al Ladziqia).
Orang Palestina yang tinggal di kamp-kamp pengungsi ini tidak lebih dari 29,2% dari jumlah pengungsi Palestina yang ada di Suriah. Meski komunitas Palestina terbesar di kamp pengungsi Yarmuk yang dihuni sekitar 120 ribu jiwa, namun pihak UNRWA tidak menganggapnya sebagai kamp pengungsi resmi, meski lembaga ini tetap memberikan pelayanan di sana!144 Peta berikut adalah gambaran kamp-kamp pengungsi yang ada di Suriah.
Mesir termasuk negara tetangga (dekat Palestina), hanya saja jumlah orang Palestina di negara tersebut sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah orang Palestina yang ada di Suriah, Lebanon dan Yordania. Di Mesir jumlah orang Palestina yang tinggal sekitar 49 ribu jiwa. Mesir sendiri telah menempatkan Jalur Gaza di bawah kendali administratifnya sejak tahun 1948 – 1967, namun tidak memasukkan ke dalam wilayah negaranya secara resmi dan tidak memberi kewarganegaraan Mesir kepada orang-orang Palestina. Mesir hanya memberi mereka dokumen safar (semacam passport) dan tidak mau memberi hak mukim di Mesir. Mereka juga mendapatkan visa masuk ke Mesir bila mereka mau, yang kadang-kadang membutuhkan waktu beberapa bulan. Semua warga Gaza mendapatkan dokumen ini, terutama sebelum pemerintah Palestina menerbitkan passport mereka. Jumlah warga Palestina yang tinggal di Gaza dan di luar yang memegang dokumen ini lebih 1,5 juta orang. Akibat dari semua itu dan juga karena kondisi ekonomi di Mesir masa lalu, maka jumlah orang Palestina di sana tetap terbatas.
Di luar negara-negara tetangga dekat, sampai tahun 1990 Kuwait adalah negara yang paling banyak menampung komunitas Palestina di dunia. Diperkirakan jumlah orang-orang Palestina yang tinggal di negara tersebut mencapai 430 ribu jiwa. Dengan lapang dada Kuwait menerima orang Palestina, khususnya pada tahun 60-an dan 70-an. Jumlah mereka meningkat tajam dari 37 ribu jiwa pada tahun 1961 menjadi 204 ribu jiwa pada tahun 1985. Orang-orang Palestina memiliki kontribusi besar dalam kebangkitan Kuwait dan kemajuannya di berbagai bidang departemen pemerintah dan bidang-bidang khusus. Yang menarik orang-orang Palestina ke Kuwait adalah apa yang dia dapatkan dan kesepahaman dan perlakuan baik warga Kuwait terhadap mereka. Mereka mendapatkan kebebasan yang luas, dipilih di dewan umat, aktivitas jurnalistik, kesempatan kerja terhormat, keamanan dan kemapanan yang tidak pernah mereka dapatkan di negara lain. Berbagai arus gerakan Palestina menikmati kebebasan bergerak dan beraktivitas di tengah-tengah orang Palestina tanpa ada campur tangan dari pemerintah, kecuali berkaitan dengan keamanan stabilitas negara. Untuk itu, tidak mengherankan apabila gerakan Fatah tumbuh dan berkembang di Kuwait. Bahkan tokoh-tokoh penting Hamas yang dari luar Palestina berasal dari Kuwait. Fatah dan Hamas adalah dua gerakan Palestina terkuat. Orang-orang Palestina di Kuwait tidak ada yang tinggal di kamp-kamp pengungsi, namun di sama ada pusat-pusat komunitas Palestina yang kuat, yang mewakili mayoritas besar seperti di Naqra, Hauli, Khaithan dan Farwania. Meski demikian, ini tidak berarti semua orang Palestina hidup pada taraf kelas atas sebagaimana yang disangka sebagian orang. Hanya saja kondisi mereka secara umum lebih baik dari pada kondisi saudara-saudara mereka di Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir dan Jalur Gaza. Walaupun begitu, mayoritas Palestina bekerja di bidang-bidang pelayanan dan pegawai menengah yang secara global mendapatkan apa yang mencukupi kebutuhan bulanan mereka. Kebanyakan keluarga Palestina hidup di rumah-rumah apartemen, setiap keluarga tinggal dalam satu rumah di apartemen terdiri dari 2 kamar yang jumlah anggota keluarganya biasanya berkisar antara 8 – 10 orang.
Sejak awal tahun 80-an kondisi orang-orang Palestina mulai mengalami kemunduran, akibat dari kondisi ekonomi Kuwait yang disebabkan oleh menurunnya harga minyak, karena adopsi politik Kwaitisasi dan upaya mengontrol tenaga kerja pendatang. Akibatnya keluarga-keluarga Palestina mengalami berbagai kesulitan menyekolahkan anak-anak mereka, setelah mereka tidak diperbolehkan masuk sekolah-sekolah pemerintah Kuwait kecuali mereka yang lahir di Kuwait. Juga karena biaya yang begitu besar yang harus mereka keluarkan demi menyekolahkan anak-anak mereka ke luar untuk dapat studi hingga perguruan tinggi, setelah pada akhir tahun 80 penerimaan mahasiswa non Kuwait dibatasi sangat sedikit yang ingin masuk di satu-satunya kampus di Kuwait bagi 94% lulusan sekolah menengah umum. Kemudian bagi mereka yang usianya di atas 21 tahun juga tidak diperbolehkan tinggal di Kuwait kecuali mereka memiliki izin tinggal kerja. Hal ini mengakibatkan para mahasiswa dari luar terpaksa mengakhiri izin tinggalnya di Kuwait dan bercerai-berailah keluarga mereka. Keluarga-keluarga Palestina (dan keluarga para pendatang secara umum) semakin mengalami penderitaan dengan meningkatnya biaya sewa rumah, yang dalam banyak kesempatan memangkas separuh dari gaji bulanan mereka, terutama bagi mereka yang berkeluarga dan berusaha mendapatkan rumah pada tahun 80-an.
Pendudukan Irak terhadap Kuwait pada Agustus 1990 merupakan titik perubahan besar bagi komunitas Palestina di Kuwait. Di nama lebih dari 200 ribu jiwa terpaksa harus meninggalkan negara tersebut saat terjadi pendudukan Irak terhadap Kuwait dan yang sama terjadi terhadap 200 ribu lainnya setelah pemerintahan kembali ke tangan orang Kuwait. Tidak tersisa di Kuwait setelah itu kecuali 37 ribu orang Palestina saja (ini menurut data statistic tahun 1998). Menurut data perkiraan dari pihak Kuwait, ada sekitar 60 ribu orang Palestina di Kuwait pada tahun 1999.145 Nampaknya semakin membaiknya hubungan Kuwait dengan Yordania membuka pintu kembali bagi mereka memegang passport Yordania, ditambah kondisi positif yang diciptakan intifadhah al Aqsha yang meletus sejak September 2000, di mana orang-orang Kuwait menunjukkan solidaritas yang sangat besar terhadap Intifadhah al Aqsha.
Bersambung…
___
Referensi: Dr. Muhsin Muhammad Shaleh, Warsito, Lc (pent), Ardhu Filistin wa Sya’buha (Tanah Palestina dan Rakyatnya), Seri Kajian Sistematis tentang Issu Palestina (1).
___
Catatan kaki:
140 Ibid.
141 Lihat misalnya seputar masalah pengungsi Palestina di Lebanon: sebuah buku kecil yang disusun oleh lembaga kajian Palestina: The Institute for Palestine Studies, Palestinian Refugees ini Lebanon (Beirut: IPS, 1999).
142 Ibid.
143 Ibid.
144 Lihat makalah Nabiel al Sahli “Al Lajiun al Filistiniyun fi Suriya: Haqaiq Dimografiyah, di harian al Itihad edisi 8 Januari 2000 dan majalah al Mujatama’ no. 1378 November 1999. Lihat seputar masalah pengungsi Palestina, Taisir Amru “Masalah pengungsi dan eksodus orang-orang Palestina” di dalam al Madkhal ila al Qadhiyah al Filistiniyah, hlm. 593 – 614.
145 Seputar masalah perkiraan jumlah pihak Kuwait, lihat majalah al Mujtama’ no. 1378 November 1999. (dkwt)