alhikmah.ac.id – Dinasti Fatimiyah didirikan di pusat wilayah Ifriqiya (Tunisia) pada tahun 909. Pada tahun 969, dinasti ini berhasil menguasai Mesir dan memindahkan pusat kekuasaannya ke Kairo. Dinasti Fatimiyah berhaluan Syi’ah Ismailiyah. Ia mengklaim kekhalifahan atas dunia Islam dan tidak mengakui kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad yang berfaham Sunni.
Selama delapan dekade berikutnya, kekuasaan Dinasti Fatimiyah terus menguat dan meluas. Sepanjang paruh pertama abad ke-11, wilayah kekuasaannya mencakup Mesir, Afrika Utara (Ifriqiya), Suriah, Palestina, Yaman, dan Hijaz, termasuk Makkah dan Madinah. Sementara pada masa yang sama, kekuasaan Dinasti Abbasiyah terus mengalami kemerosotan dan wilayahnya terpecah-pecah dalam banyak kesultanan yang bersifat otonom.
Namun pada pertengahan abad ke-11, keadaan berbalik. Dinasti Fatimiyah mulai mengalami kemerosotan dan dinasti Abbasiyah mulai menguat kembali. Sejak tahun 1050-an, kekuasaan politik dan militer Kekhalifahan Abbasiyah dikendalikan oleh orang-orang Turki Bani Saljuk. Mereka berhasil mengambil alih wilayah Suriah, Palestina, dan Hijaz dari tangan Fatimiyah. Proses ini sempat terhenti dengan terjadinya perpecahan di kalangan emir-emir Turki Saljuk dan terjadinya Perang Salib pada penghujung abad ke-11. Bagaimanapun, Dinasti Fatimiyah tidak pernah bangkit lagi setelah itu dan keadaannya terus mundur hingga tumbangnya dinasti ini pada tahun 1171.
Pada akhir masa Dinasti Fatimiyah, wilayah kekuasaannya hanya tinggal meliputi Mesir saja. Konflik dan intrik politik semakin sering terjadi. Pergantian kekuasaan antara wazir (perdana menteri) yang lama kepada wazir yang baru sering diwarnai oleh pertumpahan darah. Khalifah Fatimiyah sendiri sering terlibat dalam intrik politik menjatuhkan wazirnya dan mengangkat wazir yang baru dan membuat keadaan di negeri itu menjadi tidak stabil.
Pada tahun 1162, Mesir dipimpin oleh seorang wazir bernama Shawar. Tapi setelah sembilan bulan berkuasa, Shawar disingkirkan dari kedudukannya digantikan oleh seorang bernama Dirgham. Shawar melarikan diri ke Suriah dan meminta suaka politik pada Nuruddin Zanki. Nuruddin Zanki merupakan seorang pemimpin Sunni yang shalih dan pada masa itu berhasil menyatukan kekuatan di Suriah dalam menghadapi kekuatan salib.
Selama berada di Suriah, Shawar berulang kali membujuk Nuruddin Zanki agar membantunya merebut kekuasaan kembali di Mesir. Nuruddin tidak menanggapi permohonan Shawar, karena hal itu akan memecah kekuatannya dalam menghadapi kekuatan salib yang berpusat di Yerusalem. Selain itu, posisi Mesir dibatasi oleh wilayah kekuasaan Kristen di Yerusalem, sehingga pengiriman pasukan ke Mesir bisa membahayakan keberadaan pasukan itu sendiri karena sulitnya pengiriman pasukan bantuan ke sana.
Tapi Nuruddin berubah pikiran ketika Kerajaan Yerusalem yang dipimpin oleh Amalric mulai melakukan invasi ke Mesir. Amalric rupanya melihat melemahnya dinasti Fatimiyah sebagai peluang untuk menaklukkan negeri yang kaya itu.Dengan alasan Mesir terlambat membayar upeti kepada Yerusalem, Amalric mengerahkan pasukannya untuk merebut kota Bilbays di Mesir beberapa bulan setelah jatuhnya Shawar dari kekuasaan. Upaya Amalric ketika itu gagal dan pasukannya kembali tanpa hasil.
Namun hal ini membuat Nuruddin khawatir. Jika Amalric kembali menyerang dan berhasil menguasai Mesir, maka hal itu akan membuat kerajaan Yerusalem semakin kuat dan semakin berbahaya bagi Muslim di Suriah. Nuruddin akhirnya menyetujui tawaran Shawar untuk membantunya merebut kekuasaan di Mesir. Sebagai balasannya, Shawar berjanji akan mengakui kepemimpinan Nuruddin, membayar seluruh biaya perang, dan memberikan sepertiga pendapatan mesir kepada Nuruddin. Apa yang terjadi berikutnya adalah sebuah drama memperebutkan Mesir antara pasukan Muslim Suriah dan pasukan Kristen Yerusalem.
Untuk menjalankan tugas ini, Nuruddin menunjuk Shirkuh, jenderal utamanya yang sekaligus merupakan paman Shalahuddin. Shirkuh merupakan seorang jenderal militer yang berpengalaman. Ia menyambut tugas ini dengan antusias dan berangkat ke Mesir bersama Shawar dan sepuluh ribu tentara. Pasukan Shirkuh menguasai kota Bilbays pada tanggal 24 April 1164 dan memasuki Kairo seminggu kemudian. Dirgham terbunuh dalam peristiwa itu dan Shawar kembali dikukuhkan sebagai wazir Mesir.
Tapi setelah semua itu, Shawar mengingkari janjinya. Kini ia merasa khawatir dengan keberadaan pasukan Shirkuh yang sangat kuat dan memintanya meninggalkan negeri itu. Tentu saja Shirkuh tidak mau melakukannya dan menagih janji Shawar. Secara diam-diam, Shawar justru meminta Amalric mengirimkan pasukan untuk membantunya. Hal itu membuat Shirkuh terpaksa menarik pasukannya mundur dari Mesir, karena kekuatan pasukannya tak mencukupi untuk menghadapi pasukan Yerusalem dan Mesir sekaligus.
Shirkuh tidak pernah melupakan peristiwa itu. Ia berkali-kali meminta izin Nuruddin untuk kembali ke Mesir dan membalas perbuatan Shawar. Terlebih lagi, setelah kejadian itu, cengkeraman Yerusalem atas Mesir menjadi semakin kuat. Kesempatan itu akhirnya datang pada awal tahun 1167. Semakin kuatnya pengaruh Yerusalem atas Mesir membuat Nuruddin menyetujui permintaan Shirkuh untuk kembali membawa pasukannya ke Mesir.
Shirkuh segera menghimpun pasukannya. Kali ini ia mengajak keponakannya yang masih berusia 29 tahun, yaitu Shalahuddin al-Ayyubi. Pada pertempuran kali ini, Shirkuh akan menunjukkan kehandalan militer yang luar biasa dalam menghadapi musuh yang lebih besar dan lebih kuat.
Amalric yang mengetahui rencana kedatangan Shirkuh berangkat dan tiba lebih dulu di Kairo pada awal tahun 1167. Pasukan gabungan Yerusalem dan Mesir menanti kedatangan pasukan Shirkuh di sisi Timur kota Kairo, karena dari arah inilah semestinya Shirkuh dan pasukannya akan tiba. Tapi tanpa diduga, Shirkuh melakukan gerakan memutar ke Selatan, menyeberangi Sungai Nil, dan tiba di sisi Barat kota Kairo yang dibatasi oleh sungai.
Amalric dan Shawar sangat terkejut saat mengetahui lawan mereka tiba-tiba sudah berada di belakang mereka. Shirkuh mengirim seorang utusan dan sebuah surat kepada Shawar, mengingatkannya agar melepaskan ikatannya dengan Amalric dan bekerja sama dengannya dalam memerangi pasukan salib. Namun Shawar bukan hanya menolak tawaran ini, ia bahkan membunuh utusan Shirkuh dan menunjukkan surat dari Shirkuh kepada Amalric untuk menunjukkan kesetiaannya pada Raja Yerusalem itu.
Amalric kemudian menyeberangi Sungai Nil untuk menghadapi pasukan Shirkuh. Saat Amalric dan pasukannya mulai menyeberang, Shirkuh membawa pasukannya dengan cepat ke Selatan, menyusuri Sungai Nil. Amalric dan pasukannya segera mengejar mereka. Setelah berada cukup jauh dari Kairo, Shirkuh menghentikan pasukannya dan mengatur strategi untuk berperang melawan pasukan musuh. Kedua pasukan kemudian berhadapan-hadapan, pasukan Shirkuh di Selatan dan pasukan lawan di Utara.
Shirkuh membagi pasukannya menjadi tiga bagian: satu di bagian tengah dan dua di sayap kiri dan kanan. Bagian tengah pasukan dipimpin oleh Shalahuddin. Ketika pertempuran dimulai, Shalahuddin dan pasukan di bagian tengah berpura-pura terdesak dan melarikan diri ke Selatan. Pasukan musuh mengejar mereka dengan penuh semangat. Namun tanpa mereka sadari, pasukan Shirkuh yang berada di sayap kiri dan kanan bergerak memutari mereka dan tiba-tiba sudah berada di bagian utara.
Dengan memancing musuh jauh ke Selatan Kairo, Shirkuh hendak menjauhkan musuh dari basis kekuatan mereka di Kairo. Kini, dengan memutari musuh dan memosisikan diri di sebelah Utara musuh, Shirkuh membuat mereka sulit untuk melarikan diri ke Kairo.
Pada pertempuran itu, pasukan Shirkuh dapat mengalahkan pasukan musuh. Banyak tentara Kristen Yerusalem yang terbunuh dalam pertempuran itu. Walaupun begitu, Amalric dan beberapa tentaranya dapat meloloskan diri dan kembali ke Kairo. Mereka segera mempersiapkan pasukan yang baru untuk mengejar pasukan Shirkuh di selatan. Tapi sebelum mereka sempat berangkat, mereka mendapat kabar yang mengejutkan: Shirkuh dan pasukannya telah berada di ujung Utara Mesir dan telah menaklukkan kota Aleksandria di tepi Laut Tengah.
Mereka tidak menyangka Shirkuh dapat menggerakkan pasukannya secepat itu ke Utara. Kini mereka terpaksa mengikuti rentak yang dimainkan oleh Shirkuh. Pasukan Yerusalem dan Mesir kini bergerak ke Utara dan mengepung kota Aleksandria dari darat dan dari laut. Shirkuh dan pasukannya bertahan di kota itu selama sebulan. Lama kelamaan Shirkuh dan pasukannya mulai mengalami kesulitan. Bahan pangan semakin menipis. Mereka terkepung dan terputus hubungan dari Suriah. Jika terus dalam posisi seperti itu, mereka tentu akan kalah.
Nuruddin Zanki mengetahui keadaan genting sedang dihadapi oleh Shirkuh dan pasukannya di Aleksandria, tetapi ia tak bisa mengirimkan pasukan bantuan ke Mesir karena lokasi yang terlalu jauh. Namun Nuruddin melakukan sesuatu yang sangat mengganggu perhatian Amalric. Ia mengerahkan pasukannya menyerang daerah sekitar Yerusalem. Sementara itu, pada saat yang sama Shirkuh menugaskan Shalahuddin untuk memimpin pasukan utama bertahan di Aleksandria. Ia sendiri menerobos kepungan musuh bersama beberapa ratus tentaranya. Mereka bergerak ke daerah sekitar Kairo, membujuk para petani di sekitar kota itu untuk melakukan perlawanan terhadap rezim Shawar yang telah menimbulkan banyak kesusahan bagi mereka.
Dengan strategi tersebut, posisi pasukan Shirkuh yang tadinya dalam keadaan terdesak di satu front kini berkembang menjadi tiga front pertempuran: Alexandria, Yerusalem, dan Kairo. Pertempuran yang diharapkan akan berakhir singkat oleh pihak Amalric dan Shawar kini berubah menjadi pertempuran yang mungkin akan berlangsung lama. Shirkuh mengirimkan surat dan memberi pesan yang jelas kepada Amalric: pertempuran itu hanya memberikan keuntungan bagi Shawar dan tidak memberi keuntungan bagi mereka berdua. Amalric yang berkali-kali dibuat pening oleh rentak strategi Shirkuh yang sangat sukar ditebak terpaksa menyetujui usulan yang diberikan oleh Shirkuh. Kedua belah pihak melakukan gencatan senjata dan kembali ke negeri mereka masing-masing.
Pada pertempuran babak kedua ini, Shirkuh masih belum berhasil dalam misinya. Pertempuran itu, terutama pengepungan di Aleksandria, juga menyebabkan Shalahuddin merasa trauma. Pengaruh Yerusalem di Mesir menjadi semakin kuat. Upeti yang harus dibayarkan oleh Mesir kepada Yerusalem semakin besar setelah peristiwa itu. Bagaimanapun, Nuruddin Zanki dan Shirkuh berhasil menarik simpati masyarakat Mesir. Penduduk Mesir tidak menyukai kerja sama Mesir dengan Yerusalem. Upeti yang harus dibayarkan oleh Mesir sangat membebani mereka. Khalifah Fatimiyah yang masih berusia muda juga sangat tidak menyukai kebijakan Shawar yang merugikan kerajaannya itu.
Harapan khalifah Fatimiyah dan masyarakat Mesir kini terpusat pada Nuruddin Zanki. Mereka merasa hanya Nuruddin yang bisa diharapkan untuk membebaskan mereka dari ancaman Yerusalem. Maka Khalifah Fatimiyah mulai mengirimkan surat secara teratur kepada Nuruddin Zanki, memintanya untuk mengirim pasukan lagi ke Mesir. Tapi Nuruddin tidak ingin bertindak gegabah. Ia sudah mengirim Shirkuh dan pasukannya dua kali, tapi negeri itu tidak mudah ditaklukkan, terlebih dengan adanya campur tangan Yerusalem. Nuruddin tidak menanggapi permintaan itu dan memutuskan untuk mengamati keadaan.
Sikap Nuruddin yang memilih untuk bersabar sangat tepat, karena Almaric kemudian melakukan kesalahan fatal. Pada bulan Oktober 1168 banyak peziarah yang datang dari Eropa ke Yerusalem. Adanya tenaga baru ini membuat Amalric tergoda untuk segera menyerang dan menguasai Mesir. Ia pun mengerahkan pasukannya masuk ke Mesir. Kota pertama yang mereka kuasai adalah kota Bilbays. Namun di kota ini para peziarah Eropa yang menyertai pasukan itu melakukan tindakan yang kejam. Mereka membantai penduduk kota itu, termasuk perempuan dan anak-anak, Muslim dan Kristen. Sikap ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Shirkuh dan pasukannya.
Kejadian itu membuat penduduk Kairo bertekad untuk mempertahankan kota mereka mati-matian. Karena jika kota itu jatuh ke tangan musuh, tentu nasib mereka akan sama dengan penduduk Bilbays. Pada saat yang sama, Khalifah Fatimiyah, al-Adid, mengirimkan sebuah surat kepada Nuruddin Zanki dan mendesaknya untuk menolong Mesir. Kali ini Nuruddin bertindak cepat. Ia memerintahkan Shrikuh untuk berangkat lagi ke Mesir. Shirkuh meminta Shalahuddin menyertainya dalam misi ini yang diikuti dengan perasaan enggan oleh keponakannya itu.
Perjalanan pasukan Shirkuh yang ketiga kali ke Mesir memberikan kemenangan yang gemilang. Pasukan Amalric sudah sempat mengepung Kairo, tetapi merasa frustasi melihat kegigihan masyarakat Kairo bertahan. Amalric merasa khawatir pasukan Shirkuh sewaktu-waktu akan tiba dari Suriah dan berperang melawan pasukannya. Ia tentu tak pernah melupakan kegesitan dan kemahiran Shirkuh dalam mengatur strategi perang. Maka pada awal Januari 1169, sebelum pasukan Shirkuh tiba di tempat itu, Amalric menarik pasukannya dari Kairo dan kembali ke Yerusalem.
Dengan demikian, ketika Shirkuh dan pasukannya tiba di Kairo, musuh telah meninggalkan kota itu. Khalifah Fatimiyah dan penduduk Mesir menyambut Shirkuh sebagai pahlawan mereka. Shawar kemudian ditangkap dan dihukum mati. Shirkuh ditetapkan sebagai wazir Mesir yang baru.
Shirkuh sendiri ternyata tidak lama memerintah sebagai wazir negeri Mesir. Dua bulan kemudian ia meninggal dunia. Shalahuddin ditetapkan sebagai wazir yang baru. Shalahuddin kelak menghapuskan Kekhalifahan Fatimiyah pada tahun (1171), meneruskan kepemimpinan Nuruddin Zanki (1174), mendirikan Dinasti Ayyubiyah, dan membebaskan Yerusalem dari tangan orang-orang Frank (kekuatan salib) (1187