Seolah dipaksa menutup mata, mulut, dan telinga. Itulah yang sebenarnya sedang terjadi. Saat saudara-saudara kita di Gaza terus-menerus dibumihanguskan kampung halamannya, dibombardir tempat tinggalnya. Saat itu pula seolah seluruh masyarakat dunia hanya dipaksa diam tak berucap, hanya dapat melihat dan mendengar tanpa berbuat. Tidak ada yang berubah. Bahkan penindasan terus bertambah. Kesewenang-wenangan makin dirasakan saudara kita di Gaza.
Israel dengan keangkuhannya selalu berdalih, sejuta alasan dituturkan untuk melegitimasi rudal-rudal mereka agar dilesatkan ke Gaza. Kecaman, kutukan, dan pemboikotan tidaklah cukup membuat Israel berhenti. Mereka makin senang dengan penuh pembangkangan. Seolah tidak ada jalan damai. Bahkan mungkin tidak ada jalan keluar kecuali dengan darah. Anak-anak mereka dididik mentalnya untuk siap bertempur. Mereka diperkenalkan sejak dini dengan senjata secanggih X95, Main Battle Tank, dan lain-lain. Itu semua bertujuan bukan hanya untuk menimbulkan kecintaan mereka terhadap negaranya. Tapi sekaligus untuk menanamkan rasa benci terhadap Palestina, kaum Arab umumnya. Sehingga tidak heran, jika dikatakan Zionism is racism. Mereka terlalu angkuh untuk menganggap dirinya berada di level teratas dari masyarakat dunia lainnya. Sedangkan yang lainnya dianggap rendah.
Di saat-saat seperti inilah, tampak jelas siapa saja yang hanya bisa diam sambil melihat tanpa berkata, ataupun tidak tahu menahu dan acuh tak acuh terhadap apa yang menimpa saudara kita di Palestina. Ada pula yang bersuara lantang menuntut keadilan, menyerukan kebebasan Palestina, mengutuk dan mengecam Israel atas kekejian dan kekejamannya. Banyak juga yang memberikan donasi baik itu berupa uang, atau fisik dengan berjihad siap mengabdi di lapangan secara langsung.
Sebagai contoh, kita ikuti sikap masyarakat dunia dalam hal ini. Erdogan sebagai PM Turki mengecam keras agresi serangan yang dilancarkan Israel kepada warga Palestina, bahkan Ia menyebutkan bahwa tindakan Yahudi Israel lebih kejam lagi hina daripada Hitler. Ditambah lagi setelah ia mendengar pernyataan salah satu politisi Israel Ayelet Shaked bahwa warga Palestina pantas mati. Erdogan mengatakan kicauannya itu menunjukkan bahwa mental politisi tersebut seperti Hitler. Berdarah dingin. Biadab.
Contoh lain, kita perhatikan kecaman demi kecaman digembor-gemborkan oleh aktivis, mahasiswa, dan masyarakat dunia yang ditujukan kepada Israel. Banyak pula dukungan moril yang terpublikasi baik itu dalam bentuk doa maupun sekedar pernyataan saja. Baik itu dari elit politisi hingga selebriti. SBY misalnya, ia menyampaikan sikapnya dalam kapasitasnya sebagai presiden bahwa kebebasan Palestina dari pembantaian harus segera terealisasikan melalui jalan damai dengan secepat-cepatnya. Demikian keberlangsungan perundingan demi tercapainya kemerdekaan Palestina sebagai negara yang damai. Selain itu, SBY pun menyatakan bahwa Indonesia siap mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Palestina berupa hibah untuk meringankan beban dan penderitaan yang dirasakan rakyat Palestina baru-baru ini.
Baru-baru ini di Jogja, ada perekrutan volunter untuk berangkat ke Gaza guna mengemban tugas suci, tugas kemanusiaan (19/7/2014). Keikhlasan yang menjadi dasar. Mereka yang bersikukuh ingin membantu rakyat Palestina berbekal kemampuan dan pengalaman. Contoh lainnya, tidak perlu jauh-jauh. Di Aceh, sikap tegas mahasiswa menolak kedatangan mantan Presiden Amerika Bill Clinton adalah bentuk kecaman dan kemarahan mereka terhadap Amerika yang seolah-olah menganggap enteng pembantaian yang terjadi di Palestina (19/7/2014). Ditambah lagi setelah muncul pernyataan Obama tentang dukungannya terhadap Israel yang memicu kemarahan umat Islam. Dengan dalih Israel hanya berusaha meminimalisasi serangan rudal yang dilancarkan oleh ‘pemberontak’ Hamas (19/7/2014). Jadi wajar-wajar saja jika Israel membabi-buta dalam hal serangan rudal kepada pihak Hamas. Bahkan mereka menuding, pihak Hamaslah yang bertanggung jawab atas banyaknya korban dari warga sipil Palestina. Karena Hamas menjadikan rakyat Palestina menjadi tameng. Benarkah demikian? Padahal banyak bukti yang menunjukkan bahwa rudal-rudal tersebut sengaja disasarkan ke kawasan sipil Palestina.
Jika kita menoleh ke timur tengah, sebagai contoh Raja Muhammad VI di kerajaan Maroko. Ia memberikan instruksi kepada Perdana Menterinya Ben Kiran agar segera memberikan bantuan kemanusiaan kepada rakyat Palestina dalam bentuk uang senilai lima juta USD. Ditambah lagi dengan inisiatif raja untuk menerima rakyat Palestina yang menjadi korban dari serangan Israel agar dapat dirawat di rumah sakit di Maroko. Mulia sekali bukan. Bagaimana dengan negara-negara Arab teluk?
Tidakkah cukup pancaindra mereka merasakan penderitaan yang dialami saudara-saudaranya sendiri yang berdekatan tinggalnya? Hanya retorika yang berkoar dari para elit negara teluk yang dapat kita dengar. Hanya sikap prihatin merekalah yang dapat diberikan kepada saudara-saudaranya sendiri. Bahkan hanya diam, tidak berbuat apa-apa. Pantaskah mereka disebut sebagai saudara seagama?
Benar, bantuan terus-menerus mengalir ke pundi-pundi Jalur Gaza. Benar, banyak relawan berdatangan dengan ikhlas untuk meringankan beban rakyat Palestina serta membantu semampunya. Benar, kecaman dan demonstrasi digencarkan hampir di seluruh dunia dari semua kalangan, dalam rangka penolakan pembantaian yang dilakukan oleh Zionis.
Lalu, apakah semua itu cukup? Atau dengan konsep ‘setidaknya’ dapat meringankan penderitaan saudara-saudara kita di Gaza? Cukupkah? Bagaimana seharusnya sikap kita, khususnya Umat Islam yang dengan jelas mengetahui pembantaian yang dilakukan oleh Zionis kepada saudara-saudara kita? Lebih baik demikian daripada tidak sama sekali. Benar. Tapi ada yang harus dibenahi. Diperbaiki secara fundamental.
Persatuan umat. Ya. Palestina tidak akan pernah keluar dari sangkar Israel tanpa adanya solidaritas umat beragama, khususnya Umat Islam. Semuanya menyadari buruknya keadaan mental umat Islam secara umum. Masing-masing memiliki kepentingannya sendiri. Padahal sudah puluhan tahun kita membiarkan secara gamblang saudara-saudara kita ditindas dan dijajah oleh zionis Israel. Apakah kita harus menunggu lagi. Banyak cendekiawan Islam di dunia yang menyerukan perlawanan terhadap Israel, tapi mereka tidak memiliki kuasa. Sedangkan para elit politik terperangkap di antara kepentingan-kepentingan yang sangat mengikatnya dan negaranya.
Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dari apa yang telah dirasakan oleh rakyat Palestina, saudara-saudara kita. Semua bisa menjadi lebih baik. Marilah kita berkorban lebih banyak lagi untuk mencapai kemenangan yang hakiki di bulan suci ini. Dengan doa, ilmu, uang, dan darah. Kita bisa mengubah segalanya. Kita harus bersatu. Satukan tujuan untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel laknatullah. Jangan sampai kita menjadi makhluk yang paling hina karena diam melihat penderitaan saudara-saudara kita sendiri. Semoga ke depan pemimpin-pemimpin kita dapat memberikan dukungan yang riil kepada rakyat Palestina. Mari kita berdoa demi kedamaian Palestina
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/07/23/54985/sikap-umat-penentu-kebebasan-palestina/#ixzz38LcvgTkL
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook