alhikmah.ac.id – “Jangan bilang siapa-siapa ya”, “Eh, ini rahasia antara kamu dan aku”, “Pokoknya enggak boleh ada orang lain yang tahu”. Mungkin di antara kita sering mendengar kalimat itu, atau kita sendiri yang mengucapkan kalimat itu. Ya, kalimat rahasia! Biasanya diucapkan setelah kita bercerita suatu hal pada orang lain. Kalimat yang sederhana dan ringan, tetapi akibatnya tak sesederhana yang terpikirkan (kalau sampai membocorkan rahasia tersebut).
Siapa di dunia ini yang tidak memiliki rahasia? Semua pasti memiliki rahasia, baik rahasia yang positif maupun rahasia yang negatif (terutama menyangkut aib pribadi). Tak dipungkiri, kita pasti sering bercerita sesuatu kepada orang lain, entah masalah pribadi atau bahkan masalah orang lain. Ketika sudah menceritakannya pada orang lain, mungkin ada sedikit perasaan lega. Tetapi, apakah kita yakin jika orang yang kita “amanahkan” untuk menjaga rahasia itu adalah orang yang dapat dipercaya, sekalipun ia adalah teman dekat?
Bukankah manusia itu egois? Ya, meskipun kita percaya pada dia, yang kita anggap sebagai orang yang dapat dipercaya. Aah, bukankah manusia itu sifatnya memang pelupa dan sering berbuat khilaf ya? Ketika asyik ngobrol dengan teman lainnya, “tanpa sengaja” membicarakan rahasia teman yang satunya (yang cerita pada kita). Sudah terlanjur membocorkan pada pihak yang seharusnya tidak berhak tahu, hanya bisa terpaku sejenak kemudian berpikir “Ups, aku lupa, seharusnya enggak boleh cerita ke orang lain”. Akhirnya, kita hanya bisa mengatakan pada pihak ketiga itu, “jangan bilang siapa-siapa ya, cuma kau dan aku yang tahu”. Dan, berharap bahwa si pihak ketiga tidak akan menceritakan pada pihak empat, lima, enam, dan seterusnya.
Al Munaawi rahimahullah berkata, “Tidak setiap orang yang amanah menjaga harta juga amanah menjaga rahasia. Menjaga diri dari harta lebih mudah daripada menjaga diri untuk tidak menyebarkan rahasia”. Benar sekali perkataan Al Munaawi tersebut, menjaga harta lebih mudah daripada menjaga rahasia. Bukankah manusia tidak akan tahan untuk tidak membicarakan rahasia orang lain? Rahasia termasuk amanah yang harus dijaga dan janji yang harus ditepati. Menjaga rahasia berarti menyembunyikan rahasia, apalagi jika kita telah diberikan kepercayaan oleh seseorang untuk menyimpannya. Apabila kita membocorkan rahasia tersebut, jadilah kita sebagai seorang pengkhianat! Membocorkan rahasia adalah bentuk pengkhianatan. Na’udzubillahi min dzalik…
Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Hanya karena lidah yang tak bertulang ini, jangan sampai kita mengkhianati amanah, merusak janji, menyebabkan pertikaian, dan akhirnya merusak persaudaraan. “Rahasiamu adalah tawananmu, apabila engkau membocorkannya, maka engkau akan menjadi tawanannya” (Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu). Islam pun sudah mengatur adab menjaga rahasia, yaitu dengan menyembunyikan rahasia tersebut. Kita pun diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjaga amanah dan janji, “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (Q.S. Al Anfal ayat 27).
Kisah tentang menjaga rahasia juga pernah dicontohkan oleh Anas bin Malik r.a, Anas pernah didatangi oleh Rasulullah SAW ketika sedang bermain bersama anak-anak. Setelah Rasulullah mengucapkan salam pada anak-anak, lalu beliau memanggil Anas dan mengutusnya untuk suatu kebutuhan/keperluan. Anas pun terlambat pulang untuk menemui ibunya, Ummu Sulaim, istri Abu Thalhah. Ibunya pun bertanya, “Apa yang membuatmu terlambat?”. Dia menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimku dalam sebuah kebutuhan”. Ibunya pun bertanya lagi, “Apa kebutuhan beliau?”, Anas menjawab, “Aku tidak akan memberitahukan rahasia Rasulullah SAW”. Maka, sang ibu berkata, “Engkau janganlah memberitahukan rahasia Rasulullah SAW kepada seorangpun”.
Saat itu Anas masih kecil, tetapi ia sudah mampu menjaga rahasia Rasulullah. Meskipun yang bertanya mengenai hal itu adalah ibunya sendiri. Seharusnya kita mencontoh sikap Anas tersebut, mampu menjaga rahasia. Nah, kita yang diamanahkan untuk menyimpan rahasia orang lain, seharusnya bertanggung jawab terhadap amanah itu. Ketika sudah banyak orang lain yang mengetahui rahasia tersebut, maka hal itu tak lagi menjadi sebuah rahasia. Bukankah menyimpan rahasia sendiri saja sudah sulit? Apalagi jika harus menjaga rahasia orang lain! Kita harus mengingat hal ini, “dengan menutup aib orang lain, Allah pun akan menutup aib kita, baik di dunia maupun di akhirat”. Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim).
Jika memang kita merasa tidak mampu memendam rahasia dalam hati, dan ingin sekali menceritakan pada orang lain, sebenarnya tidak masalah. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu kita harus memikirkan akibatnya ketika menceritakan rahasia kita kepada orang lain, bagaimana jika akhirnya tersebar? Siap menghadapinya? ; kalau memang harus menceritakan kepada orang lain, maka ceritakanlah pada orang yang amanah, mampu menjaga rahasia, dan mampu memberikan nasihat atau saran untuk mengahadapi masalah kita ; dan jangan menceritakan rahasia kepada banyak orang, semakin banyak orang yang kita ceritakan maka akan semakin mudah tersebar rahasia kita.
Ada baiknya kita membeberkan rahasia pribadi hanya kepada Alloh, Sang Pemilik hati. Rahasia kita pasti terjamin, dan bukankah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram? Allah adalah sebaik-baik Penjaga rahasia. Teori itu mudah, tetapi dalam praktiknya masih sulit. Aku pun masih lebih sering “curhat” kepada manusia dibandingkan “curhat” kepada Allah. Betapa payahnya diri ini, lebih senang “curhat” kepada manusia yang seringnya berbuat khilaf, seolah-olah diri ini hanya percaya pada sesama makhluk yang lemah.
Bukan berarti yang menulis ini sudah menjadi orang yang mampu menjaga rahasia orang lain. Diri ini lebih sering menjadi seorang pengkhianat, sering lalai akan amanah dan janji itu! Ketika orang lain bercerita tentang rahasianya, merasa dan menganggap bahwa diri ini adalah orang kepercayaannya. Padahal, hal itu adalah sesuatu yang berat, ketika tak mampu menjaganya, berdosa lah diri ini! Memang tak mudah menjaga rahasia. Sungguh benar kata seorang bijak, ” Sabar dalam menggenggam bara api, masih lebih mudah daripada sabar untuk tidak menyebarkan rahasia.”
Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,” Hati ibarat bejana dan bibir adalah gemboknya, sedangkan lisan adalah kuncinya. Maka setiap orang hendaknya menjaga kunci rahasianya.”
Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu menjaga amanah yang dipercayakan pada kita, dan semoga hati kita senantiasa tertaut hanya pada-Nya. Aamiin