Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Ada 2 syarat wajib zakat, yaitu yang pertama menyangkut orang dan yang kedua berkenaan dengan harta. Syarat yang berkenaan dengan orang yang wajib zakat, para ulama bersepakat bahwa mengeluarkan zakat itu wajib atas setiap muslim yang sudah baligh –dan berakal dan tidak wajib atas non muslim– karena zakat adalah salah satu rukun Islam. Ini berdasar pesan Rasulullah saw. kepada Mua’dz bin Jabal saat mengutusnya ke Yaman, “… beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dari para orang kaya dan dibagikan kepada para orang fakir.” (muttafaq alaih). Artinya zakat adalah kewajiban yang tidak diwajibkan kepada seseorang sebelum masuk Islam. Meskipun zakat itu adalah kewajiban sosial yang dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat, tetapi saja zakat merupkan ibadah dalam Islam. Dan makna ibadah inilah yang lebih dominann sehingga tidak diwajibkan atas non muslim.
Para ulama telah bersepakat bahwa zakat diwajibkan pula pada harta orang kaya muslim yang dalam kondisi gila. Walinya yang mengeluarkan zakat itu. Hal ini berdasar kepada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang memerintahkan zakat mencakup seluruh orang kaya, tanpa mengecualikan anak-anak dan orang gila. Hadits Rasulullah saw., “Dagangkanlah harta anak yatim sehingga hartanya tidak dimakan zakat.” (Hadits ini diriwayatkan dari banyak jalur, yang saling menguatkan). Mayoritas para sahabat berpendapat demikian, di antaranya Umar dan anaknya (Abdullah ibnu Umar), Ali, Aisyah, dan Jabir r.a.
Zakat adalah haqqul mal, seperti kata Abu Bakar r.a. dalam penegasannya saat memerangi orang murtad yang tidak mau membayar zakat. Dan haqqul mal diambil dari anak kecil dan orang gila. Karena zakat berkaitan dengan harta, bukan dengan personalnya. Pendapat ini dipegang oleh madzhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.
Sedangkan yang menyangkut harta, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah harta yang telah memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. Kepemilikan penuh. Maksudnya, penguasaan seseorang terhadap harta kekayaan sehingga bisa menggunakannya secara khusus. Karena Allah swt. mewajibkan zakat ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya. Perhatikan firman Allah swt. ini, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103)
Karena itulah zakat tidak diambil dari harta yang tidak ada pemiliknya secara definitif. Seperti al-fa’i (harta yang diperoleh tanpa perang), ghanimah, aset negara, kepemilikan umum, dan waqaf khairi. Sedang waqaf pada orang tertentu, maka tetap kena wajib zakat menurut pendapat yang rajih (kuat)[1].
Tidak wajib zakat pada harta haram, yaitu harta yang diperoleh manusia dengan cara haram, seperti ghasab (ambil alih semena-mena), mencuri, pemalsuan, suap, riba, ihtikar (menimbun untuk memainkan harga), menipu. Cara-cara ini tidak membuat seseorang menjadi pemilik harta. Ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka ia wajib bersedekah dengan keseluruhannya. [2]
Sedangkan hutang, yang masih ada harapan kembali, maka pemilik harta harus mengeluarkan zakatnya setiap tahun. Namun jika tidak ada harapan kembali, maka pemilik hanya berkewajiban zakat pada saat hutang itu dikembalikan dan hanya zakat untuk satu tahun (inilah madzhab Al-Hasan Al-Bashriy dan Umar bin Abdul Aziz) atau dari tahun-tahun sebelumnya (madzhab Ali dan Ibnu Abbas).
2. Berkembang. Artinya, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus harta yang berkembang aktif, atau siap berkembang, yaitu harta yang lazimnya memberi keuntungan kepada pemilik. Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya.” (Muslim). Dari hadits ini beberapa ulama berpendapat bahwa rumah tempat tinggal dan perabotannya serta kendaraan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harta itu disiapkan untuk kepentingan konsumsi pribadi, bukan untuk dikembangkan. Dari ini pula rumah yang disewakan dikenakan zakat karena dikategorikan sebagai harta berkembang, jika telah memenuhi syarta-syarat lainnya.
3. Mencapai nishab, yaitu batas minimal yang jika harta sudah melebihi batas itu, wajib mengeluarkan zakat; jika kurang dari itu, tidak wajib zakat. Jika seseorang memiliki kurang dari lima ekor onta atau kurang dari empat puluh ekor kambing, atau kurang dari dua ratus dirham perak, maka ia tidak wajib zakat. Syarat mencapai nishab adalah syarat yang disepakati oleh jumhurul ulama. Hikmahnya adalah orang yang memiliki kurang dari nishab tidak termasuk orang kaya, sedang zakat hanya diwajibkan atas orang kaya untuk menyenangkan orang miskin. Hadits Nabi, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (Bukhari dan Ahmad)
4. Nishab itu sudah lebih dari kebutuhan dasar pemiliknya sehingga ia terbukti kaya. Kebutuhan minimal itu ialah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi ia akan mati. Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, alat kerja, alat perang, dan bayar hutang. Jika ia memiliki harta dan dibutuhkan untuk keperluan ini, maka ia tidak zakat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah swt., “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.” (Al-Baqarah: 219). Al-afwu adalah yang lebih dari kebutuhan keluarga, seperti yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir. Demikian juga yang Rasulullah saw. katakan, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (Bukhari dan Ahmad). Kebutuhan dasar itu mencakup kebutuhan pribadi dan yang menjadi tanggung jawabnya seperti isteri, anak, orang tua, kerabat yang dibiayai.
5. Pemilik lebih dari nishab itu tidak berhutang yang menggugurkan atau mengurangi nishabnya. Karena membayar hutang lebih didahulukan waktunya daripada hak orang miskin, juga karena kepemilikan orang berhutang itu lemah dan kurang. Orang yang berhutang adalah orang yang diperbolehkan menerima zakat, termasuk dalam kelompok gharimin, dan zakat hanya wajib atas orang kaya.
Hutang dapat menggugurkan atau mengurangi kewajiban zakat berlaku pada harta yang zhahir, seperti hewan ternak dan tanaman pangan, juga pada harta yang tak terlihat seperti uang.
Syarat hutang yang menggugurkan atau mengurangi zakat itu adalah:
a. hutang yang menghabiskan atau mengurangi nishab dan tidak ada yang dapat dugunakan membayarnya kecuali harta nishab itu.
b. hutang yang tidak bisa ditunda lagi, sebab jika hutang yang masih bisa ditunda tidak menghalangi kewajiban zakat.
c. Syarat terakhir, hutang itu merupakan hutang adamiy (antar manusia), sebab hutang dengan Allah seperti nadzar, kifarat tidak menghalangi kewajiban zakat.
6. Telah melewati masa satu tahun. Harta yang sudah mencapai satu nishab pada pemiliknya itu telah melewati masa satu tahun qamariyah penuh. Syarat ini disepakati untuk harta seperti hewan ternak, uang, perdagangan. Sedangkan pertanian, buah-buahan, madu, tambang, dan penemuan purbakala, tidak berlaku syarat satu tahun ini. Harta ini wajib dikeluarkan zakatnya begitu mendapatkannya. Dalil waktu satu tahun untuk ternak, uang, dan perdagangan adalah amal khulafaur rasyidin yang empat, dan penerimaan para sahabat, juga hadits Ibnu Umar dari Nabi saw., “Tidak wajib zakat pada harta sehingga ia telah melewati masa satu tahun.” (Ad-Daru Quthni dan Al-Baihaqi)
Zakat Hewan
Hewan adalah salah satu jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hewan yang dikeluarkan zakatnya adalah onta, sapi, kerbau, dan kambing.
Syarat zakat hewan ternak adalah:
- Mencapai jumlah satu nishab, yaitu 5 onta, 30 sapi, dan 40 kambing.
- Sudah melewati satu tahun, dan zakat hanya dikeluarkan setahun sekali.
- Digembalakan di ladang yang boleh untuk menggembala. Sedangkan hewan yang dikandangkan (diberi makan di kandang dan tidak digembalakan), maka tidak wajib zakat kecuali menurut madzhab Maliki.
- Tidak menjadi alat kerja, membajak, menyiram, atau membawa barang. Sebab jika dipekerjakan, statusnya lebih mirip menjadi alat kerja daripada kekayaan.
1. Zakat Onta
Nishab onta adalah 5, maka barangsiapa memiliki 4 ekor onta, ia belum wajib zakat. Zakat wajibnya seperti dalam table berikut ini:
Jumlah | Zakat wajibnya |
5 – 1 9 | Seekor kambing |
10 – 14 | Dua ekor kambing |
15 – 19 | Tiga ekor kambing |
20 – 24 | Empat ekor kambing |
25 – 35 | 1 bintu makhadh/anak onta yang induknya sedang hamil (usia > 1 tahun) |
36 – 45 | 1 bintu labun/anak onta yang induknya sedang menyusui (usia > 2 tahun) |
46 – 60 | 1 onta hiqqah (onta betina yang berumut > 3 tahun) |
61 – 75 | 1 onta jadza’ah ( onta betina berumur > 4 tahun) |
76 – 90 | 2 ekor onta bintu labun |
91 – 120 | 2 hiqqah |
Lebih dari 120, maka setiap 50 ekor zakatnya satu hiqqah, dan setiap 40 ekor zakatnya satu bintu labun.
Jika disimak ketentuan zakat onta yang kurang dari 25 ekor menggunakan kambing, ini berbeda dengan kaidah bahwa zakat itu diambilkan dari harta yang dizakati. Penggunaan kambing untuk zakat onta ini adalah salah satu bentuk keringanan dalam Islam terhadap pemiliki onta yang masih sedikit.
2. Zakat Sapi
Zakat sapi hukumnya wajib berdasarkan As-Sunnah dan Ijma’. Hadits Abu Dzarr dari Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun yang memiliki onta, sapi, atau kambing tetapi tidak membayar haknya, kecuali di hari kiamat akan datang lebih besar dan gemuk dari yang ada sebelumnya, kemudian menginjak-injak dengan kaki-kakinya, dan menyeruduk dengan tanduknya. Ketika sampai ke belakang bersambung dengan yang terdepan, sehingga diputuskan di tengah-tengah manusia.” (Bukhari)
Sedang ijma’, seperti yang disebutkan penulis Al-Mughniy, dan menegaskan bahwa tidak ada seorangpun ulama yang menolak zakat sapi sepanjang masa (lihat Al-Mughniy Juz: II).
Nishab sapi yang dipilih oleh empat madzhab adalah 30 ekor sapi. Kurang dari itu, tidak wajib zakat. Tiga puluh ekor sapi itu zakatnya seekor tabi’ (sudah berusia 1 tahun, dan masuk ke tahun kedua, disebut tabi’ -artinya ikut– karena ia masih mengikuti induknya), dan jika sudah mencapai jumlah 40 ekor, zakatnya seekor sapi musinnah (berusia 2 tahun dan masuk ke tahun ketiga, disebut musinnah -artinya bergigi karena sudah mulai tampak giginya). Dan jika sudah berjumlah 60 ekor, zakatnya 2 ekor anak sapi. Dan jika sudah berjumlah 70 ekor sapi, zakatnya satu ekor tabi’ dan satu ekor musinnah. Jika sudah berjumlah 80 ekor, zakatnya 2 ekor musinnah. Jika sudah mencapai 90 ekor, zakatnya 1 musinnah dan 2 ekor tabi’. Jika berjumlah 100 ekor sapi, zakatnya 2 musinnah dan 1 ekor tabi’.
Dalil masalah ini adalah hadits Masruq dari Mu’adz bin Jabal. Muadz berkata, “Rasulullah saw. mengutusku ke Yaman, dan menyuruhku untuk mengambil setiap 30 ekor sapi, seekor tabi’ jantan atau betina, dan setiap 40 ekor zakatnya satu ekor musinnah.”
Namun, Said bin Al Musayyib dan Ibnu Syihab Az Zuhriy berpendapat bahwa nishab sapi adalah sama dengan nishab onta, yaitu 5 ekor. Imam At-Thabari berpendapat bahwa nishab onta adalah 50 ekor.
4. Zakat Kambing
Hukumnya wajib berdasarkan As-Sunnah dan Ijma’. Abu Bakar r.a. memberikan catatan kepada Anas r.a. tentang nishab hewan ternak, seperti yang telah disebutkan di depan. Al-Majmu’ (Imam An-Nawawi) dan Al-Mughni (Ibnu Qudamah) menyebutkan telah terjadi ijma’ tentang wajib zakat kambing. Besar zakat kambing seperti yang ditulis Abu Bakar r.a. dapat dilihat dalam table berikut ini:
Mulai | Sampai | Besar zakat wajibnya |
1 | 39 | Tidak wajib zakat |
40 | 120 | Seekor kambing |
121 | 200 | Dua ekor kambing |
201 | 299 | Tiga ekor kambing |
300 | 399 | Empat ekor kambing |
400 | 499 | Lima ekor kambing |
Berikutnya setiap seratus ekor kambing zakatnya satu ekor kambing |
Perlu dicatat di sini, bahwa syariah Islam meringankan zakat kambing. Semakin banyak, zakatnya 1%, padahal persentase zakat yang lazim 2,5%. Hikmah yang tampak adalah, bahwa kambing itu banyak yang kecil karena dalam setahun ia beranak lebih dari sekali, dan setiap kali beranak lebih dari satu ekor, terutama domba. Kambing-kambing kecil ini dihitung, tetapi tidak bisa digunakan untuk membayar zakat. Dari itulah keringanan ini tidak menjadi kecemburuan pemilik onta dan sapi atas pemilik kambing. Sedangkan bilangan 40 pertama, wajib mengeluarkan zakatnya seekor kambing, karena di antara syaratnya -menurut yang rajah (kuat)– 4 ekor kambing itu telah dewasa. Dan inilah pendapat madzhab Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i dalam membahas zakat seluruh hewan ternak.
Zakat hewan lain
1. Para ulama bersepakat bahwa kuda untuk transportasi dan jihad fi sabilillah tidak diwajjibkan zakat. Sedangkan yang diperdagangkan, wajib dikeluarkan zakat dagangan. Demikian juga kuda yang dikurung, tidak wajib zakat karena yang wajib dizakati adalah hewan yang digembalakan.
2. Sedangkan untuk kuda gembalaan yang dilakukan seorang muslim untuk memperoleh anaknya –kudanya tidak hanya jantan–, Abu Hanifah berpendapat tentang wajibnya zakat kuda ini, yaitu satu dinar setiap ekornya untuk kuda Arab, atau senilai 2,5% dari perkiraan harga kuda untuk kuda non Arab.
3. Jika kemudian berkembang jenis-jenis hewan baru yang menjadi peliharaan untuk pengembangan dan memperoleh hasilnya, seperti keledai, apakah ada kewajiban zakatnya? Para ulama modern seperti Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khallaf, dan Yusuf Qardhawi mengatakan wajib zakat. Karena qiyas masalah zakat dapat dianalisis alasan hukumnya. Umar r.a. mewajibkan zakat kuda karena alasan yang logis, dan diikuti oleh Abu Hanifah. Nishab yang digunakan adalah senilai 20 mitsqal emas, dengan wajib zakatnya 2,5%. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa nishab hewan itu adalah dua kali lipat nishab uang, minimal berjumlah 5 ekor, dan senilai 5 ekor onta atau 40 kambing.
Syarat Zakat Hewan Ternak
1. Bebas dari aneka cacat, tidak sakit, tidak patah tulang, dan tidak pula pikun. Kecuali jika seluruh ternak mengalami cacat tertentu, maka diperbolehkan mengeluarkan zakatnya dari yang cacat ini.
2. Betina, bagi yang mensyaratkan. Dalam kasus ini tidak boleh mengambil zakat jantan, kecuali jika lebih dewasa. Menurut madzhab Hanafi diperbolehkan zakatnya dengan uang senilai hewan yang harus dikeluarkan.
3. Umur hewan. Ada beberapa hadits yang membatasi umur hewan zakat ternak. Maka harus terikat dengan ketentuan ini. Jika tidak ada yang memenuhi standar umur itu, maka diperbolehkan mengeluarkan yang lebih besar atau yang lebih kecil, dan mengambil selisih harganya menurut madhab Syafi’i. Sedang menurut Abu Hanifah dibayar dengan uang senilai hewan yang wajib dikeluarkan.
4. Sedang. Pemungut zakat tidak boleh mengambil yang paling bagus atau yang paling buruk, akan tetapi mengambil kualitas sedang, dengan memperhatikan posisi pemiliki dan fakir miskin sebagai mustahiq.
Ternak dimiliki oleh beberapa pemilik
Jika ada dua orang yang menggabungkan ternaknya, maka penggabungan ini tidak mempengaruhi nishab maupun zakat menurut Abu Hanifah, masing-masing berkewajiban mengeluarkan zakatnya sendiri-sendiri ketika sudah mencapai nishabnya. Tetapi menurut madzhab Syafi’i, penggabungan hewan ternak dapat mempengaruhi nishab dan zakat, sepertinya ia menjadi milik satu orang dengan syarat:
1. Kandang penginapannya menyatu
2. Tempat peristirahatanya satu
3. Tempat penggemabalaannya menyatu
4. Penggabungan itu sudah berlangsung satu tahun
5. Yang digabung itu sudah mencapai satu nishab
6. Masing-masing penggabung adalah orang secara pribadi berkewajiban zakat
seperti dua orang yang bergabung satu orang memiliki dua puluh ekor kambing, dan yang kedua memiliki empat puluh ekor kambing.
- menurut Abu Hanifah, yang pertama tidak wajib zakat karena belum mencapai satu nishab dan yang kedua wajib zakat, satu ekor kambing
- menurut madzhab Syafi’i, kedua orang itu hanya wajib memabyar satu ekor kambing.
Dari sini terlihat bahwa madzhab Hanfi lebih dekat dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan orang fakir, akantetapi madzhab Syafi’i dengan keputusannya itu lebih dekat kepada sistem korporasi modern, terutama korporasi partisipasif, nishabnya lebih simple dan lebih mudah.
Zakat Madu dan Produk Hewani
1. Zakat madu hukumnya wajiib menurut madzhab Hanbali dan Hanafi. Sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits dari Rasulullah saw. dan para sahabatnya, yang saling menguatkan, di antara yang kuat adalah riwayat Abu Daud dan An-Nasa’i: Hilal (seorang dari Bani Qai’an) mendatangi Rasulullah saw. dengan membawa sepersepuluh madu lebahnya. Rasulullah memintanya untuk menjaga lembah yang bernama lembah Salbah, lalu ia menjaga lembah itu. Ketika Umar r.a. menjadi khalifah, Sufyan bin Wahb menulis surat kepada Umar bin Khaththab menanyakan hal ini. Lalu Umar menjawab, “Jika ia masih membayar sepersepuluh yang pernah diberikan di masa Rasulullah, maka silahkan ia menjaga lembah Salbah, dan jika tidak, maka sesungguhnya mereka itu lebah hujan yang dimakan oleh siapa saja.”
2. Persentase zakatnya adalah sepersepuluh setelah dikurangi biaya produksi jika ada.
3. Menurut Abu Hanifah, tidak ada nishab zakat madu, tetapi diambil zakatnya dari berapapun jumlahnya sedikit ataupun banyak. Menurut Abu Yusuf, nishabnya ketika sudah senilai lima wisq, yaitu nishab terkecil barang-barang yang dapat ditimbang.
4. Hasil-hasil hewani seperti susu, sutera, telur, dan daging yang menjadi kakayaan besar di zaman sekarang ini. Apakah wajib zakat?
- Jika zakat sudah diambil dari fisik hewannya seperti sapi sebagai pengahsil susu, maka ketika itu tidak wajib zakat susu.
- Jika belum diambil zakat fisik hewannya, seperti ayam dan sejenisnya, maka ketika itu diambil zakat dari hasilnya, dikiaskan dengan madu yang merupakan hasil lebah, atau diqiaskan dengan tanah yang dikeluarkan hasilnya bukan tanahnya.
- Nishab zakat ini senilai lima wisq, yang merupakan nishab terendah dari hasil tanaman yang ditimbang, yaitu 653 kg. Persentasenya sepersepuluh jika diqiaskan dengan tanah yang disiram dengan air hujan, dan seperduapuluh jika disiram dengan alat, di mana muzakki mengeluarkan dana untuk biaya produksinya.
- Dan sangat mungkin ditentukan persentase zakatnya 2,5% jika dipertimbangkan bahwa produk hewani sama dengan harta perdagangan, diabayarkan dari modal dan hasil. (dkwt)