Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi

Share to :

Taisir Musthalah Hadits (4): Penjelasan Untuk Shohih Lidzatihi

Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah

alhikmah.ac.id – Telah lewat (pada penjelasan yang lalu) bahwasannya definisi hadits shohih lidzatihi adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rowi yang adil*, hafalannya sempurna, sanadnya bersambung dan terbebas dari syadz dan terbebas daru ‘illat (penyakit yang membuat cacat)
* Yang dimaksud dengan adil yaitu memiliki ‘adalah.

‘Adalah (عدالة) adalah istiqomah pada din dan istiqomah pada muru-ah.

Istiqomah din adalah melaksanakan kewajiban dan menjauhi segala yang haram yang menyebabkan kefasikan. Istiqomah muru-ah adalah melakukan segala sesuatu yang dipuji masyarakat berupa etika dan akhlak dan meninggalkan segala adab dan akhlak yang dicela masyarakat*.

* Pandangan masyarakat adalah yang tidak bertentangan dengan aturan syari’at. Boleh jadi itu merusak muru-ah di masa silam, tapi tidak di masa sekarang. Misalnya, dahulu, jika seorang ulama makan di warung maka ini menurunkan muru-ah. Kalau sekarang mungkin jika makan di restoran besar malah naik muru-ahnya. Maka muru-ah ini berbeda-beda dan berubah sesuai zaman dan tempat. Maka, ini berarti seorang muslim memperhatikan adat masyarakat.

Keadilan rowi diketahui dengan dua cara, yaitu dengan kemasyhuran yaitu sudah terkenal sebagai seorang rowi yang adil, semacam para imam yang terkenal. Misalnya Imam Malik, Imam Ahmad dan Bukhori dan yang selain mereka. Kemudian dengan tazkiyah, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini*.

* Yaitu ulama jarh dan ta’dil

Sempurna hafalannya (تمام الضبت) adalah ia bisa menyampaikan riwayat yang dia miliki, baik didapatkan melalui mendengar atau melihat dalam bentuk sebagaimana dia dapatkan tanpa ditambah atau dikurangi. Akan tetapi kesalahan yang sedikit dinilai tidak mengapa, karena manusia tidak dapat terbebas dari kesalahan menambah atau mengurangi*.

* Dia bisa menceritakan apa yang ada dalam dirinya baik dia dapatkan dari pendengaran atau penglihatan dan dia menceritakan kepada orang lain tanpa kesalahan atau dengan sedikit kesalahan.

Diketahui dobt (kesempurnaan hafalan) seorang rowi dengan dua hal; keselarasannya, yaitu selaras dengan rowi-rowi yang terkenal tsiqoh dan orang yang kuat hafalannya meskipun hanya sesuai dengan mereka secara umum. Kemudian mendapat tazkiyah/penegasan, yaitu dengan penegasan dari orang yang teranggap ucapannya dalam masalah ini.

Bersambung sanadnya (اتصال السند) yaitu setiap rowi berjumpa dengan gurunya atau dari orang yang dia mengambil riwayat darinya baik secara langsung atau statusnya berjumpa.

Adapun berjumpa secara langsung maksudnya adalah berjumpa dengan gurunya dan mendengar dari gurunya atau melihat gurunya dan dia mengatakan, “Telah menceritakan padaku.” (حدثني), “Aku mendengar” (سمعت), “Aku melihat fulan” (رأيت فلان), dan kalimat semacamnya.

Sedangkan statusnya berjumpa maksudnya adalah seorang rowi meriwayatkan dari orang yang sezaman dengannya dengan menggunakan kata-kata yang mengandung kemungkinan dia melihat atau mendengar gurunya. Misalnya dengan kata-kata, “Fulan berkata” (قال فلان), “Dari fulan” (عن فلان), “Fulan melakukan” (فعل فلان) dan yang semacam itu.

Terdapat dua pendapat:

  1. Harus ada bukti, ini adalah pendapat Imam Bukhori.
  2. Cukup dengan mungkin dia bertemu, ini adalah pendapat Imam Muslim*.


* Oleh karena itulah kualitas Shohih Bukhori dinilai lebih tinggi dari Shohih Muslim.

Imam Nawawi <em>rohimahullah </em>berkata tentang pendapat Imam Muslim di Syaroh Shohih Muslim, “Pendapat Imam Muslim diingkari banyak pakar, meskipun kami tidak menilai Imam Muslim melakukan perbuatan tersebut dalam Shohih-nya sejalan dengan pendapat beliau ini, karena Imam Muslim mengumpulkan banyak jalur yang tidak mungkin terwujud hukum yang dia bolehkan. Wallahu a’lam.”

Perbedaaan ini berlaku untuk rowi yang bukan mudallis (akan datang penjelasannya, insya Allah-ed). Adapun mudallis tidaklah divonis haditsnya bersambung kecuali jika dia menegaskan bahwa dia mendengar atau melihat secara langsung.

Tidak bersambungnya suatu sanad diketahui dengan dua cara:

  1. Tarikh (sejarah), yaitu mengetahui bahwasannya guru atau orang yang diambil riwayat darinya sudah meninggal ketika dia belum mencapai usia tamyiz yaitu usia 7 tahun*.

    * Misalnya gurunya sudah meninggal ketika ia masih berumur 3 tahun, maka ini jelas tidak bersambung.
  2. Dengan penegasan seorang rowi atau salah satu dari ulama pakar hadits menegaskan bahwasannya rowinya tidak bersambung atau fulan ini tidak mendengar ataumelihat dari gurunya apa yang dia ceritakan.

Keganjilan (الشذوذ) yaitu seorang rowi yang tsiqoh menyelisihi rowi yang lebih kuat darinya, bisa dengan lebih sempurna keadilannya atau hafalannya, atau lebih jumlahnya atau lebih bermulazamah dengan gurunya atau yang semacam itu*.

* Misalnya seorang guru memiliki dua murid. Murid yang pertama sudah mulazamah dalam waktu berpuluh-puluh tahun. Murid yang kedua hanya lima tahun. Kemudian murid yang kedua memberikan khobar dari gurunya yang menyelisihi murid yang pertama. Maka yang lebih tahu maksud gurunya adalah murid yang pertama. Maka boleh jadi murid yang kedua mendengar dari gurunya akan tetapi ia tidak paham. Maka yang lebih tsiqoh adalah murid yang pertama.

Misalnya, hadits ‘Abdullah ibn Zaid tentang tata cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwasannnya Nabi mengusap kepalanya dengan air yang bukan sisa dari tangannya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap kepala, bukan air yang sebelumnya digunakani untuk membasuh tangan.

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dengan lafadz ini dari jalur Ibn Wahab. Dan Imam Baihaqi meriwayatkan dari jalan Ibn Wahab juga dengan lafadz yang berbeda, yaitu bahwasannya Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mengambil untuk kedua telinganya air yang bukan air yang beliau ambil untuk kepalanya*.

* Artinya mengambil air baru untuk mengusap telinga.

Maka hadits Baihaqi adalah riwayat yang ganjil (syadz) karena rowi dari Ibn Wahab memang tsiqoh*, tapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya dari dia. Karena hadits ini diriwayatkan sejumlah orang dari Ibnu Wahab namun dengan menggunakan lafadz Muslim. Maka berdasar hal tersebut, riwayat Baihaqi tidak shohih meskipun perowinya tsiqoh, yaitu karena tidak terbebas dari syadz.

* Rowi yang dipakai oleh Baihaqi yang merupakan muridnya Ibnu Wahab memang tsiqoh. Akan tetapi rowi ini menyelisihi para rowi yang lebih banyak jumlahnya daripada dia.

‘Illat (penyakit yang membuat cacat) (العلة القادحة), yaitu setelah diteliti ternyata jelas diketahui ada sebab yang membuat cacat untuk diterima suatu hadits karena diketahui ternyata hadits tersebut munqothi’ (terputus), mauquf (perkataan sahabat), atau rowinya adalah orang fasiq, jelek hafalannya, atau ahli bid’ah* dan haditsnya mendukung kebid’ahannya dan semacam itu.

* Ada beberapa pendapat berkaitan dengan riwayat dari ahlu bid’ah:

  1. Ditolak secara mutlak
  2. Diterima secara mutlak.
  3. Diperinci (tafshil). Merinci dengan melihat dia mendakwahkan bid’ahnya atau tidak. Jika jawabannya ya, maka riwayatnya tidak bisa diterima.
  4. Diperinci. Melihat hadits yang diriwayatkanya. Menguatkan kebid’ahannya atau tidak, baik dia da’i atau bukan.

Ringkasnya penjelasan di Taisir Mustholah Mahmud Thohan, persyaratan riwayat dari ahlu bid’ah adalah :

  1. Bukan da’i
  2. Bukan hadits yang mendukung bid’ah yang dia miliki.

Maka, hadits tersebut tidak dihukumi sebagai shohih karena tidak selamat dari penyakit yang membuat cacat1*. Contohnya hadits Ibnu ‘Umar rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perempuan yang haidh dan orang yang junub tidak boleh membaca sedikitpun ayat Al Qur’an.”

* Ini adalah termasuk ilmu hadits yang berat, yaitu tentang masalah ilmu al illal. Terutama jika illalnya adalah masalah yang samar.

Hadits ini diriwayatkan Tirmidzi, dan Imam Tirmidizi mengatakan kami tidak mengenal hadits ini kecuali dari hadits Isma’il ibn ‘Iyas dari Musa ibn ‘Uqbah*.

* Artinya hadits ini termasuk hadits ghorib (yaitu punya satu jalur saja).

Maka dari sanad yang tampak adalah shohih, akan tetapi hadits ini memiliki cacat, riwayat Isma’il ibn ‘Iyas dari orang-orang Hijaz adalah dho’if. Jika gurunya adalah orang Hijaz maka haditsnya adalah dho’if dan hadits ini adalah yang termasuk dia dapatkan dari Hijaz**. Maka hadits ini tidak shohih karena tidak terbebas dari penyakit yang membuat cacat.

** Artinya Musa ibn ‘Uqbah adalah dari Hijaz.

Jika penyakitnya tidak membuat cacat, maka tidak menghalangi hadits tersebut untuk dinilai shohih atau hasan. Contohnya hadits dari sahabat Abu Ayyub Al Anshori rodhiallahu’anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان، ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa berpuasa Romadhon, kemudian diikuti dengan 6 hari di bulan Syawal, maka ia seakan-akan puasa dahr (puasa setiap hari, seandainya puasa dahr itu dibolehkan).*”

* Ini adalah termasuk pengandaian. Karena ulama berselisih pendapat tentang puasa dahr. Sebagian ulama melarangnya. Dan itulah pendapat yang lebih rojih karena ada hadits tentang hal ini,“Siapa yang puasa setiap hari tidak akan dinilai orang yang berpuasa dan juga tidak dinilai sebagai orang yang tidak puasa”. Jadi, dari hadits tersebut tidak menunjukkan bolehnya puasa dahr, namun hanya sebagai pengandaian.

Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dari jalan Sa’ad ibn Sa’id, dan pada hadits ini terdapat ‘illat dengan sebab rowi ini, yaitu Sa’ad ibn Sa’id karena Imam Ahmad mendho’ifkannya. ‘Illat ini tidak membuat cacat, karena sebagian ulama menshohihkannya, dan dia memiliki hadits penguat (muttabi‘)*. Imam Muslim menyampaikan hadits ini dalam Shohih-nya menunjukkan keshohihan menurut Muslim, dan ‘illatnya tidak membuat cacat.

* Hadits muttabi’ (penguat) adalah jika rowi hadits tersebut dari sahabat yang sama. Sedangkan hadits syawahid, jika sumbernya beda.

Dikumpulkannya Dua Hukum, yaitu Penilaian Shohih dan Hasan dalam Satu Hadits

Di depan telah kita bahas bahwa hadits shohih adalah satu bagian dari hadits yang berbeda dengan hadits hasan. Maka keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Akan tetapi sering kita dapatkan, terkadang suatu hadits diberi nilai hadits hasan shohih. Maka bagaimana menyesuaikan dua penilaian ini padahal ada perbedaan di antara keduanya?

Kami katakan (penulis kitab ed), “Jika hadits tersebut memiliki dua jalur, maka maksud hadits tersebut bahwa salah satu jalannya shohih dan jalur yang kedua adalah hasan. Maka dikumpulkan antara dua sifat ini dengan melihat jalurnya*. Adapun jika hadits tersebut hanya memiliki satu jalan, maka maknanya adalah ulama tersebut ragu-ragu, apakah sudah mencapai derajat shohih atau derajat hasan**.”

* Dimaknai hadits shohih wa hasan (shohih dan hasan). Artinya, hasan untuk jalur ini dan shohih untuk hadits yang satunya lagi.

** Dimaknai hadits shohih aw hasan (shohih atau hasan). Misalnya dalam hadits ghorib. Jadi ragu-ragu antara hadits ini hasan atau shohih. Adapun kalimat (لأصح قى هذا الباب) “Hadits ini adalah hadits yang paling shohih dalam bab ini”, maka ini bukanlah menilai bahwa hadits tersebut shohih tapi maksudnya hadits tersebut yang paling sedikit cacatnya. Bisa jadi haditsnya dho’if. Namun hadits dho’if lainnya banyak dan yang paling ringan cacatnya adalah hadits tersebut.

downlaod

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter