Tanggung Jawab Memilih Pemimpin

Share to :

Pentingnya Memilih Pemimpin

Berpartisipasi dan bersikap serius dalam memilih pemimpin di berbagai level kepemimpinan merupakan bentuk riil dalam memberikan perhatian terhadap kondisi sosial-masyarakatsecara umum. Perhatian (Ihtimam) ini sebagai konsekuensi logis dari karakteristik Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin. Dan perhatian terhadap kondisi Indonesia berarti perhatian terhadap kondisi Umat Islam sebagai penduduk mayoritas.

Memilih pemimpin berarti memilih sosok yang akan menjalankan tugas dan amanah kepemimpinan serta mengelola berbagai kebijakan, yang selanjutnya akan berdampak terhadap kondisi komunitas yang dipimpinnya, bisa berdampak positif atau negatif.Dampak positif dan negatif ini bisa berbuah pahala atau dosa karena bermanfaat atau merugikan orang lain. Sederhananya, memilih pemimpin bisa berdampak pahala atau beban dosa, karena ada dampak daripilihan yang dilakukan tersebut.Tentu ketentuan pahala dan dosa tersebut menurut ukuran Islam yang menentukan sebuah amal berbuah pahala atau dosa, seperti sengaja dalam memilih pemimpin yang membahayakan sementara ada pemimpin yang lebih baik, perbuatan tersebut bisa berbuah dosa begitu seterusnya.

Memang pada prinsipnya pertanggungjawaban berdasarkan kepada perbuatan individu saja sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT: ““Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya  sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164).“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telahdiperbuatnya” . (QS. Al-Muddatsir: 38).

Tetapi perbuatan seseorang bisa memberikan pengaruh dan dampak kepada orang lain. Seorang muslim akan berfikir panjang dan tidak akan meremehkan perbuatannya sekecil apapun apatah lagi jika perbuatan tersebut memiliki dampak dan pengaruh terhadap orang lain. Karena dampak dan pengaruh ini bisa berupa pahala atau bahkan dosa.

Keseriusan dalam memilih pemimpin merupakan bentuk riil mengaplikasikan kepedulian terhadap kondisi sosial-masyarakat. Bahkan dalam pandangan seorang ‘alim robbani Ibnu Taimiyah, beliau pernah berkata: “Sesungguhnya memimpin manusia merupakan kewajiban yang paling utama, bahkan tidak tegak urusan agama dan dunia kecuali dengan adanya kepemimpinan”,perkataan beliau ini diakhiri dengan: “Maka memilih pemimpin menjadi kewajiban agama dan ibadah kepada Allah SWT.

Menurut DR. Sholahuddin Sulthon, guru besar fakultas Syariah Islamiyah Universitas Darul Ulum Kairo, bahwa pemilihan pemimpin pemerintahan adalah kemestian realitas (dhorurah waqi’iyyah) dan kewajiban Islam (faridhoh syar’iyyah). Bahkan ada kesepakatan di kalangan Ulama Syariah (agama Islam) bahwa kata “intikhobat” (pemilihan pemimpin) memiliki makna sepadan dengan kata “asysyahadah” (memberikan kesaksian) yang banyak tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pendapat ini juga dinyatakan oleh para Ulama ternama seperti Syekh Yusuf Al-Qardhawi, Syekh Faishol Maulawi dan Syekh Jadul Haq sebagai grand Syekh Al-azhar Mesir.

Dalam Al-Qur’an Allah SWT memuliakan orang-orang yang menunaikan kesaksiannya. “Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya”. (QS. Al-Ma’arij: 33). Ayat ini disebutkan dalam konteks pembahasan ciri orang-orang yang dianugerahkan Allah keteguhan mental, jiwanya relatif stabil dalam menghadapi berbagai kondisi baik senang maupun susah. Keteguhan mental tersebut juga dicirikan dengan keteguhan dalam memberikan kesaksian. Ada hikmah tersendiri ketika Allah SWT memakai kata-kata “qaaimuun” dari kata “qiyam” (mendirikan atau menegakkan) bukan kata “adaa’” (menunaikan atau memberikan).Menegakkan bukan sekedar menunaikan.

Menegakkan kesaksian ada kalanya memerlukan keberanian dan ketegasan. Karena kadangkala berbagai faktor bisa memalingkan seseorang dari menunaikan kesaksian yang sebenarnya. Dalam konteks pemilihan pemimpin, secara riil masih sering ditemukan, seseorang yang memberikan “kesaksian” atau suara, atau bahkan mendustakan “kesaksiannya” lantaran faktor materi yang diraihnya, tanpa memikirkan tanggungjawab serta dampak dari perbuatannya tersebut. Lantaran uang atau janji-janji materi lainnya, idealisme dalam memberikan kesaksian bisa runtuh. Padahal memberikan kesaksian tersebut –yang seringkali dianggap hal remeh-, sekali lagi,bisa berdampak terhadap kondisi sosial masyarakat, bahkan lingkup yang lebih luas lagi.Secara tegas Allah SWT menyatakan dalam ayat lain: “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” (QS. Ath-Tholaq: 2).Menegakkan kesaksian karena Allah, bukan lantaran motif materi.

Bagaimana dengan Golput?

Tulisan ini tidak akan mengulas secara rinci tentang sistem demokrasi dalam pandangan Islam. Namun secara umum, ada titik-titik yang dibenarkan Islam dalam sistem demokrasi, diantaranya prinsip “keikutsertaan”. Rakyat memiliki hak yang sama dan merata untuk ikut serta dalam memilih pemimpin mereka. Bebas dan terbuka untuk masyarakat, dan secara langsung menepis keabsahan sistem otoriter dan diktator dalam menentukan pemimpin. Dan menurut sebagian besar Ulama, sistem ini adalah sistem yang paling dekat dengan nilai-nilai Islam. Terdapat banyak kaedah dalam ajaran Islam yang disepakati Ulama, menguatkan hukum boleh bahkan wajib mengikuti pemilihan pemimpin, bila hal tersebut memiliki peluang dalam menghindari kerusakan yang lebih besar.

Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi mengatakan: “Apabila kita mengamati sebuah peraturan seperti peraturan pemilu atau pemberian suara, maka hal tersebut menurut pandangan Islam adalah suatu persaksian untuk memilih siapa yang paling layak”. Beliau melanjutkan: “Barangsiapa yang bersaksi terhadap orang yang tidak shaleh dan menyatakan bahwa dia orang shaleh, maka sesungguhnya ini adalah suatu perbuatan dosa, karena telah memberikan kesaksian palsu, bahkan Allah SWT menyebut perbuatan dosa tersebut setelah perbuatan syirik terhadap Allah SWT dalam firman-Nya: “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al-Hajj: 30)”.

Masih menurut beliau: “Dan barangsiapa yang memilih wakilnya dikarenakan ia adalah kerabat, satu bangsa, kepentingan pribadi maka ia telah melanggar perintah Allah SWT: “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. Ath Thalaq: 2).Barangsiapa yang melanggar dari menunaikan amanahnya dalam pemilu sehingga orang yang amanah tersingkir, dan didominasi oleh orang-orang yang tidak layak dan tidak memenuhi persyaratan kuat lagi amanah, sesungguhnya dia telah menyalahi perintah Allah SWT dalam menunaikan janji padahal ia telah dipanggil untuk itu, dan berarti telah menyembunyikan kesaksian yang dibutuhkan oleh Umat, sebagaimana firman Allah SWT: “Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.” (QS. Al Baqoroh: 282). Dalam ayat lain: “Dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian, dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (QS. Al Baqoroh : 283).

Syeikh Muhammad bin Utsaimin pernah ditanya tentang hukum pemilu. Beliau menjawab: ”Saya melihat pemilu adalah suatu kewajiban dan kita harus menentukan orang yang kita anggap memiliki kebaikan karena apabila orang baik mundur, lantas siapa yang mengisi posisi tersebut? Maka, posisi itu akan diduduki oleh orang-orang tidak baik atau orang-orang yang tidak memiliki pendirian, ia hanya mengikuti setiap orang yang mengajaknya, untuk itu kita harus memilih orang yang kita anggap baik”.Syekh Abdullah bin Baz pernah menyatakan tentang kebolehan ikut serta dalam memilih pemimpin: “Tidak mengapa memberikan suara dalam memilih pemimpin dengan tujuan untuk mendukung para penyeru kebenaran yang sholeh secara agama”. (majalah Al-Mujtama’ Al-Kuwaitiyah, 23/5/1989).

Pemimpin dalam level apapun akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT atas semua perbuatannya,juga seluruh apa yang berdampak pada rakyat yang dipimpinnya. Sebagaimana rakyat juga akan dimintai pertanggungjawabannya ketika memilih seorang pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang tidak sholeh dan tidak amanah sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya kepada kondisi yang tidak diridhoi Allah, maka rakyat juga dibebani pertanggungjawaban itu. Wallahu a’lam.

oleh: Ahmad Yani, MA

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter