alhikmah.ac.id – YURNELI, ibunda Afriyani Susanti, tersangka kasus kecelakaan maut yang menewaskan 9 orang, menyebutkan, putrinya dikenal ramah dan baik dengan tetangga di sekitar rumahnya. “Dalam lingkungan tetangga baik, sama keluarga juga temen-temennya yang banyak dia baik,” imbuhnya.
Meski demikian, Yurneli mengaku dengan jujur tidak banyak tahu soal pergaulan putrinya di lingkungan pekerjaannya dan di luar. Dia menyatakan memang anaknya sering pulang kerja hingga malam. “Kalau di pekerjaan, pergaulan seperti apa, saya nggak tahu. Teman-teman dia yang diajak ke rumah semuanya baik, kalau yang di luar saya nggak tahu. Pokoknya dia suka bikin iklan. Kadang sharing, “Saya dapat job bu, doain yaa. Suka curhat, panjang sekali,” terang Yurneli.
Sang ibu kaget bukan main ketika mendapatkan laporan bahwa anaknya mengkonsumsi narkoba. Oleh karena itu, ketika kemudian Afriyani dinyatakan positif mengkonsumsi narkoba, Yurneli mengaku kaget. “Saya kaget sekali. Saya tahu anak saya nggak pernah seperti itu,” terang Yurneli sembari terisak. “Tahunya di dalam rumah nggak pernah lihat Afri gimana-gimana. Nggak pernah saya liat seperti itu (pakai narkoba),” imbuhnya.
Itulah sepenggal pernyataan seorang ibu yang menghadapi kenyataan salah satu anaknya menewaskan sekian nyawa lantaran kondisi yang masih menyisakan bekas-bekas minuman keras dan narkoba. Seorang ibu yang tidak tahu menahun persoalan anaknya yang terlibat pergaulan yang dapat membahayakan keselamatan orang lain.
Kita –bahkan semua orang– pasti gemas, jengkel sekaligus geram melihat ulah pelaku. Bagaimana tidak, selepas menabrak para pejalan kaki, ia keluar mobil dengan santainya, seakan-akan tak terjadi apa-apa. Ketika jutaan mata memandangnya dengan rasa kecewa dan marah, ia masih dengan santainya bermain-main hp, seolah tak terjadi apa-apa. Itu akibat pengaruh sisa-sisa minuman keras dan obat-obatan yang ia minum. Buktinya, setelah beberapa hari –kemungkinan ketika kandungan obat telah habis—pelaku mengaku menyesal sedalam-dalamnya.
Apa pelajaran berharga bagi kita semua yang bisa kita peti?
Yang lebih penting bagi kita adalah mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Kuususnya, kita sebagai orangtua. Apakah kita sudah merasa puas bila anak-anak kita tidak berbuat neko-neko (tidak aneh-aneh) di rumah? Apakah kita sudah merasa nyaman dengan perilaku kalem anak saat di rumah, padahal kita tidak tahu menahu siapa saja teman bergaulnya? Dengan siapa mereka di luar, apa bacaannya dan apa rujukannya.
Mungkin di antara kita masih ada yang bertanya-tanya, kenapa kita musti mendidik anak kita? Toh ketika kelak telah dewasa akan belajar dan hidup mandiri. Cara berpikir seperti ini kadang mendorong orangtua untuk acuh tak acuh prihal pendidikan anaknya. Sehingga, anak tumbuh liar tak mengurus masalah pendidikannya.
Ada pula sebagian orangtua yang memiliki prinsip: “Asal sudah saya kasih makan, selesai urusan.”
Mendidik anak adalah sebuah tanggung jawab sekaligus amanah yang dibebankan dipundak orangtua.
Saat saya membaca ayat;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Alloh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim [66] : 6), maka tertanam dalam diri saya bahwa sebenarnya mendidik keluarga, salah satunya adalah mendidik anak, adalah tanggung jawab orangtua.
Kita semua, para orangtua, akan dimintai pertanggung jawaban atas hal tersebut di hari kiamat. Sebagai seorang ayah, tugas tersebut dipikulkan di atras pundaknya. Selain berkewajiban menyelamatkan diri sendiri dari kobaran api neraka, orang tua berkewajiban menyelamatkan anggota keluarganya.
Alangkah baiknya kita simak penuturan Sayyid Qutub perihal kewajiban orangtua menyelamatkan diri dan keluarganya dari siksa neraka ini.
Beliau menuturkan, “Sesungguhnya keletihan seorang mukmin terkait dengan diri dan keluarganya adalah keletihan yang sangat berat dan menakutkan. Sebab, neraka telah ada di sana, sedangkan ia dan keluarga berada di hadapannya. Maka, hendaklah ia berusaha memberikan pembatas antara diri dan keluarga dengan neraka yang mana manusia yang ada di dalamnya sehina batu dan seremeh bebatuan. Maka, seorang mukmin berkewajiban untuk mengarahkan dakwahnya pertama kali kepada rumah tangga dan keluarganya. Ia berkewajiban untuk menjaga ruangan dari dalamnya. Ia berkewajiban menutup lubang-lubang yang ada di dalamnya sebelum ia dan dakwahnya pergi jauh dari rumah tersebut.” (Tafsir Fi Zhilalil Quran).
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah lebih menekankan tugas ini berada di pundak ayah, beliau mengatakan, “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala akan bertanya kepada seorang ayah tentang anaknya. Barangsiapa yang menelantarkan pendidikan anaknya dan membiarkannya tanpa arah, maka ia telah merusaknya dengan serusak-rusaknya. Mayoritas bobroknya anak-anak itu berasal dari pihak ayah mereka, penyepelean mereka terhadap anak-anak, serta tidak mengajarkan kepada mereka kewajiban terhadap agama dan sunnah.”
Kita dituntut untuk mengajarkan startegi jitu kepada anak yang akan ia gunakan untuk mengarungi perhelatan kehidupan yang keras. Kehidupan kita berubah menjadi medan pertahanan dan peperangan yang tidak ringan. Bila kita tidak mempersenjatai anak kita dengan kemahiran dan membekalinya dengan kebutuhannya berupa nilai, dasar, dan pondasi yang dapat ia gunakan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang halal dan yang haram, maka kita telah menzhaliminya dengan kezhaliman yang besar. Kita seolah-olah seperti seseorang yang membiarkan anak kecil yang tidak bersalah berada di dalam sangkar yang dihuni oleh singa dan anjing hutan.
Seorang ayah yang memiliki obsesi tinggi akan mengetahui bahwasanya kehidupan ini dengan berbagai kekerasan dan kebengisannya merupakan sebuah realita yang tidak mungkin untuk diubah. Tidak ada solusi untuk menghadapi tekanan eksternal, kecuali dengan mengembangkan potensi internal anak. (Prof. ‘Abdul Karim Bakar).
Maka, sewajaranya kita selaku orangtua, khususnya ayah, mendidik anak-anak kita. Didiklah dengan perasaan senang. Jangan pernah merasa terbebani dengan pendidikan anak. Seyogyanya kita renungkan bersama sabda Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) berikut ini guna mewaspadai pergaulan anak-anak kita,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu tergantung kepada agama temannya. Maka, hendaklah salah seorang dari kamu memperhatikan, dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Pernahkah kita, para orangtua mengenal dan menyelami anak-anak kita? Dengan siapa ia bergaul dan berteman? Apakah persahabatan dan pertemanananya itu menambahnya menjadi lebih beriman atau justru semakin menjauhkannya? Jawabannya tentu para orangtua masing-masing. Tak ada kata terlambat dan mari kita peluk dan kita dekatkan anak-anak kita tauhid serta lebih mengenal Allah Subhanahu Wata’ala agar kelak ringan beban kita di yaumul hisab. Wallahul musta’an.
Abu Hudzaifah, Lc