alhikmah.ac..id – Semakin mereka bertanya, makin sulit mendapatkan sapi yang dimaksud.
Kisah ini merupakan satu dari beragam kisah Israiliyat. Namun, penyebutannya dalam Alquran membuat kisah ini benar adanya. Jika Anda membaca al-Baqarah, inilah kisah di balik surah kedua kitabullah tersebut.
Pada zaman dahulu kala di zaman Bani Israil hidup sorang hartawan yang kekayaannya luar biasa berlimpah. Namun, ia tak satu pun memiliki anak yang akan mewarisi harta tersebut. Alhasil, banyak kerabat yang menginginkan dan menanti warisan.
Hal yang ditunggu mereka pun terjadi, sang hartawan ditemukan tewas di depan sebuah rumah penduduk. Kerabat sang hartawanlah yang kali pertama menemukan mayatnya pada pagi hari. Maka, gemparlah seluruh desa atas kematian sang hartawan. Masing-masing dari mereka bertanya-tanya, siapa gerangan yang membunuhnya?
Asumsi-asumsi pun bermunculan. Ada yang bilang, sang kerabat yang menemukanlah yang membunuhnya. Yang lain mengatakan, si pemilik rumah yang didepannya ditemukan jasad si hartawanlah pelakunya.
Di tengah keributan tersebut, datang seorang salih yang cerdas. Ia pun menengahi warga. “Mengapa kalian berkelahi? Bukankah di antara kita ada Musa, sang rasul Allah? Mari kita tanyakan perihal ini kepada beliau,” ujarnya. Maka, mereka pun segera berbondong-bondong menemui Musa.
Mendengar kisah dari penduduk desa, Nabi Musa segera memanjatkan doa. Ia memohon wahyu dari Allah agar menunjukkan rahasia di balik kematian sang hartawan. Maka, Allah pun memerintahkan Musa agar menyuruh umatnya menyembelih seekor sapi.
“Hai Musa, apakah kau ingin menjadikan kami bahan ejekan?” ujar mereka, Nabi Musa pun dengan sabar menjawab, “Aku berlindung dari Allah agar aku tak termasuk orang-orang yang bodoh. Aku berlindung kepada Allah untuk tidak mengatakan sesuatu yang bukan firman-Nya,” ujar Musa. Namun, tetap saja Bani Israil enggan menaati perintah Musa. Mereka bermalas-malasan menyembelih seekor sapi. Pasalnya, sapi merupakan binatang yang dihormati oleh mereka.
Saat Musa menanyakan perihal sapi tersebut, mereka pun terlihat amat malas. Mereka justru mencari-cari pertanyaan yang dapat menunda mereka menyembelih sapi. “Beri kami spesifikasi, berapa usia sapi itu?” ujar mereka. Nabi Musa pun menjawab, “Tidak muda, tidak pula tua, melainkan pertengahan saja. Kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepada kalian,” perintah Musa.
Lagi-lagi, mereka tak juga menjalankan perintah itu. Setiap kali Musa menanyakannya, mereka menanyakan spesifikasi sapi yang akan disembelih. “Apa warna sapi itu?” tanya mereka. Dengan sabar, Musa pun menjawab, “Warnanya kuning tua, setiap kali orang memandangnya maka akan senang melihatnya,” jawab nabiyullah.
Bukan mencari, keesokan hari justru mereka bertanya kembali. “Beri tahu kami bagaimana kondisi sapi itu sehingga kami dapat mencarinya,” kata mereka. Kesabaran Musa begitu diuji, beliau pun menjawab dengan rincian yang banyak. “Sapi itu tak pernah digunakan untuk membajak sawah atau memberi air bagi tanaman. Sapi itu pun sangat bersih, tidak memiliki cacat,” ujar Musa.
Semakin banyak bertanya, mereka justru semakin sulit mendapatkan sapi itu. Andai mereka menurut saat perintah pertama, mereka bebas memilih sapi manapun.
Namun, sifat membangkang justru membuat mereka semakin sulit. Setelah banyak pertanyaan, mereka justru harus mendapatkan sapi yang sempurna. Rupanya mereka menyadari kebodohan mereka itu. Akhirnya, mereka pun mencukupkan pertanyaan dan mulai mencari jenis sapi yang elok itu. “Sekarang kamu menerangkan sapi itu dengan lengkap,” kata mereka.
Setelah kesulitan yang sangat mencari sapi tersebut, akhirnya mereka pun mendapatkannya. Hampir saja mereka menyerah karena nyaris tak ada sapi yang sesempurna itu. Sapi itu pun didapatkan dengan harga yang sangat mahal. Sapi tersebut merupakan milik seorang yatim yang usianya masih belia. Sapi tersebut merupakan satu-satunya warisan sang ayah. Atas wasiat sang ayah, sapi itu tak diizinkan bekerja dan hanya dirawat sedemikian rupa. Kulitnya juga berwarna kuning tua yang sangat elok. Seluruh kriteria yang Nabi Musa sebutkan ada pada sapi tersebut.
Sapi itu pun didatangkan ke hadapan Nabi Musa. Setelah disembelih, nabiyullah Musa mengambil sebagian anggota tubuh sapi, kemudian memukulkannya pada jenazah tersebut. Dengan izin Allah, mayat si hartawan hidup kembali. Nabi Musa pun segera bertanya kepada si mayat hidup. “Siapakah yang telah membunuhmu?” Sang hartawan pun menunjuk salah serang kerabatnya. “Dia!” ujarnya. Setelah itu, si hartawan kembali menjadi mayat dengan izin Allah.
Ternyata, sang pembunuh merupakan kerabat yang selalu menginginkan warisan sang hartawan. Dia pula yang berpura-pura menemukan mayat sang hartawan yang dia bunuh dan diletakkan di depan salah satu rumah penduduk desa. Namun, meski telah terang fakta, si kerabat tetap saja menyangkal bahwa ia yang membunuhnya. “Demi Allah, bukan aku yang membunuhnya,” ujarnya tanpa takut menyebut asma Allah sebagai penjamin kesaksiannya. Itulah memang watak Bani Israil.
Kisah tentang sapi betina ini dapat dibaca dalam surah al-Baqarah ayat 67-73. Dalam kisah tersebut terdapat banyak hikmah yang dapat dipetik. Satu hal yang terang, yakni menaati perintah Allah sesegera mungkin.