alhikmah.ac.id – Dalam sejarah, memang ada sebagian dari para ulama salaf yang karena situasi dan kondisi telah memaksa mereka menjalankan konsep uzlah. Fenomena itu sering dijadikan sebuah referensi atau dasar rujukan oleh sebagian par aktivis masa kini untuk menempuhnya.
Nabi Ibrahim As misalnya memang pernah berkata kepada kaumnya, sebagaimana tertera dalam Qur’an,
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ
“Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.” (QS : Mariam : 48)
Tetapi, yang harus segera dicatat bahwa alasan yang mendorong Nabi Ibrahim As mengambil sikap demikian adalah dalam rangka menerapkan salah satu metode dakwah untuk mengubah dan meluruskan kaumnya. Sebab seperti kita ketahui, walaupun Nabi Ibrahim telah berkali-kali menyeru dan mengajak kaumnya menuju jalan Allah, namun ternyata kaumnya itu tetap membangkang dan tetap melakukan kekufuran. Karenanya, untuk mengatasi terjadinya kondisi yang semakin buruk serta khawatir agamanya akan tertimpa fitnah, akhirnya Nabi Ibrahim As memutuskan untuk mengambil sikap sementara waktu berusaha menghindar dan menjauh dari mereka.
Beberapa sahabat Rasul, seperti Abu Dzar al Giffari dan Abdullah bin Umar seta beberapa sahabat lainnya – radhiallahu ‘anhum – dalam sejarah juga ter catat pernah menempuh jalan uzlah atau untuk melepaskan diri dari jamaah kaum muslimin. Akan tetapi, yang harus kembali kita catat adalah bahwasanya tindakan yang mereka lakukan itu memiliki alasan yang cukup kuat, yakni karen amereka ingin menghindarkan diri dari kemelut fitnah yang saat itu tengah merajalela dalam kehidupan kaum muslimin,hingga menimbulkan pertumpahan darah, sedangkan mereka tidak mengetahui pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah.
Imam Malik adalah seorang imam Madinah yang menghabiskan masa-masa akhir hidupnya dengan uzlah dan menjauhkan diri dari manusia. Akan tetapi, tindakan yang dilakukannya olehnya itu pun beralasan kuat, yakni karena bermaksud menghindarkan diri dari terjadinya benturan dengna para penguasa saat itu dan untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah antarsesama kaum muslimin.
Dari contoh-contoh diatas jelaslah bahwa tindakan uzlah yang diambil oleh para ulama salaf itu bukan tanpa alasan. Dengan demikian, tentu tidak bisa begitu saja ditiru oleh kita saat ini.
Menganggap Hidup Berjamaah Dapat Menghilangkan Wibawa
Faktor lain yang dapat mendorong seorang aktivis melakukan uzlah adalah adanya anggapan bahwa hidup secara berjamaah dapat menurunkan prestise (harga diri) dan melarutkan kepribadiannya. Akibat yang kelilru ini, maka ia menjadi sosok manusia imma’ah (plin-plan). Artinya, jika manusia dalam kebaikan, maka ia menjadi baik, dan jika mereka dalam keburukan, maka ia pun menjadi buruk. Hal ini ditambah lagi kelalaiannya memahami manhaj (jalan) Islam yang menghendaki perpaduan antra pribadi dan masyarakat.
Manhaj Islam menyerukan kepada setiap individu atau pribadi muslim agar hidup dan berlindung di bawah pemeliharaan jamaah, namun sekaligus menegaskan tanggung jawab mutlak setiap pribadi atas semua perilakunya. Hal itu telah ditegaskan oleh Allah Swt dalam beberapa firman-Nya,
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain ..” (QS : Fathir : 18)
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa-apa yang diperbuatnya.” (QS : al-Mudatsir : 38).
وَاتَّقُواْ يَوْماً لاَّ تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْئاً
“Dan jagalah dirimu dari (`azab) hari (yang pada hari itu), seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun.” (QS : al-Baqarah : 48)
بَلِ الْإِنسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ ﴿١٤﴾
وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ ﴿١٥﴾
“Bahkan manusia menjadi saksi bagi dirinya sendiri, meskipun ia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS : al-Qiyamah : 14-15)
Selain itu, salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim atas muslim lainnya adalah dia harus senantiasa memberi nasihat kepada semua anggota jamaahnya sesuai dengan adab dan syarat yang telah ditentukan, sekalipun orang yang dinasihatinya itu secara sosial memiliki kedudukan dan posisi yang tinggi dan mulia.
Para sahabat telah menjalani hidup berjamaah dengan Rasulullah shallahu alaihi wassalam, dan banyak pula diantara kaum muslimin yang hidup bersama antara satu dan yang lain.
Akan tetapi, kita tidak mendapatkan kasus seorang pun dari mereka yang luntur kepribadiannya, karena hidup berjamaah. Yang kita dapati justru dampak dari pola hidup semacam itu adalah tumbuhnya mekanisme nasihat, musyawarah, amar ma’ruf dan nahi munkar yan ideal. Perhtikan misalnya perkataan salah seorang dari mereka kepada Khalifah Umar ibnul Khatthab ra yang kala itu di tengah menjabat khalifah.
“Jika kami mendapati engkau menyeleweng, maka akan kami luruskan dengan pedang ini”.
Sungguh suatu sikap hidup yang tampaknya sangat sulit kita temukan dalam konteks hidup masa kini. Wallahlu’alam.