Wahid Hasyim vs The Wahid Institute

Share to :

alhikmah.ac.id – Entah apa yang dikatakan Kiai Wahid Hasyim bila tahu nama beliau sekarang digunakan cucunya untuk melawan apa-apa yang berbau syariat Islam? Bila Kiai Wahid Hasyim dulu sangat bersemangat Islam ditulis dalam Undang-undang, maka The Wahid Institute (TWI) justru melawan bila Islam diundangkan.  Yenny Wahid,  Direktur TWI, misalnya menyatakan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Syariah adalah Perda bermasalah.  Begitu pula Ulil Abshar, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), kolega Yenny, menyatakan bahwa biarlah Islam menjadi kesadaran, karena bisa jadi hipokrit kalau dibuat undang-undang.

Entah apa yang dibenak Ulil dan Yenny. Mereka tentu tidak mau kalau dibuat Undang-undang di Indonesia bahwa orang Indonesia yang mati, harus dilemparkan ke laut (untuk menghemat penggunaan tanah di Indonesia). Dan orang Islam yang normal, tentu akan bergembira bila ada undang-undang tertulis sesuai dengan keyakinannya.

Bila Yenny Wahid gigih dalam menentang Perda Syariah, bagaimana dengan kakeknya KH Wahid Hasyim?

Seperti diketahui, Wahid Hasyim adalah anak kelima dari KH Hasyim Asyari pendiri Nahdhatul Ulama. Ia lahir di desa Tebu Ireng Jombang, 1 Juni 1914 (5 Rabiul Awwal 1333H). Nama aslinya adalah Abdul Wahid. Sejak kecil ayahnya mendidiknya dengan pendidikan yang Islami.

Dari pesantren ke pesantren sampai pernah belajar beberapa saat di  Mekah. Ia pernah menjabat menteri agama RI dan meninggal di usia muda, 39 tahun, tepatnya 19 April 1953.

Di usia belia, ia telah duduk dalam kepengurusan pimpinan Partai Politik Masyumi. Pemimpin Redaksi Suara Masjumi, Tamar Djaja menyatakan (lihat Sedjarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, 1957, H Aboebakar, hlm. 272):

“Yang lebih menarik lagi, ketika saya mendengar bahwa ide hendak mendirikan Masyumi pun adalah timbul dari dua tokoh orang muda, yaitu M Natsir dan Wahid Hasyim sejak zaman Jepang. Kedua orang inilah yang mula-mula mengadakan pertemuan di suatu tempat, mengumpulkan beberapa tokoh pemimpin Islam di Jakarta, untuk membentuk suatu badan perjuangan Islam yang kuat…Dalam hubungan inilah kita melihat kedua tokoh Islam tadi, Moh Natsir dan Wahid Hasyim, di dalam idenya yang mulia hendak menciptakan suatu gerakan kaum Muslimin yang kuat dan didukung oleh seluruh umat Islam Indonesia ” (perubahan ejaan dari penulis).

Yang menarik dari tokoh ini adalah kalimat-kalimatnya ketika Sidang-sidang BPUPK Juli 1945. Ketika 22 Juni 1945, Piagam Jakarta disyahkan, wakil dari Kristen Latuharhary dari Maluku protes kembali. Ketua Sidang Soekarno saat itu meredamnya dan menyatakan bahwa:

“Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule (piagam Jakarta –pen) adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini, jadi perselisihan nanti terus.”

Kiai Wahid Hasyim juga menyampaikan bahwa Piagam Jakarta itu tidak menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan. Dengan tegas ia menyatakan:

“Dan jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berfikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya, apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang.”

Dalam rapat 13 Juli 1945, Wahid Hasyim mengusulkan agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain , untuk dan sebagainya.

Kata Wahid Hasyim; “Hal ini erat perhubungannya dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan yang hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.”  (lihat buku Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam dan Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945).

Begitulah sedikit perdebatan Piagam Jakarta di bulan Juli 1945 itu. Sayangnya meski telah disepakati di bulan itu Piagam Jakarta menjadi Undang-Undang Dasar, Soekarno (dan Hatta) bersama Laksamana Meida dan tokoh-tokoh nasionalis sekuler membatalkan tujuh kata Piagam Jakarta, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hingga tiba Pemilu 1955, dimana partai-partai Islam saat itu (Masyumi, NU dll) kompak mengusulkan Islam sebagai dasar negara, akibat “pengkhianatan” golongan nasionalis sekuler dengan Piagam Jakarta.

Tahun 1956-1959 perdebatan tentang dasar negara di Majelis Konstituante pun deadlock. Hingga akhirnya Presiden Soekarno –atas lobi tokoh-tokoh Islam- mengkompromikan tujuh kata Piagam Jakarta dalam dekritnya 5 Juli 1959. Dimana dinyatakan di sana bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 (rumusan Pancasila saat ini –pen) dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.

Maka jika menelusuri perjalanan sejarah tentang dasar negara, lahirnya Perda-perda  bernuansa syariah di berbagai tempat di tanah air, atau Undang-undang syariah bila anggota DPR berani, adalah hal yang wajar. Justru kelompok-kelompok seperti TWI yang menggugat Perda Syariah (kelompok Kristen menganggap Perda Syariah adalah penjelmaan Piagam Jakarta) dan lain-lain harusnya mengaca diri. Karena mereka sebenarnya telah membela minoritas, tapi menzalimi mayoritas.

Tentang Perda yang bernuansa syariah ini kalangan Kristiani menyatakan:

“Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diperlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan ini lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam perundang-undangan.  Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoakasi, dan lain-lain. Apapun alasannya semuanya ini bertentangan dengan prinsip dasar negara ini.” (Tabloid Kristen, Reformata edisi 110/2009).

Konferensi Wali Gereja Indonesia, induk kaum Katolik di Indonesia,juga  pernah mengirim surat kepada calon presiden SBY yang isinya: “Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.” (lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untk Menindas Hak konstitusional Umat Islam, GIP).

The Wahid Institute

The Wahid Institute didirikan atas inisiatif  Abdurrahman Wahid (anak dari Wahid Hasyiml), Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid dan Ahmad Suaedy. Sebagai penasehat tercantum di websitenya www.wahidinstitute.org:  K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof Dr. Nurcholish Madjid, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof . Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar dan Ahmad Suaedy. Bertindak sebagai supervisor adalah: Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi dan  Prof. Dr. Sue Kenny.

Motto dari organisasi ini adalah Seeding Plural and Peaceful Islam. Visinya adalah terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, HAM yang diinspirasi nilai-nilai Islam. Sedangkan misinya adalah mendorong terbangunnya dialog antar kebudayaan lokal maupun internasional serta harmoni Islam dan Barat. Mendorong berbagai ikhtiar masyarakat sipil dalam mewujudkan redistribusi ekonomi, kesejahteraan umum, pemerintahan yang bersih dan transparan serta lingkungan hidup yang lestari. Mendorong partisipasi aktif kelompok-kelompok agama dalam dialog kebudayaan dan pedamaian serta ikhtiar-ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan umum.

Jadi bila MUI mengharamkan pluralisme, The Wahid Institute justru menjunjung tinggi atau mendakwahkan isme yang haram itu. Bila KH Hasyim Asyari dan Wahid Hasyim kokoh dalam memperjuangkan keimanan dan  keislaman tegak di negeri ini, The Wahid Institute justru mengkampanyekan kemusyrikan dalam bentuk sosialiasi ‘persamaan agama’ dalam pembuatan kurikulum, buku-buku, pengadaan seminar dan lain-lain.

Maka jangan heran bila organisasi penyebar pluralisme ini didukung oleh Indonesianis/orientalis Greg Barton, Nasr Hamid Abu Zaid,  Abdullahi Ahmed An-Naim dan lain-lain.

Generasi Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Wahid Hasyim yang kokoh dalam Islamnya, kini nampaknya digantikan generasi Abdurrahman Wahid dan Yenny Zannuba Wahid yang kokoh dalam pluralisme dan sekulerismenya. Wallahu a’lam bishawab.

oleh: Nuim Hidayat

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter